Kamis, 28 Januari 2010
Lalu apa “metodologi”—jika boleh disebut demikian—untuk memahami doktrin-doktrin agama yang pada dasarnya adalah sebentuk pelajaran mistis? Di sinilah ulama-ulama Tasawuf berbeda secara signifikan dengan ulama-ulama lahiriah dalam memandang dan memahami doktrin-doktrin agama. Dalam ajaran Islam, tindakan “kontemplasi” (tafakkur) atau pemikiran—yang melahirkan ilmu pengetahuan—tak pernah dipisahkan dari “tindakan”: ilmu dan amal adalah satu kesatuan. Juga, Islam tak pernah memisahkan aspek lahir dengan aspek batin, sebab Allah adalah Az-Zahir dan Al-Bathin. Unsur kontemplasi atau pemikiran mistis itu sendiri bukan hanya dalam kerangka empiris dan pengertian ilmiah, yang berangkat dari asumsi dan sikap skeptis, tetapi juga berasal dari “kepastian” dan “keyakinan”, yakni iman. Iman itu sendiri bukan wilayah akal, seperti dikatakan oleh Immanuel Kant, walau akal itu sendiri bisa mempengaruhi iman, dan sebaliknya. Karena berangkat dari kepastian ini, yang landasan utamanya adalah Tauhid, Keesaan Tuhan, maka untuk mendapatkan pengetahuan mistis, seseorang harus menempuh dua jalur yang di permukaan kelihatan bertentangan: jalan kepasrahan dan usaha (ikhtiar). Kepasrahan di sini bukan keputusasaan, sebab kepasrahan melibatkan unsur “perjuangan”. Secara paradoks, menjadi pasrah dibutuhkan usaha, dan usaha untuk meraih kesempurnaan ruhani dan hakikat membutuhkan kepasrahan. Dan langkah pertama di jalan Tasawuf adalah pasrah untuk mematuhi perintah, yang berarti pula pasrah untuk diperintahkan berjuang (jihad). Karenanya, dalam tradisi Tasawuf, sesungguhnya jalan utama untuk mencapai pemahaman mistis adalah kepasrahan, yakni “siap” untuk menenggelamkan diri dalam perjuangan keruhanian—jihad al-akbar, melawan hawa nafsu. Ini adalah perjuangan seumur hidup; dan karena perjuangan dalam konteks ini membutuhkan kepasrahan, hal ini juga berarti kepasrahan seumur hidup. Ini makna dasar dari “Islam” yang secara literal juga bermakna pasrah atau tunduk. Sebuah perjuangan untuk mencapai sesuatu tentu membutuhkan pemahaman tentang apa yang hendak dicapai dari perjuangan itu, bagaimana mencapainya—seperti misalnya apa langkah-langkahnya, strateginya, hambatannya, lawannya, dan seterusnya. Dalam bahasa syariat: amal membutuhkan ilmu, sebab tanpa ilmu maka amal tidak akan ada faedahnya. Maka, tidak mengherankan jika ayat Al-Quran pertama yang turun berhubungan dengan unsur dalam pencarian ilmu, yang berupa perintah untuk membaca: iqra! Dan tidak mengherankan pula, karena ini adalah sebuah perintah, seorang muslim harus melakukan dua hal berbeda secara bersamaan, pasrah dan berjuang. Pasrah dan tunduk mematuhi perintah membaca, sekaligus berjuang untuk “membaca” agar mendapatkan pemahaman, yang pada gilirannya pengetahuan itu akan menuntun seseorang dalam menempuh perjalanan keruhanian. Tetapi bagi kaum Sufi, membaca di sini dipahami bukan hanya sebagai perintah untuk membaca ayat Al-Quran dan ayat alam saja. Sufi menggunakan Al-Quran sebagai semacam “lensa” untuk membaca secara detail seluruh ayat Allah (yang berarti juga kosmos dan manusia), dan sekaligus juga sebagai sebentuk “baiat” untuk masuk ke wilayah mistisisme (Tasawuf). Harus diingat bahwa Al-Quran adalah diwahyukan langsung oleh Tuhan melalui perantara Jibril dan Rasulullah Saw. Sebagai sebuah “wahyu,” Al-Quran berasal dari Tuhan, maka apa pun isinya berasal dari-Nya, dan bisa dikatakan tema pokoknya adalah tentang Allah, yang berada di luar jangkauan akal dan pikiran. Dan karena wahyu itu berasal dari Tuhan, maka Al-Quran hadir “bersama” Tuhan, atau hadir beserta Asma-Nya. Dan juga karena kata Al-Quran itu sendiri berarti bacaan, maka yang pertama-tama dimaksud oleh perintah “bacalah” adalah kitab Al-Quran itu sendiri. Nah, mengikuti perintah untuk “membaca” Al-Quran berarti juga merasakan adanya campur tangan dan “kehadiran” ilahi di balik ayat-ayat-Nya. Jadi seorang muslim yang membaca Al-Quran berarti pula sesungguhnya telah menempuh jalan mistik. Dengan membaca Al-Quran seseorang berarti menyerap dan sekaligus dikuasai oleh Kehadiran dari Yang Mahabenar, yang sama artinya dengan menyadari dan mengakui kehadiran ilahi di setiap tarikan nafasnya. Ini adalah inti dari zikir—dalam hadis dikatakan bahwa membaca Al-Quran adalah sebentuk zikir pula. Maka, sekali lagi, perintah “membaca” adalah semacam “peresmian” atau inisiasi ke dunia mistisisme, dalam pengertiannya yang asli. Dan karena salah satu fungsi Al-Quran adalah sebagai petunjuk (huda) yang lurus, maka berarti bahwa pembaca Al-Quran harus pasrah untuk dibimbing, atau seperti dikatakan Syekh Ibnu Abbad, “ditunjuki jalan dan membiarkan dirinya dibimbing”. Melalui proses semacam ini, yang panjang dan berliku, seseorang baru bisa mencapai haqiqat. Jadi sulit untuk dimengerti jika dikatakan bahwa Tasawuf berasal dari luar Islam. Bahkan doktrin seperti yang biasa disebut “wahdat al-wujud” (Kesatuan Wujud) sekalipun bukanlah hal asing atau tidak ada dasarnya dalam Al-Quran dan hadis. Para Sufi selalu memberikan rujukan yang tegas. Mengenai ayat kesatuan mistis ini, Sufi mengetengahkan ayat-ayat seperti: Ke mana saja engkau menghadap, di situ tampak wajah Allah (Q.S 2: 115); segala sesuatu yang ada di muka bumi akan binasa, dan kekallah Wajah Tuhanmu dengan Keagungan dan Kemurahan-Nya (QS. 28: 88); Kami lebih dekat kepadanya dibanding urat lehernya (QS. 8:24). Juga hadis seperti: Hamba-Ku tiada henti mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal sunnahnya, sehingga Aku mencintainya; dan bila Aku mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang dengannya dia mendengar, penglihatannya yang dengannya dia melihat, dan tangannya yang dengannya dia memukul, dan kakinya, yang dengannya dia berjalan; Engkau adalah yang Maujud secara Lahir dan tak ada yang menutupi-Mu. Jelas para penentang Sufi akan menyanggah dengan mengatakan bahwa ayat-ayat semacam itu adalah sebentuk metafora dan karenanya tidak mengajarkan “kesatuan” antara Pencipta-makhluk. Penolakan mereka terhadap ajaran Sufi itu mungkin didasari oleh niat yang tulus, yakni untuk mempertahankan Keesaan ilahi, sebab akan amat berbahaya jika doktrin ini tersebar luas kepada umat muslim secara umum. Tetapi sering kali para penentang itu melangkah terlalu jauh dengan menyebutkan para Sufi adalah kafir karena mengajarkan panteisme yang menyamaratakan Tuhan dengan alam dan manusia. Ini adalah tuduhan yang keterlaluan. Perbedaan pandangan atas ayat-ayat Al-Quran ini adalah sesuatu yang tak terelakkan, sebab ini berhubungan aksesibilitas seperti telah disinggung di atas. Pengetahuan bertingkat-tingkat, demikian pula dengan realitas, demikian salah satu premis dalam Tasawuf. Karena bertingkat-tingkat, maka tentu ada pengetahuan yang tertinggi dan realitas tertinggi, dan ada tingkat yang lebih rendah. Bagi Sufi, pengetahuan melalui akal tidak menduduki tingkat tertinggi. Pengetahuan tertinggi hanya bisa diperoleh berkat anugerah ilahi kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Pengetahuan fenomena dan semua hal yang berada pada level dunia, dianggap inferior. Rujukan utama adalah kisah Khidir dengan Musa, di mana Khidir, dengan pengetahuannya yang tak dipahami bahkan oleh seorang nabi, yakni Musa, melakukan tindakan-tindakan yang secara moral dan logis tidak bisa dibenarkan sama sekali. Tetapi pengetahuan di sisi Tuhan, atau tepatnya pengetahuan Tuhan, tidak dibatasi oleh kerangka moralitas manusiawi. Perbedaan dalam pemahaman atas ayat Al-Quran antara ulama Sufi dan non-Sufi berakar pada perbedaan dalam “metodologi”. Kebanyakan ulama non-Sufi berusaha secara “aktif” untuk merenungkan, memahami dan menjelaskan Al-Quran dengan mengandalkan usaha sendiri. Kedatangan dunia modern bersama dengan sifat skeptisisme dan kritisnya telah memperkuat kecenderungan ini. Sebagian, mungkin saking bersemangatnya, menelaah Al-Quran dengan perangkat analisis dan data eksternal dan data ilmiah untuk menjelaskan Al-Quran. Sebagian lagi menggunakan cara yang lebih “lunak” yakni menggunakan nalar tetapi dengan mempertimbangkan intuisi keilahian. Sebagian menyebutnya “nalar ilahi”. Semua bentuk “modern” ini memiliki kesamaan, yakni memandang Al-Quran sebagai sebuah teks, sebagai sebuah objek. Dengan “mempelajari” Al-Quran, maka secara tak sadar diasumsikan ada jarak eksistensial dan intelektual antara pengkaji dan Al-Quran itu sendiri. Artinya, dengan cara ini, sesungguhnya si pengkaji melakukan pembatasan karena si pengkaji memahaminya dari sudut pandang pribadi, entah itu disadari olehnya atau tidak. Tak perlu diragukan bahwa pelibatan sudut pandang diri dalam mempelajari Al-Quran bisa dibenarkan, karena hanya dengan cara inilah sebuah ajaran memiliki ciri sebagai dogma. Juga, lantaran adanya campur tangan sudut pandang diri, ego, atau mental inilah maka ajaran agama memperoleh sifatnya yang dinamis, dan karenanya bisa mengakomodasi fenomena dunia yang selalu berubah-ubah. Melalui kajian semacam ini kita bisa melihat perkembangan intelektual yang dinamis dan luar biasa, yang kadang menghasilkan capaian yang mencerahkan. Jadi sesungguhnya Sufi tidak mempermasalahkan mereka yang mendekati Islam dari sudut pandang seperti itu. Yang menjadi persoalan adalah ketika satu sudut pandang itu menolak sudut pandang lain, terutama yang lebih tinggi. Bagi seseorang yang tidak mampu melampaui sudut pandangnya sendiri, hampir bisa dipastikan ia akan menolak mentah-mentah sudut pandang lain. Orang-orang seperti ini akan cenderung menyamakan antara sudut pandang mereka terhadap ajaran dengan ajaran itu sendiri. Kesalahan inilah yang membuat sebagian orang menganut paham literalisme yang ketat—atau fundamentalisme yang kaku. Bahkan, bagi sebagian orang yang menganggap dirinya liberal dan kritis sekalipun terkadang sulit untuk memahami suatu sudut pandang yang lebih tinggi. Di pihak lain, cara Sufi memahami Al-Quran, dan doktrin agama pada umumnya, melampaui sudut pandang ini. Mereka berangkat dari kepasrahan dan keyakinan. Sufi tidak akan menghadapi Al-Quran sebagai sebuah teks suci yang harus dipahami. Sufi lebih dulu menyiapkan sebuah “wadah” dan “saluran” di dalam dirinya untuk menerima aliran kandungan Al-Quran, dan wadah itu bukan di akal pikiran, tetapi di qalb. Karenanya, boleh dikatakan bahwa Sufi tidak “berusaha” memahami, tetapi membiarkan kandungan Al-Quran itu, yang terdiri dari dua bagian utama yakni kandungan lahir dan batin, dialirkan oleh Tuhan langsung ke lubuk hati mereka. Seperti tersirat dalam ayat “Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan” (QS. 1:5), penyembahan adalah penghapusan kemauan diri, penghapusan sudut pandang pribadi, di hadapan ayat-ayat Allah yang suci. Sesuatu yang suci hanya bisa dipahami secara penuh oleh sesuatu yang suci lainnya. Terang cahaya hanya bisa dipantulkan oleh cermin yang terang dan bening. Karena itu, Sufi pada titik tertentu bahkan menghapuskan sama sekali sudut pandang dari dirinya sendiri, dan setelah proses ini tercapai di mana ia tak lagi mengandalkan pada kesadaran dirinya dan sudut pandangnya, ia akan memperoleh sudut pandang dari Pemilik Pengetahuan Al-Quran itu sendiri—inilah fana dan baqa dalam kaitannya dengan pemerolehan pengetahuan hakikat-makrifat. Karenanya, tidak mengherankan jika sering kali tafsir Sufi atas Al-Quran berbeda dengan tafsir dari usaha intelektual lainnya, dan bahkan terkadang seperti menjungkirbalikkan kaidah-kaidah eksoteris dalam ajaran Islam itu sendiri, sebagaimana kisah Khidir dan Musa. Dan juga tak mengherankan jika para Sufi terkadang menggunakan “metodologi” yang aneh ketika mengajar muridnya. Seperti contoh kisah berikut ini: Bersambung .. ke #4 Tri Wibowo BS/ Mbah Kanyut Ikhwan TQn Suryalaya

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
أبـــــــــــــــــــــــــو عـــــــــــــــــــــــــــــمار
Sedan Rembang, Jateng, Indonesia
Lihat profil lengkapku

Blog Arcife