Kamis, 28 Januari 2010
Diceritakan Syekh Ulwan Hamawi, yang sudah menduduki peringkat mufti dan luas ilmu agamanya, datang berguru khusus kepada Syekh Sufi Sayyid Ali Ibnu Maimum Al-Maghribi. Sayyid Ali hanya memerintahkan Syekh Ulwan untuk berzikir saja. Setelah beberapa hari Sayyid Ali mengetahui muridnya itu kadang-kadang juga mengaji dan mendalami Al-Quran. Ia pun melarangnya. Orang-orang yang mengetahui ini mengecam Syekh Sayyid Ali—bagaimana mungkin seorang mufti yang luas ilmu agamanya tak boleh membaca dan mendalami Al-Quran? Sebagian ulama menuduh Sayyid Ali telah menyia-nyiakan ilmu Syekh Ulwan dan bahkan memurtadkannya karena ia tidak membolehkan muridnya membaca dan mempelajari Al-Quran. Tetapi setelah beberapa waktu yang telah ditentukan, Syekh Sayyid Ali kemudian memerintahkan muridnya itu untuk kembali membaca dan mendalami Al-Quran. Kemudian Syekh Ulwan mulai mendapatkan makrifat dan ilmu-ilmu rahasia Al-Quran yang tidak diperolehnya selama bertahun-tahun mendalami Al-Quran dengan segenap kemampuannya. Dari kisah ini tampak bahwa ada “saluran” lain yang lebih tinggi dan halus untuk memahami Al-Quran. Perintah agar hanya berzikir saja, dalam pengertian tertentu, adalah salah satu dari sekian banyak cara untuk mempersiapkan seseorang menerima limpahan pengetahuan yang tak dicampuri oleh sudut pandang pribadinya. Namun tak semua orang menyukai atau setuju dengan model seperti ini. Bagi orang yang terbiasa berpikir dan mengandalkan kemampuan intelektualnya, sulit untuk memahami bagaimana ada pengetahuan yang berasal dari dunia yang di mata mereka seperti dunia antah-berantah itu. Dalam tradisi Sufi, seorang salik (penempuh jalan Sufi) harus sami’na wa atha’na, mendengar dan patuh. Jika misalnya seseorang telah mematuhi suatu ayat atau hadis, tapi tidak mendapatkan apa-apa yang dinyatakan dalam teks itu, maka kesalahannya bukan terletak pada teks itu atau pada pemahamannya, tetapi karena ada sesuatu yang tidak beres dari dirinya sendiri yang menghalangi realisasi dari makna teks itu. Misalnya, dalam hadis sahih dikatakan bahwa siapa saja yang membaca Surah Al-Waqi’ah setiap malam niscaya tidak akan miskin selama-lamanya. Faktanya, ada pembaca surah itu yang tetap miskin. Apakah Nabi bohong? Tak seorang pun yang akan mengatakan Nabi berbohong. Maka persoalannya ada dalam “cara” membacanya dan pada diri seseorang. Dalam pandangan sebagian kaum modernis, yang tidak terlalu percaya pada fungsi Al-Quran sebagai semacam “mantra” atau “amalan” untuk mendapatkan sesuatu atau untuk kepentingan duniawi, kesalahannya adalah pada pemahaman seseorang atas hadis itu. Mereka, sesuai dengan perspektifnya yang melibatkan pengandalan kemampuan diri, menyatakan bahwa membaca Al-Waqi’ah saja bukan conditio sine qua non (kondisi yang harus ada dan perlu) untuk mencari kekayaan, tetapi harus berusaha, bekerja, dengan segenap kemampuan dirinya, dan barulah kekayaan itu akan terealisasi. Pandangan ini benar, tetapi menurut Sufi, jika seseorang telah mencapai kondisi di mana tingkat kepasrahannya sedemikian rupa, maka bahkan tanpa bekerja sekalipun kekayaan itu akan datang. Pandangan Sufi seperti ini sulit diterima oleh akal sehat, dan karenanya kaum modernis menolaknya dan cenderung sinis dan menghina. Bagaimana mungkin membaca Al-Waqi’ah saja kekayaan lantas datang jatuh dari langit? Terlebih, kesan yang ditimbulkan dari pandangan ini adalah bahwa Sufi mengajarkan kejumudan dan kemalasan. Pertanyaan dan kritik yang kelihatan masuk akal ini sulit untuk dijawab secara memuaskan. Sebab, realisasi dari pernyataan bahwa membaca Al-Waqi’ah membuat orang tidak akan miskin tidak bisa dipahami dari perspektif nalar. Lagi pula, ada kaifiyah atau adab lahir-batin dalam membaca yang harus diikuti agar pernyataan hadis itu terealisasikan. Di sini ada peran “ijazah” yang lazim dalam tradisi tarekat. Ada beberapa amalan tertentu yang harus “diijazahkan” oleh otoritas Mursyid yang berwenang agar atsar dan fadhilah dari suatu amalan bisa terealisasi – tetapi saya tidak akan membahas konsep ijazah di sini karena terlalu mendalam dan di luar kemampuan saya. Untuk menjelaskan lebih gamblang kita ambil contoh lain yang lebih lazim: Allah berfirman, “berdoalah kepada-Ku niscaya akan Kukabulkan.” Tetapi dalam keseharian ada banyak yang berdoa tetapi seperti tak ada jawaban. Sekali lagi, kaum modernis atau non-Sufi akan menghubungkan kesalahan pada orang yang berdoa, tetapi dengan menisbahkan pada kurangnya aspek “pendayagunaan kemampuan diri” untuk mewujudkan doa. Sufi juga mengatakan hal yang sama, namun dengan menisbahkan kesalahan dalam “adab esoteris (batiniah)” dan keadaan batin yang kurang tepat. Bagi Sufi, tidak terealisasinya doa secara segera disebabkan karena seseorang masih mengandalkan sesuatu yang lain selain Tuhan dalam rangka mewujudkan apa yang dimintanya. Kebanyakan manusia, kata Sufi, hanya berdoa dengan lisan ucapan, bukan dengan lisan keadaan (lisan al-hal). Mereka berdoa misalnya minta rezeki, tetapi yang keluar baru lisan ucapan, sementara lisan keadaannya belum ikut meminta. Keadaan seseorang adalah senantiasa membutuhkan, fakir, miskin, tak berdaya. Sayangnya, sembari berdoa, orang umumnya masih belum mengakui kefakirannya, masih ada setitik noda kesombongan baik itu disadari atau tidak, yakni noda keangkuhan “tersembunyi” yang menyatakan bahwa jika dirinya berusaha, atau melakukan ini atau itu, sesuai hukum sebab akibat, maka tujuannya akan tercapai. Dengan kata lain, orang awam pada dasarnya hanya menjadikan doa sebagai pelengkap penyerta, seolah-olah doa adalah aspek sekunder dalam tindakannya. Karena itulah Nabi bersabda, “Doa tidak akan dikabulkan dari hati yang lalai,” yakni tidak memperhatikan adab dan hakikat doa itu sendiri. Padahal, menurut pandangan Sufi, karena doa adalah otak ibadah, dan Tuhan tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah, maka doa bukan aspek sekunder, tetapi primer. Dalam berdoa seseorang mesti memusatkan perhatiannya kepada Yang Dicari Permohonannya, bukan pada dirinya sendiri, sebab selama ia masih memandang dirinya sebagai sesuatu yang memiliki daya, ia tak bisa dikatakan “berdoa” dalam arti sesungguhnya. Kondisi ini menyebabkan seseorang harus selalu berbaik sangka kepada Tuhan. Di sini juga terdapat rahasia dari perintah Nabi saw untuk agar kita selalu mengulang-ngulang doa, terus-menerus setiap hari. Ini adalah cara menanamkan kesadaran dalam diri kita akan kebutuhan kita dan karenanya membangkitkan lisan al-hal untuk “berdoa” mengiringi ucapan doa. Doa yang paling baik, menurut Sufi, karenanya, adalah berupa pengakuan yang tulus akan keadaannya sebagai hamba. Bentuk doa ini biasanya disebut munajat, percakapan intim, yang hanya bisa muncul berkat karunia ilahi. Contoh yang paling terkenal adalah munajat I’tiraf dari Abu Nuwas, yang kerap dibaca sehabis shalat Jum’at. Apabila conditio sine qua non dari doa ini tak terpenuhi, tak heran doa akan terasa seperti tidak terkabul. Dengan kata lain, meski seseorang telah berdoa, namun karena dia masih mengandalkan pada usaha dari dirinya sendiri, maka doa tak dikabulkan dengan segera, atau ditunda, atau sebagai tebusan atas dosanya, atau diganti sesuatu yang lain yang lebih cocok dengannya. Doa yang segera dikabulkan hanya berasal dari doa seseorang yang sudah menyandarkan segala sesuatu sepenuhnya, secara total, hanya kepada Allah semata. Tetapi harus segera ditambahkan di sini bahwa “ketidakterkabulan” doa ini adalah relatif, sebab Allah telah berfirman “berdoalah kepada-Ku maka akan Kukabulkan.” Jadi ketidakterkabulan itu adalah bentuk lain dari keterkabulan doa, sebab Allah lebih tahu ketimbang hamba-Nya tentang apa-apa yang dibutuhkan oleh hamba-hamba-Nya itu. Sebab boleh jadi seseorang meminta sesuatu padahal sesuatu itu buruk baginya, dan sebaliknya, dan karenanya pengabulan Allah selalu berdasarkan kepada kebutuhannya yang terbaik, bukan berdasar keinginannya, yang bisa jadi salah atau berlebihan dan tidak cocok keadaannya. Jika seorang anak TK minta pistol sungguhan kepada ayahnya, sudah barang tentu ia tidak akan diberi, dan dalam kasus ini “tidak memberi” adalah bentuk lain dari ”memberi,” yakni mencegah kemudharatan. Dengan cara yang sama, Allah tidak memberi sesuatu yang dipinta si hamba dalam rangka memberi sesuatu yang lain yang lebih manfaat kepadanya atau setidaknya sesuatu yang mencegah mudharat yang lebih besar kepada hambanya. Bagi sufi, pemahaman ini penting supaya seorang hamba tidak berburuk sangka kepada-Nya, sebab berburuk sangka akan membawa konsekuensi yang berbahaya, mengingat ada hadis qudsi yang menyatakan “Aku adalah sebagaimana prasangka hamba-Ku.” Menurut Sufi, seseorang harus yakin bahwa Allah telah mengetahui, atau bahkan menciptakan, kebutuhannya, bahkan sebelum dia berdoa. Karena itu Ibnu Athaillah mengatakan, “yang dibutuhkan darimu hanyalah kepasrahan dan pengakuan total bahwa engkau dalam keadaan yang amat membutuhkan.” Allah telah menetapkan bahwa Dia akan mengabulkan doa siapa saja yang merasa butuh. Firman-Nya, “Siapa yang mengabulkan doa orang yang dalam keadaan membutuhkan [idhthirar]? Dan siapa yagng menghilangkan kesusahan dan menjadikan kamu khalifah di muka bumi? Adakah Tuhan selain Allah?” (Q.S 27:62). Keadaan “membutuhkan” dalam pengertian ayat itu adalah keadaan “tak punya pilihan,” dan hilangnya “kehendak bebas.” Dari sudut pandang modern, barangkali terdengar aneh dan tak dapat diterima, karena kehilangan kehendak bebas dan pilihan akan menyebabkan seseorang terbelenggu. Namun bagi Sufi, keadaan ini adalah pantulan dan kemerdekaan yang sesungguhnya, kebebasan dari belenggu nafs (hawa nafsu rendahan). Al-Hakim al-Tirmidhi menerangkan, “Karena sudah tak tahu mesti berbuat apa lagi, seseorang akan menghadap kepada Tuhannya dengan kesungguhan, mengakui segala kehinaan dan kerendahannya, dan pasrah dalam arti sesungguhnya. Tetapi Tuhan berfirman, Dialah yang memperkenankan doa orang yang dalam kesulitan ketika dia berdoa kepada-Nya (Q.S. 27:62). Ayat ini menjelaskan bahwa meski hati kita bersemangat dan berupaya sungguh-sungguh, tetap saja keburukan tidak tersingkir dari diri kita, dan tetap saja ada doa yang tak diperkenankan, kecuali doa dan semangat hati kita diarahkan setulusnya kepada Allah semata, karena hanya Allah sajalah yang bisa membuat hati merasakan kesulitan dan sangat membutuhkan-Nya ... Orang yang berjalan dalam kesulitan ... adalah orang yang sungguh patut mendapat rahmat dan pertolongan-Nya ... Dia ditolong dengan rahmat-Nya karena doanya tulus. Doa mustahil tulus, kecuali setelah seseorang mengalami kesulitan, tak memiliki pegangan dan tak punya rujukan. Orang yang satu perhatiannya di arahkan kepada Tuhan dan satunya lagi diarahkan pada upayanya sendiri, maka dia belum benar-benar dalam kesulitan.” Jadi, intinya, dibutuhkan ketulusan dan kepasrahan total agar doa lekas terjawab. Tetapi kondisi kepasrahan total ini sangat sulit dicapai, walau tidak mustahil, terutama dalam aspek batinnya, sebab kondisi ini berhubungan dengan wilayah kebenaran mistis. Seseorang harus mencapai kondisi kepasrahan lahir dan batin seperti yang dicapai Maryam agar ia bisa mendapatkan makanan langsung dari Tuhan tanpa bekerja—Zakaria bertanya, wahai Maryam, dari mana hidangan ini? ‘Dari Allah, dan Dia memberi rezeki kepada orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas’ (QS. 3: 37). Dengan kata lain, seseorang harus menjadi ‘yang dikehendaki Allah’ agar mendapat rezeki tanpa batas—tanpa dibatasi oleh hukum sebab-akibat. Rezeki bukan hanya makanan, tetapi juga rezeki kesehatan, ilmu, harta, dan seterusnya. Jadi, jika orang yang terus-menerus membaca, misalnya, Surah Al-Waqi’ah, dengan ijazah dan kaifiyat yang benar dan secara batin berusaha menyempurnakan dirinya, niscaya rezeki itu datang secara tak terduga. Orang yang menyempurnakan istighfarnya lahir batin, maka sebagaimana dijanjikan Allah, rezeki akan datang dari arah tak terduga. Dengan cara yang sama, barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka akan ditunjukkan jalan kepada-Nya, akan mendapatkan ilmu langsung dari sisi-Nya, ‘ilm al-ladunni. Hal-hal seperti ini hanya dialami oleh segelintir orang saja, yakni para Nabi dan para wali Allah yang berkedudukan mulia. Jadi tidak mengherankan jika kita jumpai fenomena orang-orang berduyun-duyun berdatangan ke Kiai yang telah dianggap wali Allah untuk memohon agar didoakan, sebab wali yang sudah dalam kondisi seperti ini diyakini doanya makbul. Namun perlu diingat bahwa “kepasrahan total” ini harus dibedakan dengan putus asa dan menggantungkan harapan pada keajaiban semata tanpa ikhtiar. Kepasrahan di sini adalah sikap batin, bukan tindak lahiriah. Jika kepasrahan ini diletakkan dalam konteks yang keliru, maka akan muncul fatalisme atau determinisme (jabariyyah) yang jelas-jelas keliru karena mengesampingkan potensi ikhtiar manusia, dan karenanya bertentangan dengan Kehendak Ilahi yang menghendaki ikhtiar perjuangan atau jihad atau mujahadah di pihak hamba-Nya. Jadi kepasrahan tempatnya ada wilayah batin, bukan di wilayah lahir — secara lahir manusia tetap diwajibkan ikhtiar. Lebih jauh, dalam paradoks kepasrahan/ikhtiar dan doa ini terkandung misteri yang hanya bisa dipahami melalui zawq, atau “rasa” spiritual, seperti tersirat dalam ungkapan Sufi, “Bukan engkau yang memilih jalan, namun jalanlah yang memilihmu.” Ini adalah bagian dari misteri “kecepatan” terwujudnya sesuatu, kun fa yakun.... Bersambung ... ke #5 Tri Wibowo BS / Mbah Kanyut Ikhwan TQN

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
أبـــــــــــــــــــــــــو عـــــــــــــــــــــــــــــمار
Sedan Rembang, Jateng, Indonesia
Lihat profil lengkapku

Blog Arcife