Jumat, 31 Desember 2010

MUQADDIMAH

Masyarakat muslim Indonesia adalah mayoritas penganut madzhab Imam Syafi’i atau biasa disebut sebagai Syafi’iyah (penganut Madzhab Syafi’i). Namun, sebagain lainnya ada yang tidak bermadzhab Syafi’i. Di Indonesia, Tahlilan banyak dilakukan oleh penganut Syafi’iyah walaupun yang lainnya pun ada juga melakukannya. Tentunya tahlilan bukan sekedar amalan yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam, bahkan kalau ditelusuri dan dikaji secara mendalam satu persatu amalan-amalan yang ada dalam tahlilan maka tidak ada yang bertentangan dengan hukum Islam. Oleh karena itu, ulama seperti walisongo dalam menyebarkan Islam sangatlah bijaksana dan lihai sehingga Islam hadir di Indonesia dengan tanpa anarkis dan frontal, salah satu buahnya sekaligus kelihaian walisongo adalah diperkenalkannya kegiatan tahlilan. Tahlilan, sebagian kaum Muslimin menyebutnya dengan “majelis tahlil”, “selamatan kematian”, “kenduri arwah” dan lain sebagainya. Apapun itu, pada dasarnya tahlilan adalah sebutan untuk sebuah kegiatan dzikir dan bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’alaa. Yang mana didalamnya berisi kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tasybih, tahlil hingga shalawat, do’a dan permohonan ampunan untuk orang yang meninggal dunia, pembacaan al-Qur’an untuk yang meninggal dunia dan yang lainnya. Semua ini tidak ada yang bertentangan dengan syariat Islam. Namun, dalam bahasan ini setidaknya ada beberapa hal pokok dalam tahlilan yang harus dipaparkan dan kadang dipermasalah : I. DO’A, SHADAQAH, BACAAN AL-QUR’AN DAN DZIKIR LAINNYA UNTUK ORANG MATI Untuk mempermudah memahami masalah ini yang merupakan amalan masyru’ yang terdapat dalam tahlilan maka bisa di rincikan sebagai berikut : A. DO’A UNTUK ORANG MATI Kaitan dengan do’a, hal ini tidak begitu dipermasalahkan sebab telah menjadi kepakatan ulama ahlus sunnah wal jama’ah bahwa do’a sampai kepada orang mati dan memberikan manfaat bagi orang mati. Begitu banyak dalil yang menguatkan hal ini namun untuk mempersingkat bahasan hanya beberapa saja yang akan dipaparkan dalam tulisan ini sebab lebih memfokuskan pada aqwal ‘ulama-ulama Syafi’iyah. Allah Subhanahu wa Ta’alaa berfirman : والذين جاءوا من بعدهم يقولون ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك رءوف رحيم “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. al-Hasyr 59 ; 10) كان رسول الله صلى الله عليه وسلم كلما كان ليلتها من رسول الله صلى الله عليه وسلم يخرج من آخر الليل إلى البقيع فيقول السلام عليكم دار قوم مؤمنين وأتاكم ما توعدون غدا مؤجلون وإنا إن شاء الله بكم لاحقون اللهم اغفر لأهل بقيع الغرقد. “Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam pada malam hari yaitu keluar pada akhir malam ke pekuburan Baqi’, kemudian Rasulullah mengucapkan “Assalamu’alaykum dar qaumin mu’minin wa ataakum ma tu’aduwna ghadan muajjaluwna wa innaa InsyaAllahu bikum laa hiquwn, Allahummaghfir lil-Ahli Baqi al-Gharqad”. [1] Ini salah satu ayat dan hadits yang menyatakan bahwa mendo’akan orang mati adalah masyru’ (perkara yang disyariatkan), dan menganjurkan kaum muslimin agar mendo’akan saudara muslimnya yang telah meninggal dunia. Banyak-ayat-ayat serupa dan hadits-hadits yang menunjukkan hal itu. ‘Ulama besar madzhab Syafi’iyah yakni al-Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar menyebutkan : “Bab perkataan dan hal-hal lain yang bermanfaat bagi mayyit : ‘Ulama telah ber-ijma’ (bersepakat ) bahwa do’a untuk orang meninggal dunia bermanfaat dan pahalanya sampai kepada mereka. Dan ‘Ulama’ berhujjah dengan firman Allah : {“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka, mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami (59:10)”}, dan ayat-ayat lainnya yang maknanya masyhur, serta dengan hadits-hadits masyhur seperti do’a Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam “ya Allah berikanlah ampunan kepada ahli pekuburan Baqi al-Gharqad”, juga do’a : “ya Allah berikanlah Ampunan kepada yang masih hidup dan sudah meninggal diantara kami”, dan hadits- yang lainnya.” [2] Didalam Minhajuth Thalibin : “dan memberikan manfaat kepada mayyit berupa shadaqah juga do’a dari ahli waris dan orang lain” [3] Imam al-Mufassir Ibnu Katsir asy-Syafi’i terkait do’a dan shadaqah juga menyatakan sampai. “Adapun do’a dan shadaqah, maka pada yang demikian ulama telah sepakat atas sampainya pahala keduanya, dan telah ada nas-nas dari syariat atas keduanya”. [4] Syaikh an-Nawawi al-Bantani (Sayyid ‘Ulama Hijaz) didalam Nihayatuz Zain : “dan do’a memberikan manfaat bagi mayyit, sedangkan do’a yang mengiringi pembacaan al-Qur‘an lebih dekat di ijabah”.[5] Syaikh al-‘Allamah Zainudddin bin ‘Abdul ‘Aziz al-Malibari al-Hindi didalam Fathul Mu’in : “dan memberikan manfaat bagi mayyit dari ahli waris atau orang lain berupa shadaqah darinya, diantara contohnya adalah mewaqafkan mushhaf dan yang lainnya, membangun masjid, sumur dan menanam pohon pada masa dia masih hidup atau dari orang lain yang dilakukan untuknya setelah kematiannya, dan do’a juga bermanfaat bagi orag mati berdasarkan ijma’, dan telah shahih khabar bahwa Allah Ta’alaa mengangkat derajat seorang hamba di surga dengan istighafar (permohonan ampun) putranya untuknya [6]. dan tentang firman Allah {wa an laysa lil-insaani ilaa maa sa’aa} adalah ‘amun makhsush dengan hal itu, bahkan dikatakan mansukh”. [7] Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi didalam I’anah : “Frasa (do’a) ma’thuf atas lafadz shadaqah, yakni do’a juga memberikan manfaat bagi orang mati baik dari ahli waris atau orang lain”.[8] Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshari didalam Fathul Wahab : “dan memberikan manfaat bagi orang mati baik dari ahli waris atau orang lain berupa shadaqah dan do’a berdasarkan ijma’ dan hujjah lainnnya, adapun firman Allah {wa an laysa lil-insaani ilaa maa sa’aa} adalah ‘amun makhshush dengan hal itu bahkan dikatakan mansukh, sebagaimana itu bermanfaat bagi mayyit juga bermanfaat bagi person yang bershadaqah dan yang berdo’a”.[9] Imam Ahmad Ibnu Hajar al-Haitami didalam Tuhfatul Muhtaj : “dan memberikan manfaat kepada mayyit berupa shadaqah darinya, seperti mewaqafkan mushhaf dan yang lainnya, menggali sumur dan menanam pohon pada masa hidupnya atau dari orang lain untuknya setelah kematiannya, dan do’a juga bermanfaat bagi orang mati baik berasal dari ahli waris atau orang lain berdasarkan ijma’ dan telah shahih didalam khabar bahwasanya Allah mengangkat derajat seorang hamba didalam surga dengan istighafar anaknya untuknya, keduanya (ijma’ dan khabar) merupakan pengkhusus, bahkan dikatakan sebagai penasikh untuk firman Allah {wa an laysa lil-insaani ilaa ma sa’aa} jika menginginkan dhahirnya, namun jika tidak maka kebanyakan ulama menta’wilnya, diantaranya itu dibawa atas pengertian kepada orang kafir atau maknanya tidak ada haq baginya kecuali pada perkara yang diusahakannya”.[10] Imam Syamsuddin al-Khathib as-Sarbiniy didalam Mughni : “kemudian disyariatkan tentang perkara yang bermanfaat bagi mayyit, maka kemudian ia berkata (dan bermanfaat bagi mayyit berupa shadaqah) darinya, waqaf, membangun masjid, menggali sumur dan seumpamanya, (juga bermanfaat berupa do’a) untuknya (dari ahli waris atau orang lain) sebagaimana bermanfaatnya perkara yang ia mengerjakannya pada masa hidupnya”. [11] Al-‘Allamah Muhammad az-Zuhri al-Ghamrawi didalam As-Siraaj : “dan shadaqah darinya bisa memberikan manfaat bagi mayyit seumpama mewaqafkan sesuatu, juga do’a dari ahli waris atau orang lain sebagaimana bermanfaatnya sesuatu yang itu ia lakukan pada masa hidupnya dan tidak memberikan manfaat berupa shalat dan pembacaan al-Qur’an akan tetapi ulama mutaakhirin berpendapat atas bermanfaatnya pembacaan al-Qur’an, dan sepatutrnya mengucapakan : “ya Allah sampaikan apa apa yang kami baca untuk fulan”, bahkan ini tidak khusus untuk qira’ah saja tetapi juga seluruh amal kebaikan boleh untuk memohon kepada Allah agar menjadikan pahalanya untuk mayyit, sungguh orang yang bershadaqah untuk mayyit tidak mengurangi pahalanya dirinya”.[12] Al-‘Allamah Syaikh Sulaiman al-Jamal didalam Futuhat al-Wahab : “(frasa bermanfaatnya shadaqah) diantaranya yakni waqaf untuk mushhaf dan yang lainnya, menggali sumur dan menanam pohon darinya pada masa hidupnya atau dari orang lain untuknya setelah kematiannya, dan do’a untuknya dari ahli waris dan orang lain berdasarkan ijma’”.[13] Masih banyak lagi pertanyaan ulama-ulama Syafi’iyah yang termaktub didalam kitab-kitab mereka. Oeh karena itu dapat disimpulkan bahwa do’a jelas sampai dan memberikan kepada orang mati dan ulama telah berijma’ tentang ini. Artinya dari sini, mayyit bisa memperoleh manfaat dari amal orang lain berupa do’a. Ini adalah amal baik dan penuh kasih sayang terhadap saudara muslimnya yang telah meninggal dunia, dan telah menjadi kebiasaan kaum muslimin terutama yang bermandzhab syafi’i baik di Indonesia yang lainnya, yang dikemas dalam kegiatan tahlilan. 2. SHADAQAH UNTUK ORANG MATI Telah diketahui sebelumnya pada kutipan-kutipan diatas bahwa pahala shadaqah juga sampai kepada orang mati sebagaimana do’a, dan memberikan manfaat bagi orang mati. Sebagai tanbahan dari pernyataan sebelumnya maka berikut diantara hadits dan juga pendapat ‘ulama Syafi’iyah lainnya tentang bermanfaatnya shadaqah untuk orang mati. Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan : أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم “Sesungguhnya seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, kemudian ia berkata ; “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia (mendadak) namun ia belum sempat berwasiat, dan aku menduga seandainya sempat berkata-kata ia akan bershadaqah, apakah ia akan mendapatkan pahala jika aku bershadaqah atas beliau ?, Nabi kemudian menjawab ; “Iya (maka bershadaqahlah, riwayat lain)”.[14] Ketika mengomentari hadits ini, Imam an-Nawawi mengatakan : “Pengertian dalam hadits ini adalah bahwa shadaqah dari mayyit bermanfaat dan pahalanya sampai kepada mayyit, dan hal itu dengan ijma’ ulama, sebagaimana juga ulama ber-ijma’ atas sampainya pahala do’a dan membayar hutang berdasarkan nas-nas yang telah warid didalam keseluruhannya, dan juga sah berhaji atas mayyit apabila haji Islam, dan seperti itu juga ketika berwasiat haji sunnah berdasarkan pendapat yang ashah (lebih sah), dan Ulama berikhtilaf tentang pahala orang yang meninggal dunia namun memiliki tanggungan puasa, pendapat yang rajih (lebih unggul) memperbolehkannya (berpuasa atas namanya) berdasarkan hadits-hadits shahih tentang hal itu”. [15] “Adapun mengenai yang dikisahkan oleh Qadli dari pada qadli Abul Hasan al-Mawardi al-Bashriy al-Faqih asy-Syafi’i didalam kitabnya (al-Hawiy) tentang sebagian ahli bicara yang menyatakan bahwa mayyit tidak bisa menerima pahala setelah kematiannya, itu adalah pendapat yang bathil secara qath’i dan kekeliruan diantara mereka berdasarkan nas-nas al-Qur’an, as-Sunnah dan kesepakatan (ijma’) umat Islam, maka tidak ada toleransi bagi mereka dan tidak perlu di hiraukan. [16] Banyak penjelasan kitab-kitab syafi’iyah yang senada dengan hal diatas. Hal yang juga perlu di garis bawahi disini adalah bahwa seseorang bisa memperolah manfaat dari amal orang lain. 3. QIRA’ATUL QUR’AN UNTUK ORANG MATI Dalam membahas masalah ini, memang ada perselisihan dalam madzhab Syafi’i yang mana ada dua qaul (pendapat) yang seolah-olah bertentangan, namun kalau dirincikan maka akan nampak tidak ada bedanya. Sedangkan Imam 3 (Abu Hanifah, Malik dan Ahmad bin Hanbal) [17] telah menyatakan bhawa pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada orang mati. Apa yang telah dituturkan oleh para Imam syafi’iyah yakni berupa petunjuk-petunjuk atau aturan dalam permasalahan ini telah benar-benar diamalkan dengan baik dalam kegiatan tahlilan. Perlu diketahui, bahwa seandainya pun ada perselisihan dikalangan syafi’iyah dalam masalah seperti ini, maka itu hanyalah hal biasa yang sering terjadi ketika mengistinbath sebuah hukum diantara para mujtahid dan bukanlah sarana untuk berpecah belah sesama kaum Muslimin, dan tidak pula pengikut syafi’iyah berpecah belah hanya karena hal itu, tidak ada kamus yang demikian sekalipun ‘ulama berbeda pendapat, semua harus disikapi dengan bijak. Akan tetapi, sebagian pengingkar tahlilan selalu menggembar-gemborkan adanya perselisihan ini (masalah furu’), mereka mempermasalahkan yang tidak terlalu dipermasalahkan oleh syafi’iyah dan mereka mencoba memecah belah persatuan umat Islam terutama Syafi’iyah, dan ini tindakan yang terlarang (haram) dalam syariat Islam. Mereka juga telah menebar permusuhan dan melemparkan banyak tuduhan-tuduhan bathil terhadap sesama muslim, seolah-olah itu telah menjadi “amal dan dzikir” mereka sehari-hari, tiada hari tanpa menyakiti umat Islam. Na’udzubillah min dzalik. Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam sangat benci terhadap mereka yang suka menyakiti sesama muslimin. Berikut diantara qaul-qaul didalam madzhab Syafi’iyah yang sering dipermasalahkan : Imam an-Nawawi menyebut didalam al-Minhaj syarah Shahih Muslim : “Dan yang masyhur didalam madzhab kami (syafi’iyah) bahwa bacaan al-Qur’an pahalanya tidak sampai kepada mayyit, sedangkan jama’ah dari ulama kami (Syafi’iyah) mengatakan pahalanya sampai, dengan pendapat ini Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat”. [18] Dihalaman lainnya beliau juga menyebutkan : “Adapun pembacaan al-Qur’an, yang masyhur dari madzhab asy-Syafi’i pahalanya tidak sampai kepada mayyit, sedangkan sebagian ashabusy syafi’i (‘ulama syafi’iyah) mengatakan pahalanya sampai kepada mayyit, dan pendapat kelompok-kelompok ulama juga mengatakan sampainya pahala seluruh ibadah seperti shalat, puasa, pembacaan al-Qur’an dan selain yang demikian, didalam kitab Shahih al-Bukhari pada bab orang yang meninggal yang memiliki tanggungan nadzar, sesungguhnya Ibnu ‘Umar memerintahkan kepada seseorang yang ibunya wafat sedangkan masih memiliki tanggungan shalat supaya melakukan shalat atas ibunya, dan diceritakan oleh pengarang kitab al-Hawi dari ‘Atha’ bin Abu Ribah dan Ishaq bin Ruwaihah bahwa keduanya mengatakan kebolehan shalat dari mayyit (pahalanya untuk mayyit). Asy-Syaikh Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad Hibbatullah bin Abu ‘Ishrun dari kalangan syafi’iyyah mutaakhhirin (pada masa Imam an-Nawawi) didalam kitabnya al-Intishar ilaa ikhtiyar adalah seperti pembahasan ini. Imam al-Mufassir Muhammad al-Baghawiy dari anshabus syafi’i didalam kitab at-Tahdzib berkata ; tidak jauh (melenceng) agar memberikan makanan dari setiap shalat sebanyak satu mud, dan setiap hal ini izinnya sempurna, dan dalil mereka adalah qiyas atas do’a, shadaqah dan haji, sesungguhnya itu sampai berdasarkan ijma’.” [19] Juga dalam al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab : “’Ulama berikhtilaf (berselisih pendapat) terkait sampainya pahala bacaan al-Qur’an, maka yang masyhur dari madzhab asy-Syafi’i dan sekelompok ulama syafi’i berpendapat tidak sampai, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal, sekelompok ‘ulama serta sebagian sahabat sy-Syafi’i berpendapat sampai. Dan yang dipilih agar berdo’a setelah pembacaan al-Qur’an : “ya Allah sampaikan (kepada Fulan) pahala apa yang telah aku baca”, wallahu a’lam”.[20] Imam Syamsuddin Muhammad al-Khathib asy-Syarbini didalam Mughni : “Tahbihun : perkataan mushannif sungguh telah dipahami bahwa tidak bermanfaat pahala selain itu (shadaqah) seperti shalat yang di qadha’ untuknya atau yang lainnya, pembacaan al-Qur’an, dan yang demikian itu adalah masyhur disisi kami (syafi’iyah)”.[21] Imam al-Mufassir Katsir asy-Syafi’i didalam penjelasan tafsir QS. An-Najm ayat 39 menyebutkan pendapat Imam asy-Syafi’i : “Dan dari ayat ini, Imam asy-Syafi’i dan orang yang mengikutinya beristinbat bahwa bacaan al-Qur’an tidak sampai menghadiahkan pahalanya kepada mayyit, karena itu bukan dari amal mereka dan bukan usaha mereka”.[22] Dari beberapa kutipan diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam Madzhab Syafi’i ada dua pendapat yang seolah-olah berseberangan, yakni ; 1. Pendapat yang menyatakan pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai, ini pendapat Imam asy-Syafi’i, sebagian pengikutnya ; kemudian ini di istilahkan oleh Imam an-Nawawi (dan ‘ulama lainnya) sebagai pendapat masyhur (qaul masyhur). 2. Pendapat yang menyatakan sampainya pahala bacaan al-Qur’an, ini pendapat ba’dlu ashhabis Syafi’i (sebagian ‘ulama Syafi’iyah) ; kemudian ini di istilahkan oleh Imam an-Nawawi (dan ulama lainnya) sebagai pendapat/qaul mukhtar (pendapat yang dipilih/ dipegang sebagai fatwa Madzhab dan lebih kuat), pendapat ini juga dipegang oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan imam-imam lainnya. PERMASALAHAN QAUL MASYHUR Pernyataan qaul masyhur bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada orang mati adalah tidak mutlak, itu karena ada qaul lain dari Imam asy-Syafi’i sendiri yang menyatakan sebaliknya. [23] Yakni berhubungan dengan kondisi dan hal-hal tertentu. Ini telah dijelaskan oleh ‘Ulama Syafi’iyah lainnya seperti Syaikhul Islam al-Imam Zakariyya al-Anshari dalam dalam Fathul Wahab : “Adapun pembacaan al-Qur’an, Imam an-Nawawi mengatakan didalam Syarh Muslim, yakni masyhur dari madzhab asy-Syafi’i bahwa pahala bacaan al-Qur’an tidak sampai kepada mayyit, sedangkan sebagian ashhab kami menyatakan sampai, dan kelompok-kelompok ‘ulama berpendapat bahwa sampainya pahala seluruh ibadah kepada mayyit seperti shalat, puasa, pembacaan al-Qur’an dan yang lainnya. Dan apa yang dikatakan sebagai qaul masyhur dibawa atas pengertian apabila pembacaannya tidak di hadapan mayyit, tidak meniatkan pahala bacaannya untuknya atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya bahkan Imam as-Subkiy berkata ; “yang menunjukkan atas hal itu (sampainya pahala) adalah hadits berdasarkan istinbath bahwa sebagian al-Qur’an apabila diqashadkan (ditujukan) dengan bacaannya akan bermanfaat bagi mayyit dan diantara yang demikian, sungguh telah di tuturkannya didalam syarah ar-Raudlah”. [24] Syaikhul Islam al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami didalam al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa: “dan perkataan Imam asy-Syafi’i ini (bacaan al-Qur’an disamping mayyit/kuburan) memperkuat pernyataan ulama-ulama Mutaakhkhirin dalam membawa pendapat masyhur diatas pengertian apabila tidak dihadapan mayyit atau apabila tidak mengiringinya dengan do’a”. [25] Lagi, dalam Tuhfatul Muhtaj : “sesungguhnya pendapat masyhur adalah diatas pengertian apabila pembacaan bukan dihadapan mayyit (hadlirnya mayyit), pembacanya tidak meniatkan pahala bacaannya untuk mayyit atau meniatkannya, dan tidak mendo’akannya untuk mayyit”.[26] Oleh karena itu Syaikh Sulaiman al-Jumal didalam Futuuhat al-Wahab (Hasyiyatul Jumal) mengatakan sebagai berikut : “dan tahqiq (penjelasan) bahwa bacaan al-Qur’an memberikan manfaat bagi mayyit dengan memenuhi salah satu syarat dari 3 syarat yakni apabila dibacakan dihadapan (disisi) orang mati, atau apabila di qashadkan (diniatkan/ditujukan) untuk orang mati walaupun jaraknya jauh, atau mendo’akan (bacaaannya) untuk orang mati walaupun jaraknya jauh juga. Intahaa”.[27] “(Cabang) pahala bacaan al-Qur’an adalah bagi si pembaca dan pahalanya itu juga bisa sampai kepada mayyit apabila dibaca dihadapan orang mati, atau meniatkannya, atau menjadikan pahalanya untuk orang mati setelah selesai membaca menurut pendapat yang kuat (muktamad) tentang hal itu,.... Frasa (adapun pembacaan al-Qur’an –sampai akhir-), Imam Ramli berkata : pahala bacaan al-Qur’an sampai kepada mayyit apabila telah ada salah satu dari 3 hal : membaca disamping quburnya, mendo’akan untuknya mengiringi pembacaan al-Qur’an dan meniatkan pahalanya sampai kepada orang mati.”[28] Imam an-Nawawi asy-Syafi’i rahimahullah: “Dan yang dipilih agar berdo’a setelah pembacaan al-Qur’an : “ya Allah sampaikan (kepada Fulan) pahala apa yang telah aku baca”, wallahu a’lam”.[29] Al-‘Allamah Muhammad az-Zuhri didalam As-Siraaj : “’Ulama mutaakhkhirin berpendapat atas bermanfaatnya pembacaan al-Qur’an, dan sepatutnya mengucapkan : “ya Allah sampaikan apa apa yang kami baca untuk fulan”, bahkan ini tidak khusus untuk qira’ah saja tetapi juga seluruh amal kebaikan boleh untuk memohon kepada Allah agar menjadikan pahalanya untuk mayyit, sungguh orang yang bershadaqah untuk mayyit tidak mengurangi pahalanya dirinya”.[30] Dari beberapa keterangan ulama-ulama Syafi’iyah diatas maka dapat disimpulkan bahwa qaul masyhur pun sebenarnya menyatakan sampai apabila al-Qur’an dibaca hadapan mayyit termasuk membaca disamping qubur, juga sampai apabila meniatkan pahalanya untuk orang mati yakni pahalanya ditujukan untuk orang mati, dan juga sampai apabila mendo’akan bacaan al-Qur’an yang telah dibaca agar disampaikan kepada orang yang mati. HILANGNYA PERSELISIHAN DAN PENERAPAN DALAM TAHLILAN Setelah memahami maksud dari qaul masyhur maka marilah ketahui tentang keluasan ilmu dan kebijaksaan ‘ulama yang telah merangkai tahlilan. Yakni bahwa didalam tahlilan sudah tidak ada lagi perselisihan mengenai membaca al-Qur’an untuk orang mati. Sebab semua dzikir yang dibaca, shalawat hingga pembacaan al-Qur’an dalam rangkaian tahlilan ; seluruhnya diniatkan untuk orang yang meninggal dunia yakni pada permulaan tahlilan. Sedangkan diakhir rangkaian tahlilan adalah ditutup dengan do’a yang berisi pemohonan ampun untuk yang meninggal, doa-doa yang lainnya serta do’a agar pahala bacaannya disampaikan kepada mayyit, sedangkan do’a memberikan bermanfaat bagi mayyit. Jika sudah seperti ini, tidak ada khilaf (perselisihan) lagi. Sungguh sangat bijaksana. II. JAMUAN MAKAN PADA PERKUMPULAN KEGIATAN TAHLILAN Dalam kegiatan tahlilan, kadang terdapat hidangan dari tuan rumah baik ala kadarnya (makanan ringan) dan ada juga yang berupa jamuan makan. Namun, ada juga yang hanya berupa minuman saja. Apapun itu tidak menjadi masalah dalam tahlilan. Sebab itu bukan tujuan dari tahlilan, namun tuan rumah kadang memiliki motivasi tersendiri seperti dalam rangka menghormati tamu atau bermaksud untuk bershadaqah yang pahalanya dihadiahkan kepada anggota keluarganya yang meninggal dunia. Ada hal yang sering di permasalahkan oleh para pengingkar terkait yang ada di dalam kegiatan tahlilan. Mereka mencari-cari “dalih” dalam kitab-kitab para imam untuk mengharamkan tahlilan, padahal tidak ada yang mengharamkan. Terkait bahasan ini, semuanya adalah bermuara pada hadits dari Jarir bin Abdullah radliyallah ‘anh yang redaksinya sebagai berikut : كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ “Kami (sahabat Nabi) menganggap berkumpul di kediaman mayyit serta membuat makanan setelah pemakaman mayyit sebagai bagian dari niyahah”. [31] PENGERTIAN Sebelumnya ketahuilah bahwa hukum an-Niyahah (meratap mayyit) sendiri adalah haram berdasarkan ijma’ ulama. Niyahah adalah menangis berteriak-teriak dengan berulang-ulang menyebut kebaikan-kebaikan mayyit. Orang yang meratap seolah-olah tidak rela atau ridla dengan ajal yang datang kepada mayyit. Oleh karena itu niyahah di haram kan. Juga diharamkan adalah wanita-wanita yang berteriak-teriak sambil meratapi mayyit, menjambak-jambak rambutnya, menampar-nampar pipi juga menyobek-nyobek pakaiannya, semua ini haram. Imam an-Nawawi mengatakan : “Umat bersepakat atas haramnya niyahah, dan berdo’a dengan do’a orang jahiliyah serta do’a dengan kejelekan dan keburukan ketika terjadi mushibah. ...Ketahuilah bahwa niyahah adalah menyaringkan suara (berteriak-teriak) dengan an-nadbu, sedangkan an-nadbu adalah menyebut berulang-ulang dengan suaranya tentang kebaikan-kebaikan orang mati, dikatakan juga bahwa an-nadbu adalah menangisi mayyit diserta dengan menyebut-nyebut kebaikannya. ‘Ulama kami berkata : diharamkan menyaringkan suara (berteriak-teriak) dengan berlebihan dalam menangis. Adapun menangisi orang mati tanpa diserta an-nadb dan niyahah maka itu tidak haram”. [32] Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : عن أبي هريرة، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: اثنتان في الناس هما بهم كفر: الطعن في النسب والنياحة على الميت “dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anh, ia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : dua hal pada manusia yang jika melakukannya maka kufur yakni mencela nasab (garis keturunan) dan niyahah atas mayyit”. [33] إن رسول الله صلى الله عليه وسلم برئ من الصالقة، والحالقة، والشاقة “sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam membiarkan (tidak bertanggung jawab) orang-orang seperti ash-shaliqah (wanita yang berteriak-teriak sambil meratapi mayyit), al-haliqah (wanita yang memotong/menggundul rambutnya sebab mushibah), dan asy-syaqqah (wanita yang merobek-robek pakaiannya ketika terjadi mushibah)”. [34] Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam juga bersabda ketika diberikan kepada putranya yang sedang sekarat diberikan kepada beliau, dan Rasulullah berlinang air mata, kemudian Sa’ad berkata : فقال له سعد: ما هذا؟ يا رسول الله قال: «هذه رحمة جعلها الله في قلوب عباده، وإنما يرحم الله من عباده الرحماء “maka berkatalah Sa’ad kepada Rasulullah : apa ini wahai Rasulullah ? Rasulullah menjawab : “ini adalah rahmat (kasih sayang) yang Allah menjadikannya didalam hati-hati hambanya, sesunguhnya Allah merahmati hamba-hambanya yang saling berkasih sayang”. [35] Dari sini dapat disimpulkan bahwa menangisi mayyit (berlinang air mata) itu diperbolehkan, sedangkan yang dilarang adalah niyahah. PENJELASAN TERKAIT HADITS JARIR Sedangkan maksud hadits tersebut, sebagian ulama memahaminya diatas pengertian apabila disertai dengan menampakkan kesedihan. [36] Oleh karena itu, ada ‘ulama yang walaupun menggunakan dalil tersebut hanya sebagai landasan hukum makruh. Contohnya seperti Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj, beliau mengatakan ; “dan apa yang telah dibiasakan seperti keluarga almarhum membuat makanan demi mengundang manusia atasnya maka itu bid’ah makruhah, seperti mereka menerima untuk itu, telah shahih dari Jarir yakni “Kami (sahabat Nabi) menganggap berkumpul di kediaman mayyit serta membuat makanan setelah pemakaman mayyit sebagai bagian dari niyahah”. [37] Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab menukil perkataan ‘ulama lainnya : “Shahibusy Syamil dan yang lainnya berkata ; adapun keluarga almarhum mengurusi (membuat) makanan serta berkumpulnya manusia padanya, maka itu pernah dinukil sesuatu pun tentangnya, dan itu adalah bid’ah ghairu mustahibbah, inilah perkataan shahibusy Syamil. dan istidlal untuk hal ini berdasarkan hadits Jarir bin Abdullah radliyallah ‘anh, ia berkata : “Kami (sahabat Nabi) menganggap berkumpul di kediaman mayyit serta membuat makanan setelah pemakaman mayyit sebagai bagian dari niyahah”, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Majah telah meriwayatkannya dengan sanad yang shahih, namun dalam riwayat Ibnu Majah tidak ada kata “setelah pemakaman mayyit”. [38] Imam Syamsuddin al-Khathib asy-Syarbini didalam Mughni Muhtaj : “adapun keluarga almarhum mengurusi makanan dan berkumpulnya manusia padanya maka itu bid’ah ghairu mustahabb, Imam Ahmad dan Ibnu Majah telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Jabir bin Abdullah, ia berkata : “Kami (sahabat Nabi) menganggap berkumpul di kediaman mayyit serta membuat makanan setelah pemakaman mayyit sebagai bagian dari niyahah”. [39] Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi dalam I’anathuth Thalibin menyebutkan : "dihukumi makruh bagi keluarga mayyit duduk-duduk karena adanya ta’ziyah juga menghidangkan makan yang manusia berkumpul padanya, berdasarkan riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al-Bajali, ia berkata : kami memandang berkumpul pada keluarga mayyit juga mereka menghidangkan makanan setelah proses pemakaman termasuk bagian dari niyahah”, ... dan didalam Hasyiyatul ‘Allamah al-Jumal : termasuk dari bid’ah munkarah yang makruh mengerjakannya yakni apa yang manusia melakukannya seperti al-wahsyah, perkumpulan dan 40 harian, bahkan semua itu haram jika berasal dari harta terlarang, atau dari harta mayyit yang memiliki tanggungan hutang, atau menyebabkan dlarar atau seumpamanya, selesai.”. [40] Syaikh Ibnu ‘Umar an-Nawawi al-Bantani didalam Nihayatuz Zain : “Adapun acara makan-makan yang masyarakat berkumpul disana pada malam hari ketika prosesi pemakaman yang dikenal dengan al-wahsyah (berduka cita) maka itu makruh selama tidak ada harta anak yatim kecuali ada (harta anak yatim) maka itu haram, sebagaimana telah didalam kitab Kasyfu al-Litsam”.[41] Dan masih banyak yang menjadikan hadits diatas sebagai dalil untuk hal serupa. Namun, walaupun an-niyahah hukumnya haram, akan tetapi sesuatu yang hanya merupakan bagian dari niyahah tidak serta merta dihukumi haram juga, sebab bukan niyahah itu sendiri. Sedangkan maksud dari perkataan Ibnu Hajar al-Haitami adalah apabila membuat makanan yang dimaksudkan agar masyarakat datang dan meramaikan rumah, sebab biasanya motivasi hal seperti ini adalah untuk berbangga diri suapaya dikatakan dermawan (alias lebih dekat kepada unsur riya’) atau hanya sekedar untuk meramaikan rumah, demikian juga pernyataan-pertanyaan senada yakni sebagian ‘ulama menghukumi makruh karena melakukannya hanya menuruti kebiasaan sehingga kadang memberatkan (membebani) keluarga almarhum dan melakukannya secara terpaksa hanya karena rasa malu atau sebagainya. Jadi, hal tersebut dilakukan tanpa tujuan apa-apa kecuali hanya kebiasaan semata. Namun, berbeda apabila memberikan makanan itu dengan suka rela (keikhlasan hati), paham maksud dan tujuannya yakni seperti motivasi ingin menshadaqahkan hartanya yang pahalanya untuk mayyit maka ini hukumnya sunnah (mustahab), sedangkan pahalanya sampai dan bermanfaat bagi mayyit berdasarkan nas-nas yang kuat. Adapun orang yang melakukan shadaqah maka terdapat pahala baginya. Hal ini karena terkait dengan hukum shadaqah itu sendiri dan tidak termasuk bagian dari niyahah. Demikian juga jika keluarga almarhum memiliki motivasi lain yakni penghormatan kepada tamu-tamu (ikramudldlayf) yang hadir yang telah bersedia meluangkan waktu untuk mendo’akan dan membaca al-Qur’an untuk salah satu keluarga yang meninggal dunia. Maka ini terkait dengan hukum memulyakan tamu, dimana Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda : مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah menyakiti tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah serta hari akhir bmaka hormatilah tamunya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah serta hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam (dari ucapakan yang tidak baik)”.[42] Agar lebih mudah memahami dan sekaligus merangkum permasalahan-permasalahan dan kutipan-kutipan serupa dalam kitab syafi’iyah maka perhatikan hal berikut ini : - Haram : yakni apabila jamuan makan (hidangan makan) dalam tahlilan yang berasal dari harta mayyit sedangkan mayyit masih memiliki tanggungan hutang yang belum diselesaikan ; berasal dari harta anak yatim ; berasal dari harta mayyit sedangkan ahli warisnya bukan orang yang berhak (tidak dibenarkan oleh syariat) untuk mengurus harta mayyit, seperti anak-anak atau seumpamanya ; jamuan berasal dari harta mayyit tanpa ada izin (persetujuan) dari ahli-ahli warisnya ; jamuan diadakan untuk niyahah (meratapi mayyit dengan menyebut-nyebut kebaikan mayyit). - Makruh : yakni apabila jamuan makan (hidangan makan) didalam tahlilan diadakan untuk menghilangkan kesunyian dan perasaan duka cita. Kalau dalam ungkapan Imam Ibnu Hajar al-Haitami adalah “...keluarga almarhum membuat makanan demi mengundang manusia atasnya maka itu bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh)” ; jamuan makan diadakan tanpa ada tujuan apa-apa atau hanya karena mengikuti kebiasaan setempat dan hari hari tertentu ; jamuan makan bagi masyarakat yang datang ber-“ta’ziyah”. - Mubah bahkan Sunnah : yakni apabila jamuan makan (hidangan makan) diadakan untuk tujuan mendo’akan (merahmati) yang mati dan memperat shilaturahim, yang mana ini memotivasi diri dan mendorong hati untuk mendo’akan (merahmati) untuk mayyit ; jamuan makan untuk tujuan / niat untuk shadaqah yang pahalanya untuk mayyit, ini hukumnya sunnah (mustahab) dan pahalanya sampai kepada mayyit. Shadaqah tidak selalu berupa jamuan makan melainkan juga bisa dalam bentuk yang lainnya. Kegiatan yang tidak bertentangan seperti diatas telah diceritakan oleh Imam al-Hafidz as-Suyuthi asy-Syafi’i rahimahullah sebagai kegiatan yang memang tidak pernah di tinggalkan kaum Muslimin, didalam al-Hawi lil-Fatawi disebutkan : “Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (yakni masa al-Hafidz sendiri) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasi awal Islam. Dan didalam kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’. [43] PENGHARAMAN TAHLILAN DILUAR AKAL SEHAT Tidak pernah ditemukan satu dalil pun yang menyatakan pengharaman. Sebaliknya yang ada adalah anjuran untuk merahmati orang yang meninggal dengan do’a, permohonan ampun, bacaan al-Qur’an serta dzikir-dzikir lain. Semua ini tidak pernah diharamkan oleh para imam sekali pun. Apabila alasannya karena ada perkumpulan dikediaman keluarga almarhum maka ini sudah tidak tepat sebagai “dalih’ untuk pengharaman tahlilan sebab ; pertama ; –seandainya memang yang dimaksud ulama adalah seperti kegiatan tahlilan sekalipun- ulama kebanyakan hanya menghukumi makruh bukan haram ; kedua, yang dimakruhkan adalah perkumpulan jamuan makan, sedangkan tahlilan bukanlah kegiatan yang tujuan itu namun untuk merahmati mayyit ; ketiga ; -seandainya memang yang dimaksud ulama adalah tahlilan- itu hanya unsur tahlilan yang tidak mutlak, sebab tahlilan tidak harus dilakukan di kediaman keluarga almarhum melainkan bisa juga dilakukan ditempat yang lainnya, misalnya mushalla, masjid atau tempat-tempat lain. Adanya unsur yang semisalnya memang kurang tepat bukan berarti harus “menggusur” seluruhnya melainkan cukup unsur yang kurang tepat tersebut yang dibenahi. Keempat ; tahlilan bukan hanya dilakukan pada pasca kematian melainkan kapan saja atau dengan menentukan waktu seperti pada malam Jum’at demi mendapatkan keutamaan, disamping pada hari tersebut memang dianjurkan untuk memperbanyak dzikir juga shalawat. PENTING : TIDAK SETIAP BID’AH DIHUKUMI HARAM Telah dibuktikan didalam kitab-kitab para Imam, sebagaimana perkara yang disebutkan oleh para Imam seperti diatas walaupun telah dikatakan sebagai bid’ah namun perlu diingat bahwa para imam tidak serta merta menjatuhkannya pada status hukum haram, seperti perkataan mereka yakni “bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh, bukan haram)”, juga “bid’ah ghairu mustahibbah (bid’ah yang tidak dianjurkan)” maka ini status hukumnya jatuh antara mubah dan makruh. Ada lagi istilah bid’ah munkarah yang hukumnya makruh, dan lain sebagainya. Oleh karena itu perbuatan seperti diatas tidaklah haram (berdosa) walaupun semisalnya dilakukan. Juga tidak bisa dijadikan “dalih” mengharamkan tahlilan, sama sekali tidak ada garis merahnya. Kenapa tidak seperti bid’ah jatuh pada status hukum haram ? Sebab bid’ah bukanlah hukum (status hukum Islam). Bid’ah adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut perkara baru yang tidak berasal dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam. Adapun hukum Islam ada 5 yakni : wajib, sunnah (mandub), mubah, makruh dan haram. Maka, apabila ada perkara yang oleh ulama dianggap sebagai bid’ah, mereka tidak serta merta menjatuhkan status hukum haram untuk bid’ah tersebut, melainkan mereka (ulama) menimbang dan mengkaji terlebih dahulu tentang bid’ah tersebut, yakni terkait selaras atau tidaknya dengan kaidah-kaidah syariat. Sehingga nantinya akan terlihat/dapat disimpulkan status hukum untuk perkara bid’ah tersebut, apakah masuk dalam hukum wajib, sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh dan haram. Sebab sesuatu harus ditetapkan status hukumnya. Nikah pun yang jelas-jelas sunnah Rasulullah, tidak serta merta dihukumi wajib tergantung kondisi dan situasinya. Oleh karena itu bid’ah juga harus ditinjau dengan kaidah syariat dalam menetapkan hukum : 1. Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh, maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh)”, 2. Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh haram maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah muharramah (bid’ah yang hukumnya haram)”, 3. Jika masuk pada kaidah penetapan hukum mubah/jaiz maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah mubahah (bid’ah yang hukumnya mubah)”, 4. Jika masuk pada kaidah penetapan hukum sunnah/mandub/mustabah maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah mustahabbah (bid’ah yang hukumnya sunnah/ mustahab/ mandub)”, 5. Jika masuk pada kaidah penetapan hukum wajib maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah wajibah (bid’ah yang hukumnya wajib)”. Sebagaimana perkataan Imam an-Nawawi didalam al-Minhaj syarah Shahih Muslim : “’Ulama berkata bahwa bid’ah terbagi menjadi 5 bagian (bagian hukum) yakni wajibah (bid’ah yang wajib), mandubah (bid’ah yang mandub), muharramah (bid’ah yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (bid’ah yang mubah)”. [44] Beliau juga menyebutkan didalam Tahdzibul Asma’ wal Lughaat : “Syaikhul Imam Abu Muhammad ‘Abdul ‘Aziz bin Abdis Salam didalam akhir kitabnya al-Qawaid berkata : “bid’ah terbagi kepada hukum yang wajib, haram, mandub, makruh dan mubah. .. Apabila pada qaidah hukum wajib maka itu bid’ah wajibah, atau masuk pada kaidah hukum haram maka itu bid’ah muharramah atau masuk pada qaidah hukum mandub maka itu bid’ah mandubah, atau masuk pada kaidah hukum makruh maka itu bid’ah makruhah, atau masuk pada kaidah hukum mubah maka itu bid’ah mubahah. Bid’ah Wajibah seperti : menyibukkan diri belajar ilmu-ilmu sehingga dengannya bisa paham firman-firman Allah Ta’ala dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, itu wajib karena menjaga menjaga syariah itu wajib, dan tidak mungkin menjaga kecuali dengan hal itu, dan sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengannya maka itu wajib, menjaga bahasa asing didalam al-Qur’an dan as-Sunnah, mencatat (membukukan) ilmu ushuluddin dan ushul fiqh, perkataan tentang jarh dan ta’dil, membedakan yang shahih dari buruk, dan sungguh kaidah syariah menunjukkan bahwa menjaga syariah adalah fardlu kifayah”. Bid’ah Muharramah seperti : aliran (madzhab) al-Qadariyah, al-Jabariyah, al-Murji’ah, al-Mujassimah, dan membantah mereka termasuk kategori bid’ah yang wajib (bid’ah wajibah). Bid’ah Mandzubah seperti : membangun tempat-tempat rubath dan madrasah, dan setiap kebaikan yang tidak ada pada masa awal Islam, diantaranya adalah (pelaknasaan) shalat tarawih, perkataan pada detik-detik tashawuf, dan lain sebagainya. Bid’ah Makruhah seperti : berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushhaf dan lain sebagainya. Bid’ah Mubahah seperti : bersalaman (berjabat tangan) selesai shalat shubuh dan ‘asar, jenis-jenis makanan dan minuman, pakaian dan kediaman. Dan sungguh telah berselisih pada sebagian yang demikian, sehingga sebagian ‘ulama ada yang memasukkan pada bagian dari bid’ah yang makruh.“[45] Kesimpulannya sudah jelas yakni bahwa tidak semua bid’ah dihukumi haram, melainkan harus ditinjau terlebih dahulu status hukumnya. Semua itu karena ternyata ada bid’ah yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, diistilahkan dengan bid’ah hasanah (baik) dan ada juga bid’ah yang bertentangan dengan syariat Islam, di istilahkan dengan bid’ah yang buruk. al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan sebagaimana disebutkan olah al-Muhaddits al-Baihaqi : “Telah mengkhabatkan kepada kami Abu Sa’id bin Abu ‘Amr, telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub, telah menceritakan kepada kami ar-Rabi’ bin Sulaiman, ia berkata : Imam asy-Syafi’i pernah berkata : “perkara baru itu terbagi menjadi menjadi dua bagian, pertama, suatu perkara baru yang menyelisihi al-Qur’an, Sunnah, Atsar atau Ijma’ maka itu bid’ah dlalalah, sedangkan yang kedua, perkara baru yang baik yang tidak ada pertentangan didalamnya dengan salah satu dari hal ini (dari al-Qur’an, Sunnah, Atsar atau Ijma’) maka itu perkara baru yang tidak buruk”.[46] Contoh-contoh semacam ungkapan (istilah) seperti diatas begitu banyak dikitab-kitab Ulama, diantaranya sebagaimana yang telah disebutkan. PENTING : ALIRAN WAHABI SEBAGAI BID’AH MUHARRAMAH Wahabi merupakan aliran yang “getol” membid’ahkan amalan-amalan kaum Muslimin seperti tahlilan dan sebagainya. Mereka sangat over ketika membesar-besarkan masalah khilafiyah dan tidak segan-segan menyebut kaum Muslimin yang berbeda paham sebagai ahli bid’ah, yang mereka sesatkan. Kaum Muslimin yang melakukan tahlilan juga mereka sebut sebagai kelompok ahli bid’ah yang sesat. Namun, pernahkan kalian tahu kenapa aliran ini begitu over dalam menuding-nuding kaum Muslimin ? Wahabi juga merupakan aliran yang menjisimkan Allah Ta’alaa, mereka mengambil dlahir ayat-ayat mutasyabihat, aliran semacam ini dikenal sebagai aliran Mujassimah (menjisimkan Allah) atau Musyabbihah (menyerupakan Allah), oleh karena itu sebenarnya mereka terkategori kedalam bid’ah muharramah (bid’ah yang haram), maka pengikutnya sebenarnya adalah pelaku/ahli bid’ah yang haram, sebagaimana sudah dituturkan dan dicontohkan diatas. Kategori bid’ah muharramah (bid’ah yang haram) adalah bid’ah yang memang berdosa, berbeda halnya jika hanya sekedar bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh). Sedangkan membantah aliran mujassimah atau musyabbihah terkategori sebagai bid’ah wajibah (bid’ah yang wajib). Oleh karena itu, perlu digalakkan membantah mereka dan meluruskan mereka sebab ini memang merupakan kewajiban bagi kaum Muslimin, termasuk juga menyelamatkan kaum Muslimin yang memang tidak mengerti (masih awam) dari paham-paham mereka. Kewajiban kita hanyalah mengangkat mereka (menyelamatkan) mereka dari paham-paham sesat, sedangkan apabila mereka keras kepala atau hatinya membantu, maka kita serahkan kepada Allah sebagai Sang Pemberi dan Pemilik Hidayah. Dari pemaparan ini, semoga sudah bisa mengetahui jawaban kenapa mereka begitu getol menuding-nuding bid’ah terhadap kaum Muslimin ?, Wallahu ‘Alam. PENUTUP Sebagai kesimpulan dari tulisan diatas ; - Kegiatan tahlilan atau amalan-amalan yang ada didalam tahlilan tidak ada satupun yang bertentangan dengan syariat dan kaidah-kaidah madzhab Syafi’i. Bahkan kebijaksanaan ‘ulama begitu nampak dalam penerapannya pada kegiatan tahlilan. - Motivasi memberi makan didalam tahlilan hendaknya adalah untuk bershadaqah yang pahalanya untuk mayyit agar memperoleh pahala kesunnahan bershadaqah, atau dalam rangka menghormati tamu bukan motivasi lain yang tidak dianjurkan oleh syariat. Harta yang digunakan adalah harta yang halal bukan terlarang. - Adanya kegiatan tahlilan yang kurang sehat yang terjadi pada lingkungan yang kurang paham mengenai maksud, tujuan serta penerapannya, bukanlah “dalih” untuk melarang tahlilan, sebaliknya hal itu harus diperbaiki agar sesuai dengan ketentuan hukum Islam. - Tidak semua perkata baru atau bid’ah jatuh pada status hukum haram. Bahkan, para ulama telah memberikan contohnya dalam kitab-kitab mereka tentang adanya perkara baru (bid’ah) yang hanya jatuh pada status hukum makruh dan ini banyak tersebar dalam kitab-kitab mereka. - Wahabi masuk kedalam kategori bid’ah yang haram (bid’ah muharramah). Wallahu A’lam. [1] Shahih Muslim no 1618 ; Sunan an-Nasa’i no2012 ; Assunanul Kubra lil-Imam al-Baihaqiy (4/79) ; Musnad Abu Ya’la no. 4635 ; Shahih Ibnu Hibban no. 3239 [2] Lihat Al-Adzkar li-Syaikhil Islam al-Imam an-Nawawi hal. 150, [3] Lihat ; Minhajuth Thalibin lil-Imam an-Nawawi [hal. 193]. [4] Lihat ; Tafsirul Qur’an al-‘Adzhim li-Ibni Katsir (7/465). [5] Lihat : Niyahatuz Zain fiy Irsyadil Mubtadi-in lil-Syaikh Ibnu ‘Umar an-Nawawi al-Jawi [hal. 162] [6] Haditsnya terdapat dalam Shahih Muslim (1631), Ibnu Majah [3660], Musnad Ahmad [8540] dan ad-Darimi [3464]. [7] Lihat : Fathul Mu’in bisyarhi Qurrati ‘Ain liSyaikh al-‘Allamah Zainuddin bin ‘Abdul ‘Aziz al-Malibari [hal. 431]. [8] Lihat : I’anatuth Thalibin li-Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi [3/256]. [9] Lihat : Fathul Wahab bisyarhi Minhajith Thullab lil-Imam Zakariyya al-Anshari [w. 926 H] (2/23)." [10] Lihat : Tuhfatul Muhtaj fiy Syarhi al-Minhaj lil-Imam Ibnu Hajar al-Haitami [7/72] [11] Lihat : Mughni al-Muhtaj ilaa Ma’rifati Ma’ani Alfadh al-Minhaj lil-Imam Syamsuddin al-Khatib as-Sarbini [4/110]. [12] Lihat : as-Sirajul Wahaj ‘alaa Matni al-Minhaj lil-‘Allamah Muhammad az-Zuhri [1/344] [13] Lihat : Futuhatul Wahab lil-Imam Sulaiman al-Jamal (Hasyiyatul Jamal) [4/67]. [14] Shahih Muslim no. 1672 ( Bab sampainya pahala shadaqah dari mayyit atas dirinya) dan no. 3083 (Bab Bab sampainya pahala shadaqah kepada mayyit), dalam bab ini Imam Muslim mencantum beberapa hadits lainnya yang redaksinya mirip ; Mustakhraj Abi ‘Awanah no. 4701. [15] Lihat ; Syarah Shahih Muslim [3/444] ; [16] Lihat ; Syarah Shahih Muslim [1/89-90] ; [17] Lihat : Tuhfatul Muhtaj lil-Imam Ibnu Hajar al-Haitami [7/73] ; Mughni Muhtaj lil-Imam al-Khatib as-Sarbini [4/110] ; I’anathuth Thalibin lil-Imam al-Bakri Syatha ad-Dimyathi [3/258]. [18] Lihat : Syarah Shahih Muslim [7/90]. [19] Lihat : Syarah Shahih Muslim [1/90]. [20] Lihat : al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi [15/522] ; al-Adzkar lil-Imam an-Nawawi hal. 165. [21] Lihat : Mughni Muhtaj lil-Imam Syamsuddin Muhammad al-Khathib asy-Syarbini (4/110). [22] Lihat : Tafsirul Qur’an al-‘Adzim lil-Imam Ibnu Katsir asy-Syafi’i [7/431]. [23] Lihat : Dalilul Falihin li-thuruqi Riyadl ash-Shalihiin [6/426] ; Hawi al-Kabir fiy Fiqh Madzhab asy-Syafi’i (Syarah Mukhtashar Muzanni) [3/26] ; al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi [5/294].. [24] Lihat : Fathul Wahab bisyarhi Minhajit Thullab lil-Imam Zakariyya al-Anshari asy-Syafi’i [2/23].. [25] Lihat : al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa lil-Imam Ibnu Hajar al-Haitami [2/27].. [26] Lihat : Tuhfatul Muhtaj fiy Syarhi al-Minhaj lil-Imam Ibn Hajar al-Haitami [7/74]. [27] Lihat : Futuhaat al-Wahab li-Syaikh Sulailman al-Jamal [2/210].. [28] Ibid [4/67] ; Hasyiyah al-Bujairami ‘alaa Syarhi al-Minhaj [3/286]. [29] Lihat : al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi [15/522]. [30] Lihat : as-Sirajul Wahaj ‘alaa Matni al-Minhaj lil-‘Allamah Muhammad az-Zuhri [1/344] [31] Musnad Imam Ahmad bin Hanbal no. 6905 ; Sunan Ibnu Majah no. 6905 ; hadits ini dinilai shahih. [32] Lihat : Al-Adzkar lil-Imam an-Nawawi hal. 133. [33] Lihat : Shahih Muslim [1/82]. [34] Lihat : Shahih al-Bukhari [1296]. [35] Lihat : Shahih al-Bukhari [1284] ; Shahih Muslim [923] ; as-Sunanul Kubraa lil-Imam al-Baihaqi [7129]. 36 Lihat : Hukm al-Walimah min Ahl Mayyit ba’da al-Wafah li-Syaikh Isma’il Utsman Zain al-Yamani.. [37] Lihat : Tuhfatul Muhtaj lil-Imam Ibnu Hajar al-Haitami (11/440) ; I’anatuth Thalibin li-Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi (2/165). [38] Lihat : al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab lil-Imam an-Nawawi (5/282) ; Raudlatuth Thalibin (1/195). [39] Lihat : Mughniy Muhtaj lil-Imam al-Khathib as-Sarbini ; al-Iqna’ fi Halli Alfadh Abi Syuja’ [1/210]. [40] Lihat : I’anatuth Thalibin lil-‘Allamah Sayyid al-Bakri Syatha ad-Dimyathi [5/165] ; Futuhatul Wahab lil-Syaikh Sulaiman al-Jamal [2/216] ; Hasyiyah Qalyubi wa ‘Umairah [1/414] ; Hasyiyah al-Bujairami ‘ala syarhi al-Minhaj [1/503] ; [41] Nihayatuz Zain li-Syaikh an-Nawawi al-Bantaniy asy-Syafii’i. [42] Shahih Bukhari no. 6018 ; Shahih Muslim no. 47 ; Sunan Abi Daud no. 5154 ; dan lain-lain. [43] Lihat : al-Hawi al-Fatawi (2/179) lil-Imam al-Hafidz Jalaluddin as-Suyuthi. [44] Lihat : syarah Shahih Muslim lil-Imam an-Nawawi [6/154-155]. [45] Lihat : Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat lil-Imam an-Nawawi [3/22]. [46] Lihat : al-Madkhal ilaa Sunanil Kubraa lil-Imam al-Baihaqi [253].

Kamis, 30 Desember 2010
Syaikh Abu Hasan Ali Hujwiri dalam kitabnya yang berjudul Kasyf Al-Mahjub, mengatakan bahwa wali Akhyar sebanyak 300 orang, wali Abdal sebanyak 40 orang, wali Abrar sebanyak 7 orang, wali Autad sebanyak 4 orang, wali Nuqaba sebanyak 3 orang dan wali Quthub atau Ghauts sebanyak 1 orang. Sedangkan menurut Syaikhul Akbar Muhyiddin ibnu ‘Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al-Makkiyyah membuat pembagian tingkatan wali dan kedudukannya. Jumlah mereka sangat banyak, ada yang terbatas dan yang tidak terbatas. Sedikitnya terdapat 9 tingkatan, secara garis besar dapat diringkas sebagai berikut:
1. Wali Quthub al-Aqthab atau Wali Quthub al-Ghauts Wali yang sangat paripurna. Ia memimpin dan menguasai wali diseluruh alam semesta. Jumlahnya hanya seorang setiap masa. Jika wali ini wafat, maka Wali Quthub lainnya yang menggantikan.
2. Wali Aimmah Pembantu Wali Quthub. Posisi mereka menggantikan Wali Quthub jika wafat. Jumlahnya dua orang dalam setiap masa. Seorang bergelar Abdur Robbi, bertugas menyaksikan alam malakut. Dan lainnya bergelar Abdul Malik, bertugas menyaksikan alam malaikat.
3. Wali Autad Jumlahnya empat orang. Berada di empat wilayah penjuru mata angin, yang masing-masing menguasai wilayahnya. Pusat wilayah berada di Ka’bah. Kadang dalam Wali Autad terdapat juga wanita. Mereka bergelar Abdul Hayyi, Abdul Alim, Abdul Qadir dan Abdul Murid.
4. Wali Abdal Abdal berarti pengganti. Dinamakan demikian karena jika meninggal di suatu tempat, mereka menunjuk penggantinya. Jumlah Wali Abdal sebanyak tujuh orang, yang menguasai ketujuh iklim. Pengarang kitab al-Futuhatul Makkiyyah dan Fushus Hikam yang terkenal itu (Muhyiddin ibnu ‘Arabi) mengaku pernah melihat dan bergaul baik dengan ke tujuh Wali Abdal di Makkatul Mukarramah.
Pada tahun 586 di Spanyol, Muhyiddin ibnu ‘Arabi bertemu Wali Abdal bernama Musa al-Baidarani. Sahabat Muhyiddin ibnu ‘Arabi yang bernama Abdul Majid bin Salamah mengaku pernah juga bertemu Wali Abdal bernama Mu’az bin al-Asyrash. Beliau kemudian menanyakan bagaimana cara mencapai kedudukan Wali Abdal. Ia menjawab dengan lapar, tidak tidur dimalam hari, banyak diam dan mengasingkan diri dari keramaian.
5. Wali Nuqoba’ Jumlah mereka sebanyak 12 orang dalam setiap masa. Allah memahamkan mereka tentang hukum syariat. Dengan demikian mereka akan segera menyadari terhadap semua tipuan hawa nafsu dan iblis. Jika Wali Nuqoba’ melihat bekas telapak kaki seseorang diatas tanah, mereka mengetahui apakah jejak orang alim atau bodoh, orang baik atau tidak.
6. Wali Nujaba’ Jumlahnya mereka sebanyak 8 orang dalam setiap masa.
7. Wali Hawariyyun Berasal dari kata hawari, yang berarti pembela. Ia adalah orang yang membela agama Allah, baik dengan argumen maupun senjata. Pada zaman nabi Muhammad sebagai Hawari adalah Zubair ibnu Awam. Allah menganugerahkan kepada Wali Hawariyyun ilmu pengetahuan, keberanian dan ketekunan dalam beribadah.
8. Wali Rajabiyyun Dinamakan demikian, karena karomahnya muncul selalu dalam bulan Rajab. Jumlah mereka sebanyak 40 orang. Terdapat di berbagai negara dan antara mereka saling mengenal. Wali Rajabiyyun dapat mengetahui batin seseorang. Wali ini setiap awal bulan Rajab, badannya terasa berat bagaikan terhimpit langit. Mereka berbaring diatas ranjang dengan tubuh kaku tak bergerak. Bahkan, akan terlihat kedua pelupuk matanya tidak berkedip hingga sore hari. Keesokan harinya perasaan seperti itu baru berkurang. Pada hari ketiga, mereka menyaksikan peristiwa ghaib.
Berbagai rahasia kebesaran Allah tersingkap, padahal mereka masih tetap berbaring diatas ranjang. Keadaan Wali Rajabiyyun tetap demikian, sesudah 3 hari baru bisa berbicara.
Apabila bulan Rajab berakhir, bagaikan terlepas dari ikatan lalu bangun. Ia akan kembali ke posisinya semula. Jika mereka seorang pedagang, maka akan kembali ke pekerjaannya sehari-hari sebagai pedagang.
9. Wali Khatam Khatam berarti penutup. Jumlahnya hanya seorang dalam setiap masa. Wali Khatam bertugas menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan ummat nabi Muhammd saw.
Jumlah para Auliya yang berada dalam manzilah-manzilah ada 356 sosok, yang mereka itu ada dalam kalbu Adam, Nuh, Ibrahim, Jibril, Mikail, dan Israfil. Dan ada 300, 40, 7, 5, 3 dan 1. Sehingga jumlah kerseluruhan 356 tokoh. Hal ini menurut kalangan Sufi karena adanya hadits yang menyebut demikian. Sedangkan menurut Syaikh al-Akbar Muhyiddin ibnu ‘Arabi (menurut beliau muncul dari mukasyafah) maka jumlah keseluruhan Auliya yang telah disebut diatas, sampai berjumlah 589 orang. Diantara mereka ada satu orang yang tidak mesti muncul setiap zaman, yang disebut sebagai al-Khatamul Muhammadi, sedangkan yang lain senantiasa ada di setiap zaman tidak berkurang dan tidak bertambah. Al-Khatamul Muhammadi pada zaman ini (zaman Muhyiddin ibnu ‘Arabi), kami telah melihatnya dan mengenalnya (semoga Allah menyempurnakan kebahagiaannya), saya tahu ia ada di Fes (Marokko) tahun 595 H. Sementara yang disepakati kalangan Sufi, ada 6 lapisan para Auliya’, yaitu para Wali: Ummahat, Aqthab, A’immah, Autad, Abdal, Nuqaba’ dan Nujaba’.
Pada pertanyaan lain : Siapa yang berhak menyandang Khatamul Auliya’ sebagaimana gelar Khatamun Nubuwwah yang disandang oleh Nabi Muhammad saw?.
Ibnu Araby menjawab : “al-Khatam itu ada dua: Allah menutup Kewalian (mutlak), dan Allah menutup Kewalian Muhammadiyah. Penutup Kewalian mutlak adalah Nabi Isa ‘alaihissalaam. Dia adalah Wali dengan Nubuwwah Mutlak, yang kelak turun di era ummat ini, dimana turunnya di akhir zaman, sebagai pewaris dan penutup, dimana tidak ada Wali dengan Nubuwwah Mutlak setelah itu. Ia disela oleh Nubuwwah Syari’at dan Nubuwwah Risalah. Sebagaimana Nabi Muhammad saw sebagai Penutup Kenabian, dimana tidak ada lagi Kenabian Syariat setelah itu, walau pun setelah itu masih turun seperti Nabi Isa, sebagai salah satu dari Ulul ‘Azmi dari para Rasul dan Nabi mulia. Maka turunnya Nabi Isa sebagai Wali dengan Nubuwwah mutlaknya, tetapi aturannya mengikuti aturan Nabi Muhammad saw, bergabung dengan para Wali dari ummat Nabi Muhammad lainnya. Ia termasuk golongan kita dan pemuka kita.
Pada mulanya, ada Nabi, yaitu Adam as. Dan akhirnya juga ada Nabi, yaitu Nabi Isa, sebagai Nabi Ikhtishah (kekhususan), sehingga Nabi Isa kekal di hari mahsyar ikut terhampar dalam dua hamparan mahsyar. Satu Mahsyar bersama kita, dan satu mahsyar bersama para Rasul dan para Nabi.
Adapun Penutup Kewalian Muhammadiyah, saat ini (zaman Muhyiddin ibnu ‘Arabi) ada pada seorang dari bangsa Arab yang memiliki kemuliaan sejati. Saya kenal di tahun 595 H. Saya melihat tanda rahasia yang diperlihatkan oleh Allah Ta’ala pada saya dari kenyataan ubudiyahnya, dan saya lihat itu di kota Fes, sehingga saya melihatnya sebagai Penutup Kewalian Muhammadiyah darinya. Dan Allah telah mengujinya dengan keingkaran berbagai kalangan padanya, mengenai hakikat Allah dalam sirr-nya.
Sebagaimana Allah menutup Nubuwwah Syariat dengan Nabi Muhammad SAW, begitu juga Allah menutup Kewalian Muhammadi, yang berhasil mewarisi Al-Muhammadiyah, bukan diwarisi dari para Nabi. Sebab para Wali itu ada yang mewarisi Ibrahim, Musa, dan Nabi Isa, maka mereka itu masih kita dapatkan setelah munculnya Khatamul Auliya’ Muhammadi, dan setelah itu tidak ada lagi Wali pada Kalbu Muhammad saw. Inilah arti dari Khatamul Wilayah al-Muhammadiyah. Sedangkan Khatamul Wilayah Umum, dimana tidak ada lagi Wali setelah itu, ada pada Nabi Isa ‘alaissalam. Dan kami menemukan sejumlah kalangan sebagai Wali pada Kalbu Nabi Isa As, dan sejumlah Wali yang berada dalam Kalbu para Rasul lainnya”. Dilain tempat, Ibnu ‘Arabi mengatakan bahwa dirinyalah yang menjadi Segel (Penutup) Kewalian Muhammad.
Beberapa wali yang pernah mencapai derajat wali Quthub al-Aqthab (Quthub al-Ghaus) pada masanya Sayyid Hasan ibnu Ali ibnu Abi Thalib
Khalifah Umar ibnu Abdul Aziz
Syaikh Yusuf al-Hamadan
i Syaikh Abdul Qadir al-Jilani
Syaikh Ahmad al-Rifa’i
Syaikh Abdus Salam ibnu Masyisy
Syaikh Ahmad Badawi
Syaikh Abu Hasan asy-Syazili
Syaikh Muhyiddin ibnu Arabi
Syaikh Muhammad Bahauddin an-Naqsabandi
Syaikh Ibrahim Addusuqi
Syaikh Jalaluddin Rumi Syaikh Abdul Qadir al-Jilani Beliau pernah berkata “Kakiku ada diatas kepala seluruh wali.” Menurut Abdul Rahman Jami dalam kitabnya yang berjudul Nafahat Al-Uns, bahwa beberapa wali terkemuka diberbagai abad sungguh-sungguh meletakkan kepala mereka dibawah kaki Syaikh Abdul Qadir al-Jilani.
Syaikh Ahmad al-Rifa’i
Sewaktu beliau pergi Haji, ketika berziarah ke Maqam Nabi Muhammad Saw, maka nampak tangan dari dalam kubur Nabi bersalaman dengan beliau dan beliau pun terus mencium tangan Nabi SAW yang mulia itu. Kejadian itu dapat disaksikan oleh orang ramai yang juga berziarah ke Maqam Nabi Saw tersebut. Salah seorang muridnya berkata : “Ya Sayyidi! Tuan Guru adalah Quthub”. Jawabnya; “Sucikan olehmu syak mu daripada Quthubiyah”. Kata murid: “Tuan Guru adalah Ghaus!”. Jawabnya: “Sucikan syakmu daripada Ghausiyah”. Al-Imam Sya’roni mengatakan bahwa yang demikian itu adalah dalil bahwa Syaikh Ahmad al-Rifa’i telah melampaui “Maqamat” dan “Athwar” karena Qutub dan Ghauts itu adalah Maqam yang maklum (diketahui umum). Sebelum wafat beliau telah menceritakan kapan waktunya akan meninggal dan sifat-sifat hal ihwalnya beliau. Beliau akan menjalani sakit yang sangat parah untuk menangung bilahinya para makhluk. Sabdanya, “Aku telah di janji oleh Allah, agar nyawaku tidak melewati semua dagingku (daging harus musnah terlebih dahulu). Ketika Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i sakit yang mengakibatkan kewafatannya, beliau berkata, “Sisa umurku akan kugunakan untuk menanggung bilahi agungnya para makhluk. Kemudian beliau menggosok-ngosokkan wajah dan uban rambut beliau dengan debu sambil menangis dan beristighfar . Yang dideritai oleh Sayyidi Ahmad Al-Rifa’i ialah sakit “Muntah Berak”. Setiap hari tak terhitung banyaknya kotoran yang keluar dari dalam perutnya. Sakit itu dialaminya selama sebulan. Hingga ada yang tanya, “Kok, bisa sampai begitu banyaknya yang keluar, dari mana ya kanjeng syaikh. Padahal sudah dua puluh hari tuan tidak makan dan minum. Beliau menjawab, “Karena ini semua dagingku telah habis, tinggal otakku, dan pada hari ini nanti juga akan keluar dan besok aku akan menghadap Sang Maha Kuasa. Setelah itu ketika wafatnya, keluarlah benda yang putih kira-kira dua tiga kali terus berhenti dan tidak ada lagi yang keluar dari perutnya. Demikian mulia dan besarnya pengorbanan Aulia Allah ini sehingga sanggup menderita sakit menanggung bala yang sepatutnya tersebar ke atas manusia lain. Wafatlah Wali Allah yang berbudi pekerti yang halus lagi mulia ini pada hari Kamis waktu duhur 12 Jumadil Awal tahun 570 Hijrah. Riwayat yang lain mengatakan tahun 578 Hijrah. Syaikh Ahmad Badawi Setiap hari, dari pagi hingga sore, beliau menatap matahari, sehingga kornea matanya merah membara. Apa yang dilihatnya bisa terbakar, khawatir terjadinya hal itu, saat berjalan ia lebih sering menatap langit, bagaikan orang yang sombong. Sejak masa kanak kanak, ia suka berkhalwat dan riyadhoh, pernah empat puluh hari lebih perutnya tak terisi makanan dan minuman. Ia lebih memilih diam dan berbicara dengan bahasa isyarat, bila ingin berkomunikasi dengan seseorang. Ia tak sedetikpun lepas dari kalimat toyyibah, berdzikir dan bersholawat. Pada usia dini beliau telah hafal al-Qur’an, untuk memperdalam ilmu agama ia berguru kepada syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan syaikh Ahmad Rifai. Suatu hari, ketika beliau telah sampai ketingkatannya, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, menawarkan kepadanya: ”Manakah yang kau inginkan ya Ahmad Badawi, kunci Masyriq atau Maghrib, akan kuberikan untukmu”, hal yang sama juga diucapkan oleh gurunya Syaikh Ahmad Rifai, dengan lembut, dan karna menjaga tatakrama murid kepada gurunya, ia menjawab; ”Aku tak mengambil kunci kecuali dari al-Fattah (Allah )”. Peninggalan syaikh Ahmad Badawi yang sangat utama, yaitu bacaan shalawat badawiyah sughro dan shalawat badawiyah kubro. Syaikh Abu Hasan asy-Syazili Keramat itu tidak diberikan kepada orang yang mencarinya dan menuruti keinginan nafsunya dan tidak pula diberikan kepada orang yang badannya digunakan untuk mencari keramat. Yang diberi keramat hanya orang yang tidak merasa diri dan amalnya, akan tetapi dia selalu tersibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang disenangi Allah dan merasa mendapat anugerah (fadhal) dari Allah semata, tidak menaruh harapan dari kebiasaan diri dan amalnya. Di antara keramatnya para Shiddiqin ialah : 1. Selalu taat dan ingat pada Allah swt. secara istiqamah (kontineu). 2. Zuhud (meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi). 3. Bisa menjalankan perkara yang luar bisa, seperti melipat bumi, berjalan di atas air dan sebagainya. Diantara keramatnya Wali Qutub ialah : 1. Mampu memberi bantuan berupa rahmat dan pemeliharaan yang khusus dari Allah swt. 2. Mampu menggantikan Wali Qutub yang lain. 3. Mampu membantu malaikat memikul Arsy.
4. Hatinya terbuka dari haqiqat dzatnya Allah swt. dengan disertai sifat-sifat-Nya.
Beliau pernah dimintai penjelasan tentang siapa saja yang menjadi gurunya. Kemudian beliau menjawab, “Guruku adalah Syaikh Abdus Salam ibnu Masyisy, akan tetapi sekarang aku sudah menyelami dan minum sepuluh lautan ilmu. Lima dari bumi yaitu dari Rasululah saw, Abu Bakar r.a, Umar bin Khattab r.a, Usman bin ‘Affan r.a dan Ali bin Abi Thalib r.a, dan lima dari langit yaitu dari malaikat Jibril, Mika’il, Isrofil, Izro’il dan ruh yang agung. Beliau pernah berkata, “Aku diberi tahu catatan muridku dan muridnya muridku, semua sampai hari kiamat, yang lebarnya sejauh mata memandang, semua itu mereka bebas dari neraka. Jikalau lisanku tak terkendalikan oleh syariat, aku pasti bisa memberi tahu tentang kejadian apa saja yang akan terjadi besok sampai hari kiamat”. Syekh Abu Abdillah Asy-Syathibi berkata, “Aku setiap malam banyak membaca Radiyallahu ‘an Asy-Syekh Abul Hasan dan dengan ini aku berwasilah meminta kepada Allah swt apa yang menjadi hajatku, maka terkabulkanlah apa saja permintaanku”. Lalu aku bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw. dan aku bertanya, “Ya Rasulallah, kalau seusai shalat lalu berwasilah membaca Radiya Allahu ‘An Asy-Syaikh Abu Hasan dan aku meminta apa saja kepada Allah swt, apa yang menjadi kebutuhanku lalu dikabulkan, seperti hal tersebut apakah diperbolehkan atau tidak?”. Lalu Nabi saw menjawab, “Abu Hasan itu anakku lahir batin, anak itu bagian yang tak terpisahkan dari orang tuanya, maka barang siapa bertawassul kepada Abu Hasan, maka berarti dia sama saja bertawassul kepadaku”.
Peninggalan syaikh Abu Hasan asy-Syazili yang sangat utama, yaitu Hizib Nashr dan Hizib Bahar. Orang yang mengamalkan Hizib Bahar dengan istiqomah, akan mendapat perlindungan dari segala bala. Bahkan, bila ada orang yang bermaksud jahat mau menyatroni rumahnya, ia akan melihat lautan air yang sangat luas. Si penyatron akan melakukan gerak renang layaknya orang yang akan menyelamatkan diri dari daya telan samudera. Bila di waktu malam, ia akan terus melakukan gerak renang sampai pagi tiba dan pemilik rumah menegurnya. Hizib Bahar ditulis syaikh Abu Hasan asy-Syazili di Laut Merah (Laut Qulzum). Di laut yang membelah Asia dan Afrika itu syaikh Abu Hasan asy-Syazili pernah berlayar menumpang perahu. Di tengah laut tidak angin bertiup, sehingga perahu tidak bisa berlayar selama beberapa hari. Dan, beberapa saat kemudian Syaikh al-Syadzili melihat Rasulullah. Beliau datang membawa kabar gembira. Lalu, menuntun syaikh Abu Hasan asy-Syazili melafazkan doa-doa. Usai syaikh Abu Hasan asy-Syazili membaca doa, angin bertiup dan kapal kembali berlayar.
Dalam kegiatan tahlilan, kadang terdapat hidangan dari tuan rumah baik ala kadarnya (makanan ringan) dan ada juga yang berupa jamuan makan. Namun, ada juga yang hanya berupa minuman saja. Apapun itu tidak menjadi masalah dalam tahlilan. Sebab itu bukan tujuan dari tahlilan, namun tuan rumah kadang memiliki motivasi tersendiri seperti dalam rangka menghormati tamu atau bermaksud untuk bershadaqah yang pahalanya dihadiahkan kepada anggota keluarganya yang meninggal dunia.
Ada hal yang sering di permasalahkan oleh para pengingkar terkait yang ada di dalam kegiatan tahlilan. Mereka mencari-cari “dalih” dalam kitab-kitab para imam untuk mengharamkan tahlilan, padahal tidak ada yang mengharamkan. Terkait bahasan ini, semuanya adalah bermuara pada hadits dari Jarir bin Abdullah radliyallah ‘anh yang redaksinya :
كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ
“Kami (sahabat Nabi) menganggap berkumpul di kediaman mayyit serta membuat makanan setelah pemakaman mayyit sebagai bagian dari niyahah”.
PENGERTIAN NIYAHAH
Sebelumnya ketahuilah perlu bahwa hukum an-Niyahah (meratap mayyit) sendiri menurut penuturan Imam an-Nawawi adalah ulama telah berijma’ keharamannya. Niyahah adalah menangis berteriak-teriak dengan berulang-ulang menyebut kebaikan-kebaikan mayyit. Orang yang meratap seolah-olah tidak rela atau ridla dengan ajal yang datang kepada mayyit. Oleh karena itu niyahah di haram kan. Juga diharamkan adalah wanita-wanita yang berteriak-teriak sambil meratapi mayyit, menjambak-jambak rambutnya, menampar-nampar pipi juga menyobek-nyobek pakaiannya, semua ini haram.
PENJELASAN TERKJAIT HADITS JARIR
Sedangkan maksud hadits tersebut, sebagian ulama memahaminya diatas pengertian apabila disertai dengan menampakkan kesedihan. Oleh karena itu, ada ‘ulama yang walaupun menggunakan dalil tersebut hanya sebagai landasan hukum makruh. Contohnya seperti Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj, beliau mengatakan ;
“dan apa yang telah dibiasakan seperti keluarga almarhum membuat makanan demi mengundang manusia atasnya maka itu bid’ah makruhah, seperti mereka menerima untuk itu, telah shahih dari Jarir yakni “Kami (sahabat Nabi) menganggap berkumpul di kediaman mayyit serta membuat makanan setelah pemakaman mayyit sebagai bagian dari niyahah”.
Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ syarah al-Muhadzdzab menukil perkataan ‘ulama lainnya :
“Shahibusy Syamil dan yang lainnya berkata ; adapun keluarga almarhum mengurusi (membuat) makanan serta berkumpulnya manusia padanya, maka itu pernah dinukil sesuatu pun tentangnya, dan itu adalah bid’ah ghairu mustahibbah, inilah perkataan shahibusy Syamil. dan istidlal untuk hal ini berdasarkan hadits Jarir bin Abdullah radliyallah ‘anh, ia berkata : “Kami (sahabat Nabi) menganggap berkumpul di kediaman mayyit serta membuat makanan setelah pemakaman mayyit sebagai bagian dari niyahah”, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Majah telah meriwayatkannya dengan sanad yang shahih, namun dalam riwayat Ibnu Majah tidak ada kata “setelah pemakaman mayyit”.
Imam Syamsuddin Muhammad al-Khathib asy-Syarbini asy-Syafi’i didalam Mughni Muhtaj :
“adapun keluarga almarhum mengurusi makanan dan berkumpulnya manusia padanya maka itu bid’ah ghairu mustahabb, Imam Ahmad dan Ibnu Majah telah meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Jabir bin Abdullah, ia berkata : “Kami (sahabat Nabi) menganggap berkumpul di kediaman mayyit serta membuat makanan setelah pemakaman mayyit sebagai bagian dari niyahah”.
Dan masih banyak yang menjadikan hadits diatas sebagai dalil untuk hal serupa. Namun, walaupun an-niyahah hukumnya haram, akan tetapi sesuatu yang hanya merupakan bagian dari niyahah tidak serta merta dihukumi haram juga, sebab bukan niyahah itu sendiri. Sedangkan maksud dari perkataan Ibnu Hajar al-Haitami adalah apabila membuat makanan yang dimaksudkan agar masyarakat datang dan meramaikan rumah, sebab biasanya motivasi hal seperti ini adalah untuk berbangga diri suapaya dikatakan dermawan (alias lebih dekat kepada unsur riya’) atau hanya sekedar untuk meramaikan rumah, demikian juga pernyataan-pertanyaan senada yakni sebagian ‘ulama menghukumi makruh karena melakukannya hanya menuruti kebiasaan sehingga kadang memberatkan (membebani) keluarga almarhum dan melakukannya secara terpaksa karena rasa malu atau sebagainya. Jadi, hal tersebut dilakukan tanpa tujuan apa-apa kecuali hanya kebiasaan semata.
Namun, apabila memberikan makanan itu dengan suka rela (keikhlasan hati), paham maksud dan tujuannya yakni seperti motivasi ingin menshadaqahkan hartanya yang pahalanya untuk mayyit maka ini hukumnya sunnah (mustahab), sedangkan pahalanya sampai dan bermanfaat bagi mayyit berdasarkan nas-nas yang kuat. Adapun orang yang melakukan shadaqah maka terdapat pahala baginya. Hal ini karena terkait dengan hukum shadaqah itu sendiri dan tidak termasuk bagian dari niyahah.
Demikian juga jika keluarga almarhum memiliki motivasi lain yakni penghormatan kepada tamu-tamu (ikramudldlayf) yang hadir yang telah bersedia meluangkan waktu untuk mendo’akan dan al-Qur’an untuk salah satu keluarga yang meninggal dunia. Maka ini terkait dengan hukum memulyakan tamu, dimana Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda :
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah menyakiti tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah serta hari akhir bmaka hormatilah tamunya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah serta hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam (dari ucapakan yang tidak baik)”.
Agar lebih mudah memahami dan sekaligus merangkum permasalahan-permasalahan dan kutipan-kutipan serupa dalam kitab syafi’iyah maka perhatikan hal berikut ini :
- Haram : yakni apabila jamuan makan (hidangan makan) dalam tahlilan yang berasal dari harta mayyit sedangkan mayyit masih memiliki tanggungan hutang yang belum diselesaikan ; berasal dari harta anak yatim ; berasal dari harta mayyit sedangkan ahli warisnya bukan orang yang berhak (tidak dibenarkan oleh syariat) untuk mengurus harta mayyit, seperti anak-anak atau seumpamanya ; jamuan berasal dari harta mayyit tanpa ada izin (persetujuan) dari ahli-ahli warisnya ; jamuan diadakan untuk niyahah (meratapi mayyit dengan menyebut-nyebut kebaikan mayyit).
- Makruh : yakni apabila jamuan makan (hidangan makan) didalam tahlilan diadakan untuk menghilangkan kesunyian dan perasaan duka cita. Kalau dalam ungkapan Imam Ibnu Hajar al-Haitami adalah “...keluarga almarhum membuat makanan demi mengundang manusia atasnya maka itu bid’ah makruhah (bid’ah yang makruh)” ; jamuan makan diadakan tanpa ada tujuan apa-apa atau hanya karena mengikuti kebiasaan setempat dan hari hari tertentu ; jamuan makan bagi masyarakat yang datang mengucapkan “ta’ziyah”.
- Mubah bahkan Sunnah : yakni apabila jamuan makan (hidangan makan) diadakan untuk tujuan mendo’akan rahmat yang mati dan memperat shilaturahim, yang mana ini memotivasi diri dan mendorong hati untuk mendo’akan rahmat untuk mayyit ; jamuan makan untuk tujuan / niat untuk shadaqah yang pahalanya untuk mayyit, ini hukumnya sunnah (mustahab) dan pahalanya sampai kepada mayyit. Shadaqah tidak selalu berupa jamuan makan melainkan juga bisa dalam bentuk yang lainnya.
Imam al-Hafidz as-Suyuthi asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan didalam al-Hawi lil-Fatawi :
“Sesungguhnya sunnah memberikan makan selama 7 hari, telah sampai kepadaku bahwa sesungguhnya amalan ini berkelanjutan dilakukan sampai sekarang (yakni masa al-Hafidz sendiri) di Makkah dan Madinah. Maka secara dhahir, amalan ini tidak pernah di tinggalkan sejak masa para shahabat Nabi hingga masa kini (masa al-Hafidz as-Suyuthi), dan sesungguhnya generasi yang datang kemudian telah mengambil amalan ini dari pada salafush shaleh hingga generasi awal Islam. Dan didalam kitab-kitab tarikh ketika menuturkan tentang para Imam, mereka mengatakan “manusia (umat Islam) menegakkan amalan diatas kuburnya selama 7 hari dengan membaca al-Qur’an’.
PENTING : TIDAK SEMUA BID'AH DIHUKUMI HARAM
Perkara yang disebutkan oleh para Imam seperti diatas dikatakan sebagai bid’ah. Namun, para ‘ulama tidak serta merta menjatuhkannya pada status hukum haram, seperti perkataan Ibnu Hajar yakni bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh, bukan haram), bid’ah ghairu mustahibbah (bid’ah yang tidak dianjurkan) maka ini status hukumnya jatuh antara mubah dan makruh. Ada lagi istilah bid’ah munkarah yang hukumnya makruh, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu perbuatan seperti diatas tidaklah haram (berdosa) walaupun semisalnya dilakukan. Juga tidak bisa dijadikan “dalih” mengharamkan tahlilan, sama sekali tidak ada garis merahnya.
Kenapa tidak seperti bid’ah jatuh pada status hukum haram ? Sebab bid’ah bukanlah hukum (status hukum Islam). Bid’ah adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut perkara baru yang tidak berasal dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam. Adapun hukum Islam ada 5 yakni :
1. Wajib (fardlu) : apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan berdosa.
2. Sunnah, kadang di istilahkan dengan mandub, mathlub, nafilah, mustahab dan lain sebagainya dan mengandung pengertian : apabila dikerjakan mendapat pahala namun apabila di tinggalkan tidak apa-apa (tidak berdosa).
3. Mubah / Jaiz : apabila dikerjakan atau tinggalkan tidak apa-apa.
4. Makruh : apabila dikerjakan tidak apa-apa (tidak berdosa) sedangkan apabila ditinggalkan mendapatkan pahala.
5. Haram : apabila di kerjakan mendapat dosa dan apabila ditinggalkan mendapatkan pahala.
Maka, apabila ada perkara yang oleh ulama dianggap sebagai bid’ah, mereka tidak serta merta menjatuhkan status hukum haram untuk bid’ah tersebut, melainkan mereka (ulama) menimbang dan mengkaji terlebih dahulu tentang bid’ah tersebut, yakni terkait selaras atau tidaknya dengan kaidah-kaidah syariat. Sehingga nantinya akan terlihat/dapat disimpulkan status hukum untuk perkara bid’ah tersebut, apakah masuk dalam hukum wajib, sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh dan haram. Sebab sesuatu harus ditetapkan status hukumnya.
1. Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh, maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah makruhah (bid’ah yang hukumnya makruh)”,
2. Jika masuk pada kaidah penetapan hukum makruh haram maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah muharramah (bid’ah yang hukumnya haram)”,
3. Jika masuk pada kaidah penetapan hukum mubah/jaiz maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah mubahah (bid’ah yang hukumnya mubah)”,
4. Jika masuk pada kaidah penetapan hukum sunnah/mandub/mustabah maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah mustahabbah (bid’ah yang hukumnya sunnah/ mustahab/ mandub)”,
5. Jika masuk pada kaidah penetapan hukum wajib maka ulama akan menyebutnya sebagai “bid’ah wajibah (bid’ah yang hukumnya wajib)”.
Imam an-Nawawi mengatakan didalam al-Minhaj syarah Shahih Muslim :
“’Ulama berkata bahwa bid’ah terbagi menjadi 5 bagian (bagian hukum) yakni wajibah (bid’ah yang wajib), mandubah (bid’ah yang mandub), muharramah (bid’ah yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (bid’ah yang mubah)”.
Kesimpulannya sudah jelas adalah bahwa tidak semua bid’ah dihukumi haram, melainkan harus ditinjau terlebih dahulu status hukumnya. Semua itu karena, ternyata ada bid’ah yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, diistilahkan dengan bid’ah hasanah (baik) dan ada juga bid’ah yang bertentangan dengan syariat Islam, di istilahkan dengan bid’ah yang buruk. al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan sebagaimana disebutkan olah al-Muhaddits al-Baihaqi :
“Telah mengkhabatkan kepada kami Abu Sa’id bin Abu ‘Amr, telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub, telah menceritakan kepada kami ar-Rabi’ bin Sulaiman, ia berkata : Imam asy-Syafi’i pernah berkata : “perkara baru itu terbagi menjadi menjadi dua bagian, pertama, suatu perkara baru yang menyelisihi al-Qur’an, Sunnah, Atsar atau Ijma’ maka itu bid’ah dlalalah, sedangkan yang kedua, perkara baru yang baik yang tidak ada pertentangan didalamnya dengan salah satu dari hal ini (dari al-Qur’an, Sunnah, Atsar atau Ijma’) maka itu perkara baru yang tidak buruk”.
Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
أبـــــــــــــــــــــــــو عـــــــــــــــــــــــــــــمار
Sedan Rembang, Jateng, Indonesia
Lihat profil lengkapku

Blog Arcife