Kamis, 28 Januari 2010
... Dua bagian percakapan ini disebutkan dalam hadis yang masyhur di kalangan Sufi: Aku membagi shalat menjadi dua bagian di antara Aku dan hamba-Ku, setengahnya untuk-Ku dan setengahnya untuk hamba-Ku. (Rasulullah bersabda}”Ketika hamba berucap alhamdulillahi rabbil ‘alamin, Allah berkata ‘Hamba-Ku memuji-Ku. Ketika hamba berucap Ar-Rahman Ar-Rahim, Allah berkata ‘Hamba-Ku memuja-Ku.’ Ketika hamba berucap maliki yaumiddin, Allah berkata ‘Hamba-Ku mengagungkan Aku.’ Ketika hamba berucap Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, Allah berkata ‘Ini antara Aku dan hamba-Ku.’ Ketika hamba berkata ihdinash shiratal mustaqim—sampai akhir ayat, Allah berkata ‘Ini bagi hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta.’ Shalat bisa dilihat dari dua sisi. Sebagai gerak perlambang dan doa/dzikir. Gerakan shalat bukan sekadar gerak tanpa makna, tetapi sebuah tindak “menulis” ayat Allah dan merealisasikannya. Muslim “membaca” Al-Quran untuk mendapatkan petunjuk tentang hakikat dirinya guna mengenal Allah, dan Muslim melakukan shalat untuk “menulis” hakikat diri. Ini berarti pula bahwa dengan shalat seorang Mukmin melahirkan kandungan hakikat kediriannya, seperti sebuah pena yang mengalirkan tinta saat dipakai untuk menulis. Apa yang “ditulis” dalam shalat adalah hakikat kemanusiaan, adam, yakni bahwa manusia sesungguhnya adalah “adam” atau tiada, dan eksistensinya muncul adalah lantaran eksistensi Allah yang dipancarkan melalui Nur Muhammad. Dalam salah satu tafsir Sufi, posisi berdiri tegak lurus melambangkan huruf alif; posisi rukuk melambangkan huruf dal; dan sujud melambangkan huruf mim. Ketiga huruf ini membentuk kata “adam”. Huruf alif bernilai numerik satu yang melambangkan keesaan Tuhan. Karenanya begitu seseorang mengangkat tangannya dan berseru “Allahu Akbar,” ia sama artinya dengan “mengorbankan” diri dalam kesatuan. Jika kesadaran tertentu telah dicapai dalam tingkatan keesaan, maka ia akan menunduk, yang mencapai puncaknya dalam sujud. Dalam posisi sujud, otak (rasio) diletakkan lebih rendah daripada hati. Bisa dikatakan rasio haruslah menjadi aspek sekunder dalam mendekati Tuhan, sebab “alam semesta tak bisa menampung Allah, hanya hati yang bisa menampung Allah” (hadis qudsi). Sujud melambangkan penghapusan diri. Diri yang mengaku-aku, begitu berhadapan dengan Tuhan yang Esa dan bercakap intim dengan-Nya, menjadi sadar akan hakikat dirinya sendiri. Maka dia sujud, menghapuskan diri, fana. Ada dua kali sujud dalam setiap rakaat, yang berarti sang hamba tenggelam dalam fana al-fana, penghapusan dalam penghapusan. Penghapusan pertama dihapuskan lagi, dan jadilah dia pada baqa. Fana al-fana menjadikan seseorang adam, “tiada,” yang merupakan hakikat dirinya, dan karena kehapusan diri ini berada dalam pandangan Allah maka ia hapus dalam keabadian Allah, baqa, sehingga ia mengalami hidup yang sebenarnya. Sebab, pelenyapan diri dalam Keesaan Allah berarti pula baqa “bersama” Allah. Dengan kata lain, seorang yang sujud dalam arti sebenar-benarnya ini akan keluar dari kesementaraa dunia, dan masuk ke hari-hari di sisi Tuhan, atau yaumiddin. Jadinya, akhirat (yaumiddin), bagi seorang sufi, bukanlah waktu di ujung waktu temporal dunia, tetapi dialami pada momen “saat ini”. Sufi adalah putra waktu (Ibnu al-waqt), demikian salah satu prinsip Tasawuf. Karena secara hakikat sudah “melampaui ruang dan waktu,” maka Sufi sama artinya melakukan shalat yang berkekalan, “shalat daim”. Di sisi lain, yakni dalam pengertian shalat sebagai doa, ketika Muhammad diperintahkan shalat, maka ini artinya Allah menjadikan Muhammad sebagai hamba yang memohon (berdoa) dan Allah adalah menjadikan diri-Nya sebagai yang dimintai permohonan. Karena rasul adalah utusan dari Tuhan kepada manusia atau perantara, dan doa juga perantara atau “utusan” dari manusia kepada Tuhan dalam bentuk permohonan, maka rasul menjadi titik temu hubungan ini, yang berarti Rasul adalah doa itu sendiri, yakni ‘barzakh” atau pintu perantara antara manusia dengan Tuhan. Di sinilah terletak fungsi shalawat. Dalam shalawat terkandung doa, pujian dan cinta. Karenanya, shalawat adalah salah satu jalan menuju cinta kepada rasul, yang pada tingkat tertinggi menyebabkan seseorang lebur dalam totalitas eksistensi, atau hakikat Muhammad, atau Nur Muhammad. \ Shalawat adalah “berkah” yang biasanya disandingkan dengan kedamaian (salam). Shalawat karenanya berfungsi sebagai berkah dari Tuhan untuk “menghidupkan” hati dan membersihkan hati agar terserap dalam Nur Muhammad dan sekaligus sebagai kedamaian yang menenteramkan. Dengan demikian, shalawat menjadi pembuka pintu keterkabulan doa seseorang—seperti dikatakan dalam hadis, “Doa tidak akan naik ke langit tanpa melewati sebuah ‘pintu’ atau tirai. Jika doa disertai shalawat kepadaku maka doa akan bisa melewati tirai (yakni membuka pintu) itu dan masuklah doa itu ke langit, dan jika tidak (disertai shalawat) doa itu akan dikembalikan kepada pemohonnya.” Shalawat yang diamalkan oleh Sufi dan terutama dalam tarekat-tarekat amat banyak macamnya—bisa mencapai ratusan. Imam Jazuli mengumpulkan sebagian di antaranya dalam kitabnya yang terkenal, Dala’il Khairat. Sebagian lafaz shalawat ini tidak dijumpai dalam hadis standar (sahih), dan karenanya sebagian fuqaha menyebut shalawat dari para Sufi adalah bidah. Ini tidak mengherankan karena para fuqaha, yang gagal, atau bahkan tidak mau melampaui sudut pandangnya sendiri, tidak mengakui kasyaf yang menjadi dasar dari bermacam-macam shalawat. Sebagian shalawat Sufi diperoleh dari ilham rabbani, atau kasyaf rabbani, atau dari mimpi yang benar (ru’ya as-shadiqah), di mana dalam kondisi itu para Sufi bertemu atau bermimpi bertemu dengan Nabi dan diajarkan lafaz shalawat tertentu dan disuruh untuk menyebarkannya. Karena itu susunan kata dalam shalawat Sufi bervariasi, dan sebagian besar mengandung kalimat yang indah, puitis, yang mengandung misteri dari hakikat Muhammad, Nur Muhammad, atau misteri fungsi kerasulan dan kenabian Muhammad pada umumnya. Penulis pernah ditunjukkan oleh seorang kyai, yang oleh sebagian sudah dianggap berkedudukan Wali Allah, sebuah buku catatan berisi banyak sekali lafaz shalawat yang khusus, misalnya, ada shalawat yang menjadi wasilah untuk mendapatkan ilmu ladunni dan ada juga shalawat untuk menggapai mukasyafah (menyingkap tirai kegaiban spiritual). Salah satu contoh lain shalawat khusus adalah shalawat terkenal, shalawat Al-Fatih, yang menjadi amalan penting bagi beberapa tarekat seperti Syadiziliyyah dan Tijaniyyah. Menurut sebagian keterangan, Lafaz shalawat ini diilhamkan kepada Syekh Muhammad Al-Bakri r.a., dalam bentuk tulisan di atas lembaran cahaya, ketika Syekh Al-Bakri melakukan khalwat di Kakbah untuk mencari petunjuk cara terbaik bershalawat kepada Nabi. Terjemahannya kira-kira sebagai berikut: Ya Allah, curahkan rahmat dan keselamatan serta berkah atas junjungan kami Nabi Muhammad saw yang dapat membuka sesuatu yang terkunci, penutup dari semua yang terdahulu, penolong kebenaran dengan jalan yang benar, dan petunjuk kepada jalan-Mu yang lurus. Semoga Allah mencurahkan rahmat kepada beliau, keluarganya dan semua sahabatnya dengan sebenar-benar kekuasaan-Nya Yang Mahaagung. Dalam shalawat ini terangkum banyak hal yang melambangkan misteri kerasulan Muhammad Saw. Sebagian shalawat lain bahkan lebih jelas lagi dalam susunan katanya yang mengakui fungsi hakikat risalah kenabian, seperti: nabi sebagai cahaya Dzat-Nya (shalawat nur al-dzati); yang melapangkan rezeki dan membaguskan akhlak (shalawat litausil arzaq); pengumpul atau kumpulan kesempurnaan (shalawat jauhar asy syaraf); yang memecah-belah barisan orang kafir (shalawat al-muffariq); pemenuh hajat, pengangkat derajat, pengantar ke tujuan mulia (shalawat munjiyat); penghilang keruwetan, pencurah hujan rahmat (shalawat nariyah); penyembuh penyakit hati dan jasmani, cahaya badan (shalawat syifa dan tibbul qulub); dan sebagainya. Bahkan ada shalawat khusus yang hanya untuk penerimanya saja, dan karenanya tak diajarkan kepada orang lain. Shalawat semacam ini biasanya berkaitan dengan kedudukan atau maqam sang Sufi atau Wali itu sendiri. Shalawat rahasia ini mengandung doa dan pujian yang “mengerikan” dari perspektif apapun. Penulis pernah mendengar keterangan shalawat dari seorang Wali Allah, yang dalam artinya mengandung pernyataan “penyatuan atau pencampuran” ruh seseorang dengan ruh Muhammad. Semua shalawat mengalirkan barakah kepada pembacanya sebab dengan shalawat seseorang “terhubung” dengan “Perbendaharaan Tersembunyi” yang kandungannya tiada batasnya, atau dengan kata lain, dengan shalawat seseorang berarti akan memperoleh berkah “kunci” dari Perbendaharaan Tersembunyi yang gaib sekaligus nyata (yakni dalam wujud Muhammad saw). Karenanya, dalam tradisi Sufi diyakini bahwa bacaan shalawat tertentu mempunyai fungsi dan faedah tertentu untuk mengeluarkan kandungan Perbendaharaan Tersembunyi sesuai dengan kandungan misteri yang ada dalam kalimat-kalimat bacaannya. Misalnya, shalawat Fatih di atas diyakini memiliki pelebur dosa, meluaskan rezeki, bertemu nabi dalam mimpi dan bahkan dalam keadaan terjaga, dan dibebaskan dari api neraka. Contoh lainnya yang masyhur adalah Shalawat Nariyyah, yang menjadi amalan banyak Wali Allah dan juga umat Muslim awam. Diriwayatkan bahwa shalawat ini bisa dengan cepat mendatangkan hajat jika dibaca sebanyak 4444 kali dalam sekali duduk. Seorang putra dari Wali Allah menyatakan bahwa jumlah bacaan shalawat ini tergantung pula pada niatnya. Misalnya, masih menurut beliau, jika kita membacanya dengan niat agar bisa mukasyafah (terbuka hijab gaib), dianjurkan sering-sering membaca 4444 kali dalam sekali duduk, atau setiap malam 313 kali secara istiqamah. Proses kita menuju totalitas tersebut merupakan upaya untuk menyerap semua nama dan sifat Tuhan secara sempurna dan harmonis melalui perantaraan (barzakh) Rasul. Ini adalah salah satu aspek dari fana fi-rasul. Seorang Sufi atau Wali Allah yang telah mencapai taraf fana fi-Rasul, atau “menyatu” dengan Nur Muhammad, maka ia akan merasakan kehadiran Muhammad bahkan dalam keadaan terjaga, dan bercakap-cakap dengannya. Imam al-Haddad, sang penyusun amalan “Ratib Haddad” yang termasyhur itu, menurut riwayat pernah berziarah ke makam Rasulullah dan mengucapkan salam. Lalu terdengar jawaban dari Nabi atas salam itu. Semua yang hadir bisa mendengarkan jawaban itu. Bahkan dalam tingkatan yang lebih tinggi dan halus, sebagian Sufi melalui penglihatan batinnya (kasyaf) mereka bisa melihat sosok seorang Sufi sama persis dengan sosok Muhammad, baik dalam bentuk tubuh maupun parasnya. Abu Bakar Syibli, misalnya, dalam keadaan fana mengatakan “Aku adalah Rasulullah.” Pada saat itu salah seorang muridnya melihat Sybli dalam rupa Muhammad seperti yang pernah disaksikan dalam mimpinya dan kasyafnya. Maka mendengar sang guru berkata seperti itu, secara spontan ia menjawab “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah.” Hal yang sama juga pernah disampaikan oleh Syekh Muhammad Samman. Ketika Syekh Samman sedang fana ia akan terus memuji Muhammad saw dengan membaca shalawat yang menguraikan hakikat Muhammad, yakni shalawat Sammaniyah. Pada keadaan ini kadang beliau berucap, “Aku adalah Muhammad yang dituju” atau “Aku adalah Nabi Muhammad dan Nur Muhammad,” dan “jasadku mirip dengan jasad Muhammad.” Salah satu contoh lagi isyarat rahasia terdalam dari Nur Muhammad ini dialami oleh salah seorang murid dari Wali Allah Syekh As-Sayyid Qamarullah Badrulmukminin Musyawaratul Hukuma Qamaruzzaman. Dalam sebuah mimpi ia melihat Rasullullah, Imam Mahdi dan gurunya memiliki bentuk tubuh dan paras yang sama persis. Dan setiap kali ia bermimpi tentang Rasul, ia selalu menyaksikan gurunya di sisi beliau. Kadang-kadang, menurut muridnya, dalam beberapa perbincangan dengan Syekh As-Sayyid Qamarullah, tidak jelas apakah yang bicara itu Syekh ataukah Rasulullah. Bahkan di beberapa kesempatan, barangkali dalam keadaan “ekstase,” Syekh ini menyatakan dirinya diberi amanat untuk memberi keselamatan (rahmat) alam, sebuah tugas Nabi Muhammad. Tetapi tentu saja semua contoh di atas tidak bisa dilihat dari perspektif umum atau lahiriah, sebab hal-hal ini berada dalam konteks gaib dan rahasia ilahi yang hanya dipahami oleh orang-orang yang memang diberi izin dan diberi hak untuk memahaminya. Kondisi tertinggi dalam persatuan dengan Nur Muhammad ini, secara teori, biasanya dialami oleh para wali yang telah mencapai kedudukan tertinggi, seperti wali Qutb (Kutub) atau Qutb Al-Aqtab (Rajanya Para Kutub) atau Sulthanul Awliya. Ini adalah salah satu misteri terdalam (al-haqiqah) dari hubungan antara Allah, Nur Muhammad, Muhammad saw, alam dan manusia (orang mukmin). Sebuah misteri yang tak bisa diselami makna hakikinya hanya melalui kata-kata. Dan, misteri agung yang suci ini terangkum dalam shalawat agung dari Syekh ‘Arif Billah Al-Qutb As-Syekh Muhammad Samman, sang pendiri tarekat Sammaniyah: Ya Allah, semoga Engkau sampaikan shalawat bagi yang kami hormati Muhammad; dia adalah asal-usul dari segala yang maujud, yang meliputi semua falak (benda-benda langit) yang tinggi; huruf alif pada Ahmad artinya adalah dzat yang mengalir pada setiap molekul; huruf ha pada ahmad artinya hidupnya makhluk dari awal sampai akhir; huruf mim pada kata Ahmad berarti tahta kerajaan ilahi yang tiada banding; huruf dal pada lafal Ahmad artinya keabadian yang tanpa akhir. Engkau yang telah menampakkan diri pada Nur Muhammad yang Engkau cintai. Ia adalah tahta kehormatan yang padanya Engkau percikkan cahaya Dzat-Mu. Engkau menampakkan Diri (kepadanya) dengan Cahaya-Mu. Hakikat Muhammad adalah cermin yang memantulkan keindahan-Mu, memantulkan sinar dalam Asma-Mu dan Sifat-sifat-Mu. Ia bagaikan matahari kesempurnaan yang memancarkan cahayanya bagi seluruh makhluk di alam, yang telah Engkau bentuk seluruh alam ini dari padanya (yakni dari Nur Muhammad). Setiap orang yang mencapai hakikat Muhammad akan Engkau dudukkan di atas permadani yang berdekatan dengan-Mu. Engkau tetapkan (berikan) kepadanya sebuah kunci perbendaharaan kekasih-Mu yang agung; kunci itu gaib dan tersembunyi tetapi ia (juga) nyata. Kunci perbendaharaan itu menjadi perantara di antara Engkau dan hamba-hamba-Mu. Hamba-Mu hanya bisa naik dengan cinta kepada Ahmad (Muhammad Saw.) untuk menyaksikan kesempurnaan-Mu. (shalawat) ini juga bagi keluarganya yang mengalirkan ilmu hakikat, dan bagi para sahabatnya yang menjadi pelita yang menunjukkan jalan bagi setiap insan. Shalawat ini adalah dari-Mu bagi Ahmad, diterima olehnya dari kami dengan berkah keutamaan-Mu. Shalawat ini melekat pada Dzat-Nya dalam gumpalan cahaya tajalli-Nya. Shalawat yang menyucikan hati kita dan rahasia-rahasia batin kita. Shalawat yang mengangkat roh-roh kita dan melimpahkan berkah kepada kita, guru-guru kami, kedua orang tua kami, saudara-saudara kami, dan segenap umat Muslim. Shalawat ini beriring dengan salam dari Engkau Ya Allah, hingga hari kiamat. Shalawat dan salam yang jumlahnya tak terhitung bagi Muhammad Al-Amin, dan juga kepada keluarganya dan para sahabatnya; segala puji bagi-Mu dari-Mu sepanjang masa. Dengan mengaktualisasikan potensi yang bersifat ilahiah ini, berarti kita menafikan wujud kita dan menegaskan wujud Allah, karena wujud kita hanyalah wujud dalam arti majaz (kias), dengan demikian kita kembali ke sifat asli kita yakni ketiadaan, adam, dan karena itu pula kita menjadi cermin yang bening kembali, menjadi seperti pribadi Nabi, yang memantulkan nama dan sifat Tuhan, lokus tajaliyyat Tuhan yang sempurna—innallaha khalaqa adama ala suratihi (Sesungguhnya Allah menciptakan adam sesuai dengan Citra-Nya)—atau insan kamil. Wa Allahu a’lam bi ash-shawab. bersambung ... ke #11 TENTANG AL QUR'AN DAN TAFSIR SUFI Tri Wibowo BS/ Mbah Kanyut Ikhwan TQN
BAB 3 NUR MUHAMMAD DAN MUHAMMAD Allah adalah cahaya langit dan bumi (QS. 24:35) Wahai Jabir, sesungguhnya Allah Swt. sebelum menciptakan segala sesuatu, terlebih dahulu menciptakan cahaya nabimu dari Nur Allah (Hadis) Jika bukan karena engkau, jika bukan karena engkau, wahai Muhammad, Aku tak akan pernah menciptakan langit yang tinggi dan mengejawantahkan Kedaulatan-Ku (Hadis). Dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda, Ana min nurullaahi, wa khalaq kuluhum min nuuri—”Aku berasal dari cahaya Allah, dan seluruh dunia berasal dari cahayaku.” Dalam hadis lain dari Ibnu Abbas disebutkan, “Sesungguhnya ada seorang Quraisy, yang ketika itu masih berwujud nur (cahaya), di hadapan Allah Yang Maha Perkasa lagi Mahaagung, dua ribu tahun sebelum penciptaan Nabi Adam as. Nur itu selalu bertasbih kepada Allah…” Allah menciptakan Nur Muhammad, atau al-haqiqat Al-Muhammadiyya (Hakikat Muhammad) sebelum menciptakan segala sesuatu. Nur Muhammad disebut sebagai pangkal atau asas dari ciptaan. Ini adalah misteri dari hadis qudsi yang berbunyi lawlaka, lawlaka, maa khalaqtu al-aflaka—”Jika bukan karena engkau, jika bukan karena engkau (wahai Muhammad), Aku tidak akan menciptakan ufuk (alam) ini.” Allah ingin dikenal, tetapi pengenalan Diri-Nya pada Diri-Nya sendiri menimbulkan pembatasan pertama (ta’ayyun awal). Ketika Dia mengenal Diri-Nya sebagai Sang Pencipta, maka Dia “membutuhkan” ciptaan agar Nama Al-Khaliq dapat direalisasikan. Tanpa ciptaan, Dia tak bisa disebut sebagai Al-Khaliq. Tanpa objek sebagai lokus limpahan kasih sayang-Nya, dia tak bisa disebut Ar-Rahman. Maka, perbendaharaan tersembunyi dalam Diri-Nya itu rindu untuk dikenal, sehingga Dia menciptakan Dunia—seperti dikatakan dalam hadis qudsi, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku rindu untuk dikenal, maka kuciptakan Dunia.” Tetapi kosmos atau alam adalah kegelapan, sebab dalam dirinya sendiri alam sebenarnya tidak ada. Dalam kegelapan tidak akan terlihat apa-apa. Karenanya, agar sesuatu segala sesuatu muncul dalam eksistensi ini diperlukanlah cahaya. Melalui cahaya inilah Dia memahami dan dipahami sekaligus. Inilah manifestasi pertama dari Perbendaharaan Tersembunyi, yakni Nur Muhammad. Jadi yang pertama diciptakan adalah Nur Muhammad yang berasal dari “Cahaya-Ku”. Nur Muhammad adalah sebentuk “pembatasan” (ta’ayyun) atas Keberadaan Absolut; dan bagian ini tidaklah diciptakan, tetapi sifat dari Pencipta. Dengan demikian, berdasar hadis-hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa dunia adalah dari Nur Muhammad dan Nur Muhammad berasal dari Nur Allah. Karena fungsinya sebagai prototipe aturan tata semesta dalam keadaan global, maka Nur Muhammad adalah wadah tajalli-Nya yang sempurna dan sekaligus kecerdasan impersonal yang mengatur tatanan kosmos, atau Logos, seperti dikatakan dalam hadis masyhur lainnya, “Yang pertama diciptakan Allah adalah akal (aql al-awwal).” Jadi, Nur Muhammad adalah semacam “wadah” yang senantiasa dialiri oleh Cahaya Pengetahuan ilahiah, yang dengan Pengetahuan itulah alam semesta ditata. Maulana Rumi menyatakan bahwa pada saat penciptaan Nur itu, Allah menatap Nur Muhammad itu 70,000 kali setiap detik. Ini berarti bahwa Hakikat Muhammadiyyah itu terus-menerus dilimpahi Cahaya Pengetahuan, Cahaya Penyaksian. Cahaya demi Cahaya terus berdatangan—cahaya di atas cahaya—masuk ke dalam hakikat Nur Muhammad atau Hakikat Muhammad. Karenanya pengetahuan yang diterima Nabi Muhammad terus-menerus bertambah. Inilah misteri dari doa Nabi yang termasyhur, “Ya Allah tambahkan ilmu pengetahuan kepadaku.” Sebagai Logos, kecerdasan impersonal, yang menjadi dasar tatanan semesta, sudah barang tentu pengetahuan yang diterimanya tak pernah berhenti, terus bertambah, hingga akhir zaman. Di dalam Nur Muhammad ini termuat al-a’yan Al-Mumkinah (entitas-entitas yang mungkin). Entitas yang mungkin ini akan menjadi aktual dalam bentuk alam empiris melalui perintah “kun”. Tetapi tujuan penciptaan belum tercapai hanya melalui alam, sebab alam bukan cermin yang bening bagi Allah untuk mengenal Diri-Nya sendiri. Di sinilah wajah Nur Muhammad yang kedua berperan, yakni sebagai hakikat kemanusiaan—haqiqat Al-Muhammadiyyah atau Insan Kamil. Allah tidak secara langsung mengatur dunia, sebab Dzat-Nya adalah tanzih, tiada banding secara mutlak (transenden). Dia mengatur melalui Nur Muhammad, Logos. Jika Dzat-Nya turut campur dalam pengaturan alam yang penuh pertentangan, maka kalimat Allahu Ahad (lihat kembali bab satu) menjadi tidak berarti. Maka fungsi pengaturan berada dalam tahap wahidiyyah ini, yakni tahap Haqiqat Al-Muhammadiyyah. Rububiyyah (penguasaan, pemeliharaan) menimbulkan kebutuhan adanya hamba dan sesuatu yang dipelihara (kosmos, alam), dan karenanya dibutuhkan penghambaan (ubudiyyah). Haqiqat Al-Muhammadiyyah mengalir dari nabi ke nabi sejak Adam sampai pada gilirannya akan terwujud dalam pribadi Muhammad yang disebut rasul dan hamba (abd)—Muhammad abduhu wa Rasullullah. Ketika Muhammad, setelah bertafakur sekian lama di gua, ia mencapai tahap keheningan di mana gelombang dirinya bertemu dengan gelombang Nur Muhammad, maka layar kesadarannya terbuka terang melebihi terangnya seribu bulan. Maka jadilah ia Rasul. Maka Rasul Muhammad adalah cahaya yang menerangi alam secara lembut dan bisa disaksikan, sebab terang cahaya itu dibandingkan dengan seribu bulan, bukan seribu matahari. Dalam konteks ini secara simbolik “Rasul” adalah manifestasi yang lengkap dari tahapan manifestasi, yakni dari martabat wahdah ke martabat alam ajsaam (alam dunia, materi, sebab-akibat). Dilihat dari sudut pandang lain, rasul adalah “utusan” Tuhan yang menunjukkan jalan menuju cahaya atau kepada Tuhan. Karena merupakan manifestasi “lengkap dan sempurna” maka tidak dibutuhkan lagi sesuatu yang lain sesudahnya, dan jadilah dia disebut khatam (penutup)—”tak ada lagi nabi dan rasul setelah aku (Muhammad).” Bagian kedua kalimat syahadat, Muhammad rasullullah, adalah deskripsi dari ciptaan. Muhammad adalah “barzakh” yang memperantarai manusia dengan Tuhan. Berbeda dengan bagian pertama syahadat, Laa ilaha illa Allah, yang menegaskan Keesaan dan karenanya eksklusivitas mutlak (tanzih), bagian kedua syahadat ini menunjukkan inklusivitas (tasybih), karena merupakan manifestasi dari Allah. Sebagai sebuah deskripsi dari manifestasi, syahadat kedua ini menggambarkan tiga hal sekaligus, yakni Prinsip Asal yang dimanifestasikan (Muhammad); manifestasi Prinsip (Rasul); dan Prinsip Asal itu sendiri (Allah). Dengan demikian, “Rasul” adalah penghubung “Dzat yang dimanifestasikan” dengan Dzat itu sendiri. Rasul menjadi perantara antara alam yang fana dengan Dzat Yang Kekal. Tanpa “Muhammad Rasullulah” dunia tidak akan eksis, sebab ketika dunia yang fana dihadapkan pada Yang Kekal, maka lenyaplah dunia itu. Menurut Syekh Al-Alawi, jika Rasul diletakkan di antara keduanya, maka dunia bisa terwujud, sebab Rasul secara internal adalah tajalli sempurna dari Allah, dan secara eksternal tercipta dari tanah liat yang berarti termasuk bagian dari alam. Jadinya, Rasul adalah “Utusan” manifestasi, yang mengisyaratkan “perwujudan” atau “turunnya” Tuhan dalam “bentuk manifestasi atau ayat-ayat” ke dunia, yang dengannya Dia dikenal. Kerasulan adalah alam kekuasaan (alam jabarut). Dengan demikian Muhammad Rasulullah adalah penegasan perpaduan Keesaan Dzat (Wujud), Sifat (shifaat) dan Tindakan (af’al). Karenanya, kata Imam Ar-Rabbani—seorang Syekh Tarekat Naqshabandi—dalam kerasulan, Rasul tidak hanya berhadapan dengan Allah saja, tetapi juga berhadapan dengan manusia (alam) pada saat ia berhadapan dengan Tuhan. Pengangkatan Rasul, yang berarti “turunnya” Tuhan ke dunia, yakni “bersatunya” kesadaran Muhammad dengan Nur Muhammad, terjadi pada laylat Al-Qadr (Malam Kekuasaan), yang terang cahayanya melebihi seribu bulan. Allah dan Nabi Muhammad bertemu dalam “Rasul” yang dijabarkan dalam Risalah, atau Wahyu, yakni Al-Quran. Inilah cahaya petunjuk (Al-Huda) yang menerangi kegelapan alam, yang memisahkan (Al-Furqan) kebatilan atau kegelapan dengan kebenaran atau cahaya. Karena itu Al-Quran sesungguhnya adalah manifestasi “kehadiran penampakan” Allah di dunia ini. Sayyidina Ali karamallahu wajhah dalam Nahj Al-Balaghah mengatakan “Allah Yang Mahasuci menampakkan Diri kepada hamba-hamba-Nya dalam firman-Nya, hanya saja mereka tidak melihatnya.” Imam Ja’far, cucu Rasulullah saw, juga mengatakan, “Sesungguhnya Allah menampakkan Diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya dalam Kitab-Nya, tetapi mereka tidak melihat.” Di sisi lain, sebagai manusia yang mengandung unsur tanah dan air, Muhammad memperoleh sisi kemanusiaannya. Dia makan, minum dan menikah. Faktor ini amat penting karena menunjukkan bahwa walau Muhammad adalah manifestasi, atau tajalli sempurna, insan kamil, dari Allah, tetap saja Muhammad bukanlah Allah. Atau, dengan kata lain, yang dimanifestasikan bukanlah Prinsip yang bermanifestasi, dan karenanya tidak ada persatuan antara manusia dan Tuhan dalam pengertian panteisme. Kedudukan manusia paling tinggi justru dalam realisasi penghambaannya yang paling sempurna, abd, “abdi”—gelar yang hanya disebut oleh Allah bagi Muhammad Saw. Al-’abd adalah “Hamba” atau abdi yang sepenuhnya pasrah kepada Allah. Seorang abd hidup dalam kesadaran sebagai seorang abdi Allah. Abd dicirikan oleh keikhlasan. Karenanya, penghambaan sejati bukan lantaran kewajiban atau keterpaksaan. Dalam pengertian umum, kegembiraan seorang hamba adalah ketika dia dimerdekakan oleh tuannya. Tetapi ‘abd merasakan kegembiraan tatkala ia menjadi hamba (Allah). Derajat ‘abd adalah derajat tertinggi yang bisa dicapai manusia, dan karena itu Allah menyandingkan kerasulan Nabi Muhammad Saw dengan ‘abd—”Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah ‘hamba’ dan Rasul-Nya.” Ketika mengundang Rasulullah saw di malam mi’raj, Allah menyebutnya dengan gelar “hamba”—Mahasuci Allah yang memperjalankan hamba-Nya di kala malam (QS. 17:1)—dan ini sekaligus menunjukkan kebesaran kualitas ‘abd, sebab hanya ‘abd-Nya-lah yang berhak mendapat undangan langsung menemui-Nya di tempat di mana bahkan Malaikat Jibril pun terbakar sayap-sayapnya. Dalam tingkatan yang paripurna, hamba yang ingat akan menjadi yang diingat, yang mengetahui akan menjadi yang diketahui, dan yang melihat akan menjadi yang dilihat, yang menghendaki menjadi yang dikehendaki, dan yang mencintai menjadi yang dicintai, karena ia sudah fana pada Allah dan baqa dengan baqa-Nya, dan ia menghabiskan waktunya untuk memandang kebesaran dan keindahan-Nya terus-menerus, seakan-akan dirinya pupus, seakan dia adalah Dia (Allah). Ini adalah maqam seperti yang disebutkan dalam hadis Qudsi: … “(Aku) menjadi pendengarannya yang dengannya dia mendengar, penglihatannya yang dengannya dia melihat, menjadi tangannya yang dengannya dia memegang, menjadi kakinya yang dengannya dia berjalan, dan menjadi lidahnya yang dengannya dia bicara.” Jadi jelas bahwa derajat tertinggi adalah pada kehambaan, sebab hanya hamba sejatilah yang akan “naik” menuju Tuhannya. Dan pada sang hamba sejatilah Allah “turun” untuk menemuinya. Ini adalah misteri mi’raj. Penurunan dan kenaikan, laylatul al-qadr dan laylat al-mi’raj, mempertemukan hamba dengan Tuhannya, melalui kewajiban yang ditetapkan pada saat pertemuan Nabi dengan Allah, yakni shalat. Setiap mukmin harus mengikuti jejak Rasulullah agar bisa mi’raj, sebab sekali lagi, hanya melalui Rasullullah sajalah, yakni prinsip “barzakh,” manusia bisa bertemu dengan Tuhannya. Rasul pernah mengatakan bahwa mi’raj-nya umat Muslim adalah shalat. Tanpa shalat, tidak ada mi’raj. Karenanya, shalat adalah wajib. Shalat pula yang membedakan Muhammad (dan umatnya) dengan kaum kafir. Shalat adalah langkah pertama dan terakhir dalam perjalanan menuju Tuhan, sebagaimana Nabi Muhammad adalah Nabi paling awal dan paling akhir dari mata rantai kenabian. Rasulullah saw pernah mengatakan bahwa shalat akan mengangkat hijab, membuka pintu kasyaf, sehingga hamba-Nya berdiri di hadapan-Nya. Rasulullah juga berkata, “Di dalam shalatlah terletak kesenanganku.” Sebab, shalat adalah bentuk percakapan rahasia antara Allah dengan hamba. “Percakapan” ini terutama melalui bacaan Induk Kitab Suci, Surah Al-Fatihah. Surah ini terdiri dari dua bagian: yang pertama dikhususkan bagi Allah dan yang kedua dikhususkan bagi hamba-Nya. Dua bagian percakapan ini disebutkan dalam hadis yang masyhur di kalangan Sufi: Tri Wibowo BS/ Mbah Kanyut Bersambung ke ... #10
... penjelasannya adalah sebagai berikut: Ketika Dzat telah mengetahui potensi Diri-Nya (ta’ayun awwal), maka potensi ini kemudian menjadi “yang diketahui”. Ia menjadi objek ilmu atau pengetahuan Tuhan, yang dalam sistem pemikiran Ibnu ‘Arabi disebut al-a’yan al-tsabitah (entitas-entitas permanen), yang tak pernah meninggalkan kepermanennya, sebab al-a’yan itu ada secara kekal dalam pengetahuan Tuhan, dan al-a’yan di sini belum mendapatkan wujud eksternal (kongkret), masih berupa potensi yang kekal dalam pengetahuan-Nya. Tajalli Nya adalah pemberian Nya yang telah ditetapkan sejak Azali, persis seperti yang ada dalam a’yan tsabitah, Pengetahuan Abadi dalam Hakikat Tuhan. Jadi hakikat yang sebenarnya dari setiap segala sesuatu yang berasal dari tajaliyyat Nya adalah selalu ada, yakni dari dalam kedalaman batin Wujud Nya (Potensi Abadi Nya), yang merupakan Ilmu Nya (pengetahuan Nya) yang tetap dan abadi (a’yan tsabitah). Dari sudut pandang ini, dunia pada hakekatnya merupakan perwujudan (manifestasi) Tuhan, namun Diri Nya, yakni dalam Dzat Nya, Dia terlepas dari setiap perwujudan (dunia) itu sendiri. A’yan tsabitah pada dasarnya hanyalah potensi abadi yang—karena sifatnya itu—ia bisa menjadi aktual atau bisa juga tidak. Karenanya, ‘Kemungkinan’ (Potensialitas) itulah yang sesungguhnya nyata. Dan karena itulah, a’yan tsabita tetap tidak berubah dan “tidak ada” secara aktual dalam ilmu Tuhan. Meskipun disifati dengan kepermanenan, a’yan tidak disifati dengan wujud, yakni ia tetap dalam keadaan yang disifati dengan ketiadaan yang dimiliki oleh yang mungkin, bukan oleh yang tidak mungkin—seperti dikatakan Ibnu ‘Arabi, “A’yan tidak pernah membaui wewangian eksistensi (wujud).” Jadi, a’yan tsabita, dalam ketiadaannya siap menerima wujud. Dalam Futuhat Al-Makiyyah mengenai hal ini dikatakan; Ilmu Al Haqq tentang Diri Nya sama dengan ilmu Nya tentang alam karena alam selamanya disaksikan Nya, meskipun alam disifati dengan ketiadaan. Sedangkan alam tidak disaksikan oleh dirinya (sendiri) karena ia tidak ada. Ini adalah lautan tempat binasanya para pemikir teoritis, yaitu orang orang yang tidak diberi kasyaf. Diri Nya selama lamanya ada, maka ilmu Nya selama lamanya ada pula. Ilmu Nya tentang Diri Nya adalah ilmu Nya tentang alam; karena itu ilmu Nya tentang alam selama lamanya ada. Jadi Dia mengetahui alam dalam ketiadaannya. Dia mewujudkan alam menurut bentuk Nya dalam ilmu Nya. Karena itu, alam tidak pernah ada ‘diluar’ Tuhan yakni; tidak ada dalam wujud kecuali Allah dan sifat sifat dari a’yan, dan tidak ada sesuatu pun dalam adam (ketiadaan) kecuali entitas entitas mumkinat (kemungkinan) yang dipersiapkan untuk diberi wujud. Bila manifestasi eksternal, atau aktualisasi dari a’yan tsabithah terjadi, mereka menjadi realitas dari a’yan itu dan mendapatkan nama “segala hal yang diciptakan”. Maka keragaman dalam a’yan mendapatkan bentuk keragaman aktual, atau dengan kata lain Dzat memperlihatkan Diri-Nya dalam “pakaian” tajalli yang banyak dan tamsilan (ayat-ayat). Tetapi di sini tidak boleh dianggap bahwa Dzat yang Esa lalu memecah menjadi banyak; keragaman di sini adalah keragaman yang diandaikan. Jika sesuatu benda mengambil beberapa aspek, dia tidak menjadi banyak dari perspektifnya sendiri—air laut tidak menjadi lebih banyak lantaran ada ombak dan gelombangnya. Atau, dengan kata lain, karena a’yan dari segi keberadaannya adalah menyatu dengan Dzat (dalam Kesadaran-Nya) dan ghair (terpisah) dari-Nya dari segi keterbatasannya (kemunculannya atau aktualisasinya), maka pada hakikatnya tidak ada wadah dan isi yang diwadahi, tetapi yang ada hanyalah satu realitas saja, yakni “wadah sekaligus isi”. Kemajemukan realitas hanyalah pengandaian. Masalah ini, menurut Syekh Al-Akbar, adalah masalah berbahaya, yang hanya bisa diketahui oleh mereka yang ahli kasyaf. Dilihat dari perspektif ini, kalimat Laa ilaha illa Allah yang biasa diterjemahkan “Tiada tuhan selain Allah” mengandung dua pengertian yang tampak bertentangan satu sama lain. Rumusan syahadat ini secara keseluruhan menerima satu gagasan tentang ketuhanan dan sekaligus menolak gagasan bahwa Tuhan merupakan sebuah genus atau definisi. Dalam rumusan kalimat tauhid ini diperlihatkan bahwa Dzat-Nya tak bisa dimasukkan dalam kategori apa pun (martabat ahadiyyah). Menurut kesaksian ini, Allah berbeda dengan segala sesuatu dan tak ada sesuatu pun yang dapat dibandingkan. Sebab, untuk membandingkan sesuatu, harus ada kesamaan umum dalam sifat dan kondisi yang setara, sedangkan Allah transenden mutlak (tak terbandingkan) dari kedua segi itu. Segala sesuatu selain Tuhan adalah fana, musnah. Karena tidak ada sesuatu yang dapat dibandingkan dengan Dzat Allah (sebab jika dapat dibandingkan maka sesuatu itu akan menjadi tuhan (ilah) yang lain) maka setiap realitas sesungguhnya hanyalah refleksi atau pantulan dari Allah, yakni dari Asma dan Sifat-Nya, seperti telah dijelaskan di atas. Karena hanya refleksi, segala sesuatu tak punya wujud sendiri, tetapi mendapat wujud dari Wujud Tuhan, bukan dalam arti tambahan pada Wujud-Nya. Maka kalimat laa ilaha illa Allah bisa diartikan secara lebih tepat sebagai “Tiada wujud (realitas) selain Wujud (Realitas) Allah,” atau laa maujuda illa Allah. Ketika seseorang mengenali realitas hakiki dari wujud dirinya, maka ia segera terserap ke dalam Wujud Tuhan. Inilah tauhid tertinggi. Jadi bagi orang awam, tauhid adalah pengakuan keesaan Tuhan, sedang bagi Sufi, tauhid menjadi kunci untuk membuka pintu menuju Realitas esensial, yakni Kesatuan Wujud yang mendasari bayang-bayang wujud-Nya—Alam tara ilaa Rabbika kaifa maddazhilla (Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu memanjangkan bayang-bayang-Nya?) (QS. 25:45). Ini kadang diistilahkan sebagai wahdat al-wujud. Sesuatu selain Tuhan tidak punya wujud sendiri, tetapi hanya wujud pinjaman atau “bayangan” dari Allah. Jadi, ringkasnya, karena tidak ada sesuatu atau eksistensi yang mendahului-Nya dan tidak ada eksistensi yang mengakhiri-Nya, sebab Eksistensi-Nya adalah Mahaawal lagi Mahaakhir, ini sama artinya tidak ada eksistensi yang berada “di luar” atau “selain” (ghayr) dari Diri-Nya sendiri. Sebab, eksistensi “yang lain” hanya mungkin ada jika Eksistensi atau Dzat Allah bisa dibatasi—dan mustahil kalau Dzat-Nya adalah terbatas. Inilah Wujud Mutlak, Wujud dari Dzat Yang Maha Tak Terbatas. Maka, laa ilaha illa Allah berarti menafikkan semua eksistensi selain Allah—ini adalah makna terdalam Tauhid. Sebab, jika ada eksistensi “selain” Eksistensi-Nya, maka akan ada dua eksistensi, yang sama artinya menyangkal Keesaan Allah. Maka laa ilaha illa Allah adalah laa maujuda illa Allah—tidak ada wujud selain wujud Allah. Wa Allahu a’lam bi ash-shawab. Tri Wibowo BS /Mbah Kanyut Ikhwan TQN
BAB 2 TENTANG ALLAH Katakanlah sesungguhnya Allah itu Ahad (QS. 112:1) Yang mengenal Allah hanyalah Allah (Junayd Al-Baghdad) Allah adalah nama dari sebuah entitas, sebuah Esensi atau Dzat. Tetapi, jika hanya Allah yang mengenal Allah, karena tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya (QS. 112: 4), mengapa manusia diperintahkan untuk beribadah dan mengenal-Nya? Secara umum, kita tahu bahwa tindak “mengetahui” atau “mengenal” mensyaratkan adanya “sesuatu” yang dikenal. Tetapi jika Allah adalah Dzat yang tidak ada “sesuatu” pun yang menyerupai-Nya, maka adalah mustahil kita mengenal-Nya. Atau, dengan kata lain, jika Allah adalah “sesuatu” yang tidak diserupai oleh “sesuatu” yang lain, laysa kamitslihi syai’un (QS. 42:11), maka semua cara untuk mengenal Allah telah tertutup karena kita tidak bisa mengasosiasikannya dengan sesuatu yang lain. Segala “sesuatu” yang kita kenal hanya ada dalam dunia fenomena, maka apabila Dia adalah “sesuatu” yang Esa dan Unik dan Tak Terbandingkan (Ahad), tanpa bisa diserupakan dengan sesuatu pun yang kita ketahui, atau tidak bisa diasosiasikan dengan konsep apa pun, bahkan yang paling abstrak sekali pun yang pernah ada dalam seluruh pikiran manusia, niscaya upaya apa saja untuk mengetahui-Nya adalah tidak mungkin dan menjadi tidak bermakna dalam batas-batas kerangka pengetahuan kita, seluas apa pun pengetahuan itu. Lebih jauh, ketika kita mengenal “sesuatu,” maka secara implisit kita telah “menguasai” dan “membatasi” sesuatu dalam kekuasaan kita. Sementara dalam ajaran Islam, Allah adalah Maha Segalanya, yang juga berarti mengatasi segala batasan, dan karenanya mustahil Allah bisa kita pahami dalam batas-batas pengetahuan kita. Ini sama dengan mengatakan bahwa manusia, yang keberadaannya tidak mendahului keberadaan Allah—sebab Dia adalah Mahaawal—tak mungkin memiliki gagasan apa pun tentang Dzat Allah. Maka, gagasan atau pengetahuan seseorang tentang-Nya “berada” dalam ketidaktahuan tentang Allah. Atau, bisa dikatakan, pengetahuan tentang Allah berada dalam pemusnahan pengetahuan tentang Allah. Jika pengetahuan tentang “sesuatu” berada dalam “pemusnahan” pengetahuan itu, maka “penemuan” pengetahuan tersebut menjadi bukan penemuan; karena itu para Sufi mengatakan bahwa pengetahuan (manusia) tentang Allah adalah ketidaktahuan dan keheranan. Nabi bersabda, “Kami mengetahui Engkau hanya sebatas pada apa yang diperintahkan oleh pengetahuan-Mu (tentang Dirimu).” Inilah martabat Ahadiyyah, Keesaan Mutlak. Ini adalah tahap di mana semua hal terserap ke dalam Keesaan Mutlak yang tak kenal kegandaan atau kejamakan. Maka, pada martabat ini, Sifat dan Dzat adalah satu, dan karenanya tidak ada petunjuk apa pun untuk mengenal-Nya; kita tak bisa menggunakan adjektif “ini” atau “itu” kepada-Nya. Subhanahu wa ta’ala amma yashifun (QS. 6: 100), yakni Dia tanpa sifat terbatas yang kita kenakan kepada-Nya. Sesuatu dikenal karena ada sifat-sifat yang menjelaskan eksistensi (keberadaan) sesuatu, tetapi jika sifat terserap dan lenyap dalam eksistensi, maka kita tak bisa mengenal sesuatu itu. Jika kita memaksakan diri untuk menyelidiki keadaan semacam ini terus-menerus, kita bisa menjadi gila. Berusaha memikirkan Dzat-Nya dilarang keras, seperti sabda Nabi saw: “Janganlah memikirkan Dzat-Nya” (laa tafakkaru fi Dzatihi) Jadi Allahu Ahad—Allah adalah Prinsip Asasi dari segala sesuatu. Menjelaskannya dengan istilah Ahad adalah cara terbaik untuk menunjukkan-Nya, tetapi cara ini tidak mendeskripsikan-Nya, karena Dzat pada tahap ini tak bisa dinamai dan disifati dengan sesuatu apa pun. Ahadiyyah (ketunggalan) ini berada di luar nama-nama (asma) dan kualifikasi dan deskripsi. Tidak ada asosiasi dengan sesuatu pun selain Dzat-Nya. Jadinya, syirik adalah dosa terbesar karena mengasosiasikan atau menyerupakan Allah dengan sesuatu yang lain, yang hakikatnya tiada, sama artinya dengan menolak eksistensi-Nya yang Maha Tak Terbandingkan sekaligus Maha Meliputi. Maka Dia adalah Hu, yang secara esensial berarti “Dia” yang “absen” (tak hadir, gaib), bukan “aku,” “kami” atau “engkau” yang hadir. Karenanya Qul Hu adalah bermakna katakanlah bahwa “Dia” adalah “sesuatu” yang tak bisa dideskripsikan, tak dikenal identitas Realitas Eksistensi-Nya, kecuali melalui Sifat atau Asma-Nya. Karenanya, tahap ini dikenal juga sebagai tahap huwiyyah (ke-dia-an). Inilah aspek tanzih mutlak, tahap di mana Allah suci dari segala sesuatu yang lain, karena Dialah, Hu, satu-satunya Wujud sejati yang Ahad. Sekali lagi, hanya Allah yang mengenal (realitas sejati dari dzat) Allah. Allah, karenanya, adalah Nama yang menunjukkan Wajah Ketuhanan sebagai “tanda” bagi ciptaan-Nya agar Dia dikenal sekaligus menunjukkan Wajah Dzat (Esensi) yang tak bisa, dan tak akan pernah bisa, diketahui. Poin ini dijelaskan Syekh Al-Akbar Ibnu ‘Arabi seperti berikut: Allah mengaitkan alam dengan-Nya dan memberitahukan tentang Diri-Nya bahwa dia memiliki dua hubungan: hubungan dengan alam melalui Nama-nama Tuhan yang mengafirmasikan entitas alam, dan hubungan kebebasan-Nya dari, atau ketidakbutuhan-Nya pada, alam ciptaan. Dia mengetahui Diri-Nya, dan kita tidak mengetahui-Nya. Jadi Dzat Mutlak hanya bisa dikenal melalui Asma Allah, yang merupakan al-ism al-jami’—Nama Yang Serba Meliputi—yang mengandung semua Asma Allah lainnya. Allah adalah Nama Dzat, Nama yang mengumpulkan dan sekaligus “melahirkan” semua Nama Sifat dan Perbuatan (al-asma al-husna) yang mendeskripsikan-Nya. Nama “Allah” adalah tempat bergantung—Allahu as-shamad—dan bukan untuk dipahami apalagi ditiru. Nama-nama dari seluruh sifat menyatakan hal-ihwal realitas intrinsik Allah. Allah mengetahui Diri-Nya sendiri dan mencintai Diri-Nya sendiri. Tetapi pengetahuan Diri ini tetaplah “misteri dalam misteri”—yakni kanz makhfi, seperti dalam hadis: “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi (kanz makhfi), aku rindu untuk dikenal, dan karenanya Kuciptakan Dunia.” Selama dalam martabat ahadiyyah, Dzat tetaplah Perbendaharaan Tersembunyi selama-lamanya, tak diketahui siapa pun - Dia adalah Gaib mutlak. Tetapi ketika Dia menyadari Diri-Nya sendiri, Dia mengenal potensi-potensi-Nya dan sifat-sifat-Nya sendiri, yang hanya ada dalam “kesadaran” Tuhan. Jadi potensi-potensi itu pertama-tama dikenal di dalam Diri-Nya sendiri. Ini kadang dinamakan martabat wahdah atau lahut. Dengan bertajalli pada Diri sendiri, atau ketika Dzat melihat dan mawas kepada Diri-Nya sendiri, maka muncul satu titik dalam Kesadaran Tertinggi-Nya—Innani anallahu laa ilaaha illa anna (QS. 25:14), “Sesungguhnya Aku adalah Allah, dan tiada Tuhan selain Aku.” Jadi Allah mengenal Ke-Aku-an-Nya melalui Aku. Karena Aku adalah Allah, maka sesungguhnya Aku yang sejati hanyalah Allah dan tiada sesuatu pun yang mengatakan Aku kecuali Allah. Dengan begitu Dia adalah Tuhan Yang Satu (wa ilahukum ilahu wahid). Wahid, yang berarti satu, adalah prinsip asal dari bilangan selanjutnya, dua, tiga, dan seterusnya. Dari martabat asma inilah kegandaan muncul, yakni tajalli-Nya yang tidak terbatas. Realitas yang sadar itu lalu menyatakan Diri-Nya sebagai Nur, seperti dalam hadis: Nabi bersabda, “Wahai Jabir, sesungguhnya Allah sebelum menciptakan segala sesuatu Dia menciptakan Nur nabimu yang berasal dari Nur-Nya (Allah).” Karenanya, martabat wahidiyyah ini kadang dinamakan Haqiqat Muhammadiyyah atau Nur Muhammad (yang akan kami jelaskan lebih lanjut di bab selanjutnya). Bila sifat dan nama ilahi dipandang dari segi Ketuhanan, maka ia dinamakan asma ilahiyyah (Asma Ketuhanan), dan jika dipandang dari aspek kemakhlukan (alam) ia dinamakan asma kiyaniyah (asma ke-alam-an). Setiap kali asma ilahi muncul, ia senantiasa berpasangan dengan asma kiyani yang merupakan wadah tajalliyat-Nya. Dengan demikian, setiap yang ada di dalam alam tak lain adalah tajalli dari asma ilahi yang jumlah sesungguhnya adalah tak terbatas. Jadi setiap nama adalah bentuk khusus dari tajalli ilahi. Nama-nama di sini adalah “sebab-sebab” untuk mewujudkan alam, atau “perantara” antara Tuhan dengan alam, sebab dari sudut pandang Dzat itu sendiri, Allah tak memiliki hubungan dengan alam (ciptaan) kecuali melalui Nama-nama-Nya. Karena posisinya seperti itu, Syekh Al-Akbar menyebut Nama-nama Tuhan sebagai “barzakh”: Nama-nama ilahi adalah barzakh antara kita dan Objek Yang Dinamai (Allah). Nama-nama itu memiliki penglihatan kepada-Nya karena mereka adalah nama-nama-Nya, dan nama-nama itu mempunyai penglihatan kepada kita karena mereka memberi kepada kita akibat-akibat yang berasal dari Objek Yang Dinamai. Maka nama-nama itu membuat Objek Yang Dinamai menjadi diketahui dan membuat kita diketahui. Dari pengertian ini bisa dilihat bahwa Allah memiliki dua hukum, yang satu khusus bagi Diri-Nya sendiri jika ditinjau dari Dzat-Nya sendiri—yakni lepasnya kaitan Dzat dengan ciptaan-Nya (aspek tanzih); dan hukum yang menampilkan Diri-Nya sebagai Tuhan (rabb) yang mengharuskan adanya kaitan antara Diri-Nya dengan ciptaan-Nya (aspek tasybih). Dalam tradisi Ibnu ‘Arabi, tauhid yang sejati tercapai jika kedua aspek ini, tanzih dan tasybih, disatukan, seperti syairnya sebagai berikut: Jika engkau bicara soal ketakterbandingan (tanzih), engkau telah membatasi; Dan jika engkau bicara soal keserupaan (tasybih), engkau juga telah membatasi; Jika engkau bicara keduanya, engkau tepat mengenai sasaran Engkau menjadi pemimpin dan Syekh Dalam ilmu-ilmu makrifat. Allah memiliki banyak Nama—yang diketahui ada 99, atau 1001, dan yang tak diketahui jauh lebih banyak lagi. Selain Nama-nama itu, ada Ism Al-Adham, Nama Teragung, yang hanya diketahui oleh Allah dan orang-orang dipilih untuk diberi tahu oleh-Nya. Secara umum Asma Allah bisa dikategorikan menjadi tiga bagian: ism Al-Dzat, ism As-Shifat, dan ism Al-Af’al. Nama Ar-Rahman dan Ar-Rahim, misalnya, bukan nama Dzat, tetapi nama sifat; Al-Bashir (Maha Melihat) adalah nama perbuatan. Nama-nama, sebagai bentuk khusus dari tajalli-Nya yang banyak dan tak berkesudahan, membutuhkan lokus agar potensinya dapat terwujud, atau agar perbendaharaan tersembunyi-Nya dapat dikenal. Lokus ini bukan dalam Diri Dzat-Nya sendiri (karena Dia adalah Ahad, seperti dijelaskan di atas), tetapi dalam sesuatu yang disebut alam (kosmos). Nama Al-Khaliq, misalnya, hanya bisa direalisasikan potensinya jika ada sesuatu yang diciptakan, atau makhluk. Maka, Allah sebagai Khalik “membutuhkan” makhluk, sebagaimana makhluk juga membutuhkan Sang Khalik. Al-Alim membutuhkan objek yang diketahui, ma’lum; kandungan sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim membutuhkan lokus untuk realisasi; dari perspektif ini manusia adalah lokus atau objek dari Asma ini. Maka, kosmos amat penting sebagai lokus Asma Al-Husna. Allah berfirman, Rabbanaa maa khalaqta hadza bathilan—”Ya Tuhan kami tidaklah Engkau menciptakan semua dengan sia-sia” (QS. 3: 19). Jadi bisa dikatakan Tuhan dan kosmos (alam) merupakan satu realitas dengan dua wajah yang berbeda: yang Esa dan yang banyak. Realitas yang esa tampak dalam bentuk-bentuk dan lokus-lokus penampakan yang beraneka ragam yang sebanyak Asma-Nya. Ini dikenal dengan istilah keesaan dalam keragaman dan keragaman dalam keesaan. Penjelasannya kurang lebih adalah sebagai berikut: Bersambung .. ke#8 Tri Wibowo BS / Mbah Kanyut
Bab 1 Syari’at, Tarekat, Hakikat-Ma’rifat Barangsiapa mengambil syari’at belaka tanpa hakikat, maka ia fasik; dan barangsiapa mengambil hakikat belaka tanpa syari’at, maka ia kafir zindik. -- Imam al-Ghazali Alkisah, ketika jasad manusia pertama diciptakan oleh Tuhan dengan kedua tangan-Nya, ia bukan apa-apa. Setan yang telah lebih dulu eksis memeriksa isi jasad makhluk baru yang kelak dinamakan Adam. “Kosong,” kata Setan, “hanya tanah liat dengan rongga-rongga, gumpalan-gumpalan, cairan kental dan tulang-tulang kokoh.” Tetapi lalu Tuhan meniupkan Ruh-Nya ke jasad itu—dan hiduplah ia. Lantas diajarilah Adam “nama-nama segala hal” (Q.S. 2:31), dan sujudlah segala malaikat kepadanya atas perintah Tuhan, kecuali, tentu saja, Iblis. Manusia pertama-tama mengenal dirinya sendiri melalui narasi, kisah, dongeng. Melalui “nama-nama segala hal”, Adam mengenal dirinya, mengenal dunianya. Kita bisa berimajinasi banyak hal tentang apakah yang diajarkan oleh Tuhan dalam “nama-nama segala hal” itu. Tetapi ada satu pesan yang sangat jelas: melalui “nama-nama segala hal” itulah Adam (manusia) ditempatkan lebih mulia ketimbang makhluk yang tak mengenal “nama-nama segala hal” meski makhluk itu sesuci malaikat sekalipun! Karena itulah manusia diangkat menjadi khalifah Allah di muka bumi — meskipun pada mulanya ada keberatan dari para malaikat. Nama-nama segala hal adalah kebenaran paripurna yang dipahami oleh Adam. Ia berada di aras surgawi, ada dalam keabadian, atau, meminjam istilah penyair dan mistikus besar Ibnu ‘Arabi, nama-nama segala hal berada dalam a’yan tsabitah (entitas-entitas abadi dan lengkap dalam pengetahuan Tuhan, yang bisa menjadi aktual tetapi juga bisa tidak). Saat Tuhan menghendaki, maka ia akan maujud. Maka dari itu, entitas-entitas itu pada hakikatnya adalah “kemungkinan mutlak”—kemungkinan yang senantiasa hadir dalam kemutlakan Tuhan. Manusia, yang mewarisi “nama-nama segala hal”, adalah salah satu manifestasi dari kemungkinan tersebut. Ini berarti bahwa diri manusia beserta hakikatnya sendiri senantiasa hadir bersama Tuhan, dan Tuhan senantiasa hadir dalam diri manusia, sebab ciptaan seisinya adalah perwujudan dari “kemungkinan mutlak” dalam Diri Tuhan. Implikasinya adalah: manusia menjadi “ahli waris” sifat-sifat Tuhan—karena Tuhan Maha Mencipta, maka manusia juga mewarisi bakat untuk “mencipta”; karena Tuhan adalah Maha Pengasih, maka manusia juga “memiliki” sifat semacam ini, dan seterusnya—namun tentunya dalam kadar yang jauh lebih kecil dan kurang sempurna. Beberapa mistikus Islam mengatakan bahwa nama-nama segala hal adalah Firman Tuhan; Firman atau “Kata” ilahi yang tak terpisah dari objek yang dinamai. Segala pengetahuan berawal dari Firman—seperti dikatakan dalam Perjanjian Baru: “Pada awalnya adalah Firman.” Dalam Al-Quran dinyatakan, Tuhan berfirman “Kun! Fayakun (Jadilah! Maka terjadilah).” “Kun” oleh para mistikus Islam menjadi petunjuk penting untuk memahami penciptaan. Kata Kun ditafsirkan bermacam-macam. Kerap dinyatakan bahwa dalam pra-eksistensi (sebelum ciptaan terwujud—Peny.), nama dengan yang dinamai bukanlah dua unsur yang terpisah—sebuah Firman, Kalam, yang “diucapkan” Tuhan adalah keseluruhan eksistensial dari yang diacu oleh Kata tersebut. Ketika Tuhan “berkata” petir maka kata itu adalah wujud petir itu sendiri, dengan cahaya, ledakan, dan panasnya. Tetapi setelah manusia diturunkan ke bumi, maka kata dipisahkan oleh Tuhan dari objek yang dikatakan. Persoalannya sekarang adalah ketika “nama-nama segala hal” yang ada dalam aras (tingkat) kekekalan itu diturunkan ke aras duniawi, ke aras manusia biasa yang tak kekal (sebab manusia pasti mati di bumi), “nama-nama segala hal” harus dikomunikasikan dengan cara yang sesuai dengan realitas bumi tempat manusia berpijak. Dengan kata lain “nama” dengan “yang dinamai” terpaksa “dipisahkan”, sebab dunia bukanlah sesuatu yang abadi, dan yang abadi tak bisa ditampung oleh yang fana. “Kata-kata,” yang membentuk “kalimat” yang bermakna, lantas menjadi semacam label untuk objek yang diacu oleh kata itu. Maka ketika kita kini menyebut angin, kata angin ini bukan hakikat angin itu sendiri, tetapi menjadi semacam abstraksi dalam pikiran, dalam bayangan mental. Kata menjadi sebentuk “syari’at” yang memberikan informasi dari “hakikat” yang diacu kata-kata. Beberapa mistikus yang mendalami hakikat kata-kata—dengan metodenya sendiri—berhasil “menyatukan kembali” kata (nama) dengan objek yang dikatakan, menyatukan kembali “nama” dengan “yang dinamai”. Mereka yang berhasil mencapai taraf itu dianggap mampu menciptakan sesuatu hanya dengan kata. Kisah legenda Sunan Kalijaga yang mengubah tanah menjadi emas hanya dengan mengucap adalah perlambang dari pandangan ini. Atau, bisa dinyatakan bahwa “kata” dapat menimbulkan efek transformatif. Dengan kata lain, kata “yang dihidupkan” menjadi sebentuk “jalan,” thariqah, yang menghantarkan kita pada hakikat, haqiqah, dari apa-apa yang dirujuk oleh kata itu. Oleh karena itu, kata menjadi semacam kunci penting untuk membuka harta karun pengetahuan “nama-nama segala hal” yang tersimpan utuh di dalam aras keabadian. Barangkali inilah alasan Tuhan menganugerahi manusia kemampuan untuk berkomunikasi, bercakap-cakap, menulis, dan menyatakan pendapat melalui kata-kata. “Membaca” dalam pengertian yang paling luas, adalah semacam anak tangga untuk menggapai “nama-nama segala hal.” Dan karena “nama-nama segala hal” pada hakikatnya adalah pengetahuan azali yang bersifat “mungkin secara mutlak”, maka manusia yang mendapatkan sedikit saja dari kemungkinan itu bakal mendapatkan pengetahuan yang mengandung kekuatan transformatif yang besar. Manusia bisa mengoperasionalisasikan potensi kreatifnya melalui pengetahuan. Dengan demikian, ringkasnya, secara teori, manusia yang terus membaca dan menulis pengetahuan, akan lebih besar peluangnya mendapatkan sepercik pengetahuan “nama-nama segala hal”, mendapatkan segala informasi yang diperlukan. Dan ketika level yang harus dilewati ini sudah dikuasai, setelah ia memahami “nama-nama segala hal”, maka pada titik tertentu ia akan mengalami transformasi, dan pada gilirannya ia akan melampaui “nama-nama segala hal”—yakni melampaui dunia kata-kata menuju ke dunia penyaksian. Ia akan melampau level transformasi menuju afirmasi—yakni pengetahuan tentang Tuhan yang hakiki. Inilah puncak pengetahuan, yakni pengetahuan dari segala pengetahuan, atau inti/esensi dari segala pengetahuan, atau dalam bahasa Sufi lebih dikenal sebagai haqiqah. Jadi, demikianlah urutan suluk (perjalanan ruhani) manusia dalam ajaran Islam: syari’ah (informasi), thariqah (transformasi) dan akhirnya haqiqah (afirmasi). Lalu Apakah haqiqah itu? Esensi atau inti hakikat (haqiqah) akan terwujud ketika manusia memandang dirinya bukan apa-apa, baik pada dirinya sendiri maupun dalam pengetahuannya, kesadarannya, dan segenap sifat-sifatnya. Hanya syariat suci dari para nabi dan rasul sajalah yang dapat selaras dengan realitas semacam ini. Segala hal yang dibawa oleh nabi dan rasul mengandung kebenaran-kebenaran tertentu yang dapat dijangkau akal, dan kebenaran-kebenaran lain yang tak mungkin dijangkau dengan akal. Walau begitu, semua kebenaran ini diakui oleh umat mukmin sebagai satu entitas tunggal, dan kesatuan merekalah yang meniadakan segenap pemikiran dan pendapat manusia (semata). Karena, kesatuan dari apa-apa yang dapat dimengerti dengan apa-apa yang tak terjangkau akal manusia akan melahirkan realitas ketiga yakni realitas yang tak dapat dimengerti (oleh akal pikiran), tetapi sekaligus juga tidak berada di luar pikiran, dan karenanya berada di luar kedua kategori ini; karena bukan termasuk kategori-kategori ini, maka manusia, dengan pengetahuan dan kesadarannya, bukanlah apa-apa di hadapan realitas ini. Manusia (di dalam realitas ketiga ini) lalu menjadi seperti orang buta yang ditunjuki jalan dan membiarkan dirinya dibimbing. Nah, begitulah hakikat itu. —Ibnu Abbad Al-Rondi Berdasarkan penjelasan yang menarik dari Ibnu Abbad itu, maka dapat dikatakan, seperti ditulis oleh Mason (1995), hakikat (haqiqat) adalah keadaan di mana seseorang lebur di hadapan Dzat yang tak dapat diketahui, Dzat yang tidak bisa dikenal, tak dapat dibayangkan, dan tak dapat diserupakan dengan sesuatu. Untuk menjaga kemurnian iman terhadap keberadaan Dzat yang nyata dan serba-meliputi (imanen), namun sekaligus tak terbandingkan (transendental), maka seseorang tidak boleh menyerupakan-Nya dengan sesuatu yang lain. Kehadiran Dzat ini berada di luar keberadaan dan jangkauan kemampuan pemahaman seluruh manusia, tetapi pada saat yang sama keberadaan-Nya sangat dekat dengan keberadaan manusia. Di dalam Al-Quran dinyatakan, “Dia lebih dekat ketimbang urat lehermu.” Dzat ini membeda-bedakan sekaligus menyatukan segala sesuatu dalam realitas-Nya yang tak dapat diketahui; dan karena itu Dia menjadi satu-satunya pusat dari segala sesuatu. Dalam analisis terakhir, pandangan yang ekstrem ini akan sampai pada konsep “kesatuan” antara Tuhan dan manusia—sebuah keyakinan yang sulit dipahami karena dalam pandangan ini, jika dipahami hanya dari perspektif tunggal, yakni perspektif lahiriah semata, maka akan berisiko memunculkan pemahaman yang bisa memorak-porandakan sistem ajaran Tauhid yang menyatakan adanya perbedaan antara Pencipta dan ciptaan-Nya. Dari sini muncul pertanyaan, apakah keyakinan “ekstrem” ini bisa dipahami? Atau apakah “pengetahuan hakikat” semacam ini bisa dipahami? Apakah kontroversi-kontroversi itu menunjukkan bahwa pengalaman semacam ini tak lebih dari semacam “hipotesis”? Atau sekadar ilusi? Menurut ajaran Sufi, hakikat adalah sebentuk pengetahuan pula yang bisa diraih manusia. Karena ia adalah “pengetahuan untuk manusia” maka tentu saja ia bisa dipahami. Tetapi pemahaman ini harus diletakkan pada level hirarkis yang berbeda. Karena haqiqah berada pada level pengetahuan tertinggi, maka seseorang tak bisa mencapainya dengan cara langsung melompat ke level itu. Tentu saja ada pengecualian, seperti dalam kasus wali jadzab (yang akan kami bahas lebih lanjut di bab tentang Wali Allah). Hirarki itu, seperti telah dijelaskan di atas, adalah syari’at, tarekat dan hakikat. Dalam ajaran Islam, hal itu berhubungan langsung dengan tiga unsur utama dalam agama Islam: Iman (percaya), Islam (pasrah), dan Ihsan (kebajikan dan penyaksian tertinggi). Dilihat dari perspektif ini, pertama-tama seseorang harus percaya dan pasrah pada perintah dan tata-aturan Ilahi yang diwartakan melalui Rasulullah Muhammad SAW. Itu berarti bahwa seseorang harus merealisasikan premis dasar dari penciptaan dirinya: wa maa khalaqtul jinna wal insana illa liya’budu (Aku tak ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menghambakan diri kepada-Ku: Q.S. adz-Dzariyat: 56). Dalam konteks ini syariat adalah petunjuk awal untuk merealisasikan penghambaan dan tarekat adalah proses realisasinya. Pada tingkat yang lebih tinggi, ayat itu juga ditafsirkan sebagai perintah untuk mengenal (ma’rifat) Allah: “Sesungguhnya Allah tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk ma’rifat kepada-Nya” (tafsir Ibn Abbas). Karena Allah adalah al-Haqq (Kebenaran), maka dibutuhkan keimanan dan tindakan yang benar untuk mencapai “Kebenaran Tertinggi” (Haqiqah). Dalam praktiknya, seseorang harus melaksanakan semua nilai kebenaran yang menyempurnakan, atau mengintensifkan dan memperdalam aspek iman dan Islam melalui amal saleh (praktik ibadah yang benar). Jadi, seseorang harus mengikatkan diri secara total kepada Kebenaran dan kepatuhan (taat) sepenuhnya pada Hukum Suci (syari’at). Hal ini berarti, di satu pihak, seseorang harus mengenal Kebenaran sepenuhnya (kaffah), dan di pihak lain mematuhi Hukum Suci dengan seluruh keberadaan kita. Jika demikian halnya, seseorang harus beribadah dengan keyakinan mendalam bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Benar secara Absolut al-Haqq), Maha Tak Terhingga (transenden) dan Maha Meliputi (imanen). Karena Dia adalah Maha Tak Terhingga dan Maha Meliputi, maka Dia niscaya “melihat” dengan “Penglihatan” yang tak terhingga dan “Penglihatan” yang meliputi segala sesuatu yang ada di seluruh semesta. Karena itulah Rasulullah SAW bersabda: “Beribadahlah engkau seolah-olah kamu melihat-Nya, dan jikalau engkau tak melihatnya maka [ketahuilah] bahwa sesungguhnya Dia melihatmu.” Ini juga adalah jawaban Rasulullah ketika beliau ditanya oleh Malaikat Jibril tentang makna dari Ihsan. Jadi, ihsan bertemu dengan haqiqah atau bahkan identik dengannya, sebab berdasarkan hadits itu dapat disimpulkan bahwa ihsan adalah kepercayaan yang benar dan amal yang benar, dan pada saat yang sama ihsan adalah inti dari keduanya: Inti dari kepercayaan (keyakinan) yang benar adalah kebenaran mistis (haqiqah), dan amal yang benar adalah praktik ibadah yang sesuai dengan petunjuk dari Tuhan, atau syari’at. Dalam analisis terakhir, karena yang dituju adalah al-Haqq (Yang Maha Benar), maka dalam perjalanan menuju kepada pengetahuan yang benar tentang Yang Maha Benar (haqiqah) seseorang harus memiliki informasi yang benar (Syari’ah atau Hukum Suci yang bersumber dari Yang Maha Benar), sebab tanpa petunjuk dan arah yang benar, seseorang bisa tersesat; dan kemudian seseorang harus menempuh rute jalan yang benar (thariqah) berdasarkan petunjuk yang benar itu. Jadi menurut Sufi, hanya melalui syari’at dan tarekat, seseorang baru akan mendapatkan hakikat kebenaran, yang buahnya adalah pengetahuan Tuhan sebagaimana seharusnya Dia dikenal (ma’rifah). Mendapatkan perpaduan hakikat kebenaran dan ma’rifat dalam terminologi Sufi juga disebut wushul (sampai). Jadi, jika kita sintesiskan, perjalanan sampai ke wushul (sampai ke hakikat-ma’rifat) mesti melampaui tiga tahap dengan dua lapisan. Guru kami, Syaikhuna Ahmad Shahibul Wafa’ Taj al-Arifin (Abah Anom) dari Suryalaya, Tasikmalaya, meringkaskan tahap ini sebagai berikut: Martabat wushul (sampai kepada Allah) adalah [melalui] tiga perjalanan: (1) Islam; (2) Iman; (3) Ihsan ... Seorang hamba Allah yang sibuk dalam ibadah [berarti] berada dalam maqam Islam atau Syari’at. Apabila amal itu kemudian [meningkat dengan didasari oleh] hati yang bersih dan sunyi daripada kejahatan, dipenuhi oleh kebajikan sempurna dan ikhlas, maka orang itu berada dalam maqam Iman atau Tarekat. Apabila orang itu [meningkat lagi] ke martabat ibadah yang sungguh-sungguh demi Allah semata (lillahi ta’ala), yakni [saat ia beribadah] seolah-olah Allah melihat dirinya, maka ia berada dalam maqam ihsan atau hakikat ... Berkata Tuan Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasallahu sirrhu, “tiada lain tujuan ahli Tasawuf (Sufi) adalah membersihkan batin dengan nur Tauhid dan menggapai ma’rifat.” Wa Allahu a’lam bi ash-shawab. Bersambung ... ke#7 Tri Wibowo BS / Mbah Kanyut Ikhwan TQN
Ini adalah bagian dari misteri “kecepatan” terwujudnya sesuatu, kun fa yakun. Dalam tradisi Sufi, seseorang yang telah mencapai maqam baqa dan disempurnakan oleh Allah, maka ia akan masuk ke maqam kun, di mana Allah akan menjadi pendengarannya, penglihatannya dan seterusnya, seperti dinyatakan dalam hadis tersebut di atas. Tetapi harus ditambahkan bahwa keadaan ini tidak bisa dicapai oleh seseorang yang dalam dirinya masih ada sesuatu selain Allah, yang masih mengikuti keinginannya sendiri, yang masih mengandalkan pada dirinya sendiri, dan yang masih memandang keragaman wujud bukan dalam kerangka Kesatuan Wujud. Orang yang masih memandang dirinya sendiri (dengan segala ilusi potensialitasnya) akan “ditinggalkan” oleh petunjuk, sebagaimana Musa ditinggalkan oleh Khidir. Seperti dapat dibaca dalam Surah Al-Kahfi, ketika Musa mempertanyakan tindakan pembunuhan anak dan pelobangan perahu, ia masih dimaafkan. Tetapi ketika Musa mempertanyakan kenapa Khidir tidak meminta upah atas tindakannya membangun dinding yang roboh, maka Khidir berkata “inilah saat perpisahan aku dengan kamu (Musa),” yakni saat perpisahan antara pengetahuan mistis dengan pengetahuan intelektual. Dua keberatan pertama adalah berkaitan dengan syariat, yakni dengan kebaikan dari sudut pandang moralitas dan tatanan keseimbangan; tetapi ketika Musa menyarankan “kamu bisa mengambil upah,” maka ini adalah kesalahan fatal dalam perjalanan mencari pengetahuan mistis, yakni meminta sesuatu untuk dirinya (nafs) sendiri yang menandakan seseorang masih menganggap kebaikan adalah dari dirinya sendiri dan karenanya berhak atas imbalan. Dengan kata lain, ketika seseorang masih menganggap dirinya “memiliki” upaya dan amal, yang berarti belum melampaui tahap fana dan memasuki tahap baqa, ia tidak akan mencapai pengetahuan hakikat. Dengan demikian, seperti diilustrasikan dalam kisah Syekh Ulwan dan kisah Musa dan Khidir di atas, sebelum seseorang mendapatkan karunia pengetahuan ilahiah atas ayat-ayat Al-Quran dan pengetahuan hakikat, orang itu harus lebih dulu mempersiapkan diri. Pengetahuan ini amat tergantung kepada kesiapan batin atau hati seseorang dalam menerima pengetahuan itu. Cara mempersiapkan diri untuk menerima karunia ilahi inilah yang tidak dilakukan atau dipertimbangkan oleh ulama-ulama lahiriah atau ulama non-Sufi Untuk mempersiapkan diri, Sufi melakukan apa yang dinamakan tazkiyatun nafs, atau membersihkan diri dari dosa. Ini adalah proses yang tak main-main, dan harus dilakukan seumur hidup. Metode utamanya, selain segala ritual wajib dan sunnah, adalah zikir. Zikir dalam pengertian luas adalah seluruh ibadah, sebab segala bentuk ibadah adalah lillahi ta’ala, yang juga berarti harus mengingat Allah dalam segala tindak ibadah. Dalam pengertian khusus, zikir adalah mengulang-ulang asma Allah tertentu, dengan metode dan hitungan tertentu, seperti terlihat jelas dalam tarekat Sufi. Selain Asma Allah, Sufi juga kadang mengulang bacaan ayat atau Surah tertentu dalam jumlah tertentu untuk mendapatkan limpahan rahmat pengetahuan yang khusus dan mengaktualisasikan kebenaran yang ada di dalam setiap ayat. Maka, dalam formula doa dan wirid tarekat tertentu, yang dibaca berulang-ulang setiap hari dalam waktu-waktu tertentu, pasti dijumpai sebagian surah atau seluruh surah Al-Quran yang dibaca dengan bilangan tertentu, seperti yang bisa kita lihat, misalnya, Hizib Al-Bahr yang amat terkenal karya Syekh Abu Hasan Al-Syadizili. Doa, formula zikir dan penggalan ayat Al-Quran dibaca dengan cara tertentu dengan tujuan utama “mengingat” dan “membangkitkan” potensi-potensi yang dikandungnya yang pada gilirannya cahaya potensi yang sudah terbangkitkan itu akan masuk ke dalam hati dan “membersihkan” hati dari noda dosa sehingga hati jadi bening dan memantulkan kebenaran yang paripurna yang berasal dari ayat-ayat, zikir dan doa-doa itu. Mengapa Sufi begitu gemar menekankan zikir dan menggunakan metode perulangan bacaan yang kadang jumlahnya bisa mencapai ribuan atau bahkan puluhan ribu? Untuk memahaminya kita harus ingat kembali bahwa segala sesuatu diciptakan dengan Al-Amr, perintah, Tuhan. Dalam tradisi Sufi, ciptaan “dikehendaki” Tuhan sebagai lokus tajalli dari asma-asma-Nya. Maka, asma-asma ilahi (al-asma al-husna) “terselip” di setiap wujud yang ada di alam—seperti dikatakan oleh sahabat saya, Habib Al-Padarincang, Serang, seorang putra dari wali Allah, di setiap daun, dahan, akar, batu dan sebagainya terselip satu asma Allah, yang hanya bisa diketahui melalui ilm-ladunni. Namun, karena tidak semua manusia mengetahuinya, maka Allah berkenan mewujudkan sebagian dari tajalli-Nya dalam asma suci, al-asma al-husna. Nama-nama Yang Indah ini bukan sekadar representasi, tetapi menyatakan Kehadiran Allah itu sendiri. Manusia tak bisa mengakses dan memahami esensi (dzat) Allah, sebab mustahil dan karenanya dilarang, sehingga satu-satunya cara adalah mengonsentrasikan diri pada simbol-simbol kehadiran-Nya. Dalam zikir, seluruh konsentrasi diarahkan pada satu Nama, atau beberapa Nama, atau kalimat suci, sampai pada titik di mana seluruh pikiran, proyeksi mental, orientasi dan kesadaran terserap ke dalam Nama itu. Karena seluruh fokus diarahkan pada Asma, yang tak lain adalah tajalli-Nya, dan begitu seluruh aspek keberadaan manusia tenggelam dalam Asma, maka hakikat dari Nama-nama itu akan mewujudkan diri sesuai dengan sifat dan potensi yang dikandung Nama itu. Seperti dikatakan Syekh Al-Akbar Ibnu ‘Arabi, Asma Allah adalah “sebagian” dari wajah-Nya; maka jika seseorang menzikirkan Al-Razaq, ia sama artinya dengan memanggil dan mengaktualisasikan potensi Asma itu, yakni rezeki. Asma khusus yang suci itu tidak membawa sesuatu di luar dari Diri-Nya. Apabila seseorang menenggelamkan diri dalam beragam bentuk ibadah dan seluruh amal ibadahnya benar-benar dikonsentrasikan kepada Allah, yakni, meminjam bahasa Al-Quran, “takwa yang sebenar-benar takwa” (QS. 3: 102) hingga mencapai kondisi dawam atau istiqamah, maka karunia dari segala Asma-Nya akan turun memenuhi semua kebutuhannya yang terabaikan karena kesibukannya mengingat-Nya. Ketika Maryam menyendiri dalam kamar dan hanya beribadah semata, ia tak bisa bekerja, dan karenanya tak bisa memenuhi kebutuhannya—ia telah menempati maqam tajrid; maka, Allah berkenan mencukupi kebutuhan yang terabaikan itu dengan mengirimkan hidangan dari langit, tanpa batasan hukum sebab-akibat—dengan kata lain Maryam, dan para Sufi yang telah sampai pada takwa yang sebenar-benarnya, telah mewujudkan dan mengaktualkan potensi dari firman Allah Surah At-Thalaq ayat 3: Barang siapa bertawakal kepada Allah, maka Allah pasti mencukupinya. Penulis pernah bertemu dengan seorang Wali Allah yang berada dalam maqam seperti ini, maqam tawakal yang paripurna. Beliau tak punya kekuatan untuk mewujudkan kehendaknya sendiri, sehingga bahkan untuk pindah tempat duduk pun beliau harus tawakal dibimbing oleh ilham ilahi. Jika beliau “berkeinginan” duduk di suatu tempat, namun ilham ilahi tak mengizinkannya, beliau tak bisa bergerak ke tempat yang diinginkannya. Karenanya sehari-hari — selama lebih dari 10 tahun — beliau hanya bolak-balik ke kamar tidur dan ke tempat duduk di ambal khusus di ruangannya. Beliau akan pergi hanya jika ada izin dari Tuhan. Kemudian, di sisi lain, pengulangan zikir secara terus-menerus adalah sebuah latihan (riyadah), yang bertujuan melepaskan seseorang, secara gradual, dari proses berpikir yang tidak berujung pangkal, dengan memusatkan perhatian pada satu titik. Sepanjang proses ini, sang pezikir akan membuka lapis demi lapis hijab yang menutupi batinnya, sehingga ia masuk ke kesadaran, atau alam, yang sama sekali berbeda dengan alam dunia. Zikir pada taraf yang makin tinggi akan membawa manusia masuk ke alam keabadian dan alam di luar hukum sebab-akibat. Pada tahap tertentu, ketika sifat kemanusiaannya luluh akibat potensi dari Asma yang dizikirkannya mewujud secara aktual dan menguasai dirinya, maka diri yang terbatas tentu saja tak mampu menampung aktualisasi potensi dari Asma yang secara intrinsik tak terbatas. Maka sang pezikir akan dikuasai oleh potensi Asma, atau dengan kata lain, sang pezikir dikuasai oleh Tuhan, sehingga ia tak bisa melihat dan menyadari apa pun selain Tuhan. Bahkan dirinya tak lagi memandang dirinya sebagai sesuatu selain Tuhan karena dia sudah sampai pada hakikat dari firman yang menyatakan “Allah meliputi segala sesuatu.” Jika hati sibuk dengan yang diingat, maka tak ada lagi ruang untuk merenungkan zikir itu sendiri. Hanya Allah sajalah satu-satunya wujud yang ada, bahkan dirinya pun tiada. Manusia kembali kepada keadaan ketika dia belum ada. Maka murid, orang yang bercita-cita, berubah menjadi murad (yang dicita-citakan, yang diinginkan). Orang yang semula menginginkan Tuhan, menjadi yang diinginkan Tuhan. Yang mengingat menjadi yang diingat. Ini adalah tahap persatuan, salah satu tema yang akan dijelaskan lebih jauh nanti di bagian lain naskah ini. Dari uraian singkat di atas, jelas ada wilayah lain yang mengatasi hukum sebab-akibat, yang sepenuhnya tak terbandingkan tetapi sekaligus serba meliputi, yang tak mungkin diakses oleh seseorang yang hanya membatasi diri pada perspektifnya sendiri. Ketidakpahaman atau ketidakmauan untuk memahami wilayah yang lebih tinggi inilah yang menyebabkan sebagian kalangan, terutama fuqaha yang hanya menekankan aspek lahir (ulama zahir, eksoteris) menentang dan bahkan mengkafirkan Sufi dan ajaran Tasawuf pada umumnya. Demikianlah, apa-apa yang diuraikan di atas adalah sekadar pengantar tentang "metode" dasar Tasawuf yang memberikan garis besar dan dasar untuk apa-apa yang nanti akan dicoba dipaparkan dalam bagian selanjutnya. Kita akan memasuki beberapa tema utama dalam tradisi Tasawuf. Tujuannya adalah agar kita mendapat gambaran yang sedikit lebih utuh dari tradisi yang melahirkan dan dilahirkan tokoh-tokoh besar Sufi yang terkenal maupun tak terkenal, seperti As-Syekh Hasan Al-Basri, Hazrat Junayd Al-Baghdad, Rabi’ah Al-Adawiyah, Al-Hallaj, Muhyiddin As-Syekh Al-Akbar Ibnu ‘Arabi, Al-Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali, Maulana Rumi, Sulthan Al-Awliya Al-Ghauts Al-Adhim Al-Qutb Al-Alam As-Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Mujaddid alif Al-Tsani Imam Rabbani Ahmad Sirhindi, Sulthanul Awliya As-Syekh Abu Hasan Al-Sadzili, Syekh Qamaruzzaman Al-Husaini, K.H Abu Bakar Faqih, Syekh Ahmad Shahibul Wafa’ Taj Al-Arifin, dan sebagainya. Bagaimanapun, apa-apa yang ditulis di sini hanyalah secuil puncak gunung es. Buku ini bukan teks paripurna tentang Tasawuf. Ia hanya sekadar sketsa ringkas tentang Tasawuf yang ditulis oleh orang luar. Hakikat dari Tasawuf, berdasarkan definisinya, akan tetap tersimpan sampai seseorang siap untuk menerima limpahan kebenarannya. Jika tulisan ini mampu memicu seseorang untuk lebih mengapresasi Tasawuf, maka tujuannya sudah tercapai. Wa Allahu a’lam bi ash-shawab. Bersambung .. ke #6 TULISAN SELANJUTNYA: * Tentang Syari’at, Tarekat, Hakikat * Tentang Allah * Tentang Nur Muhammad dan Muhammad * Tentang Al-Qur’an dan Tafsir Sufi * Tentang Wali Allah * Tentang Zikir dan Tarekat * Tentang Fana dan Baqa * Tentang Mahabbah dan Makrifat * Tentang Insan Kamil * Tentang Surga dan Neraka * Ketika Sufi dan Sains Bertemu Tri Wibowo BS / Mbah Kanyut Ikhwan TQN
Diceritakan Syekh Ulwan Hamawi, yang sudah menduduki peringkat mufti dan luas ilmu agamanya, datang berguru khusus kepada Syekh Sufi Sayyid Ali Ibnu Maimum Al-Maghribi. Sayyid Ali hanya memerintahkan Syekh Ulwan untuk berzikir saja. Setelah beberapa hari Sayyid Ali mengetahui muridnya itu kadang-kadang juga mengaji dan mendalami Al-Quran. Ia pun melarangnya. Orang-orang yang mengetahui ini mengecam Syekh Sayyid Ali—bagaimana mungkin seorang mufti yang luas ilmu agamanya tak boleh membaca dan mendalami Al-Quran? Sebagian ulama menuduh Sayyid Ali telah menyia-nyiakan ilmu Syekh Ulwan dan bahkan memurtadkannya karena ia tidak membolehkan muridnya membaca dan mempelajari Al-Quran. Tetapi setelah beberapa waktu yang telah ditentukan, Syekh Sayyid Ali kemudian memerintahkan muridnya itu untuk kembali membaca dan mendalami Al-Quran. Kemudian Syekh Ulwan mulai mendapatkan makrifat dan ilmu-ilmu rahasia Al-Quran yang tidak diperolehnya selama bertahun-tahun mendalami Al-Quran dengan segenap kemampuannya. Dari kisah ini tampak bahwa ada “saluran” lain yang lebih tinggi dan halus untuk memahami Al-Quran. Perintah agar hanya berzikir saja, dalam pengertian tertentu, adalah salah satu dari sekian banyak cara untuk mempersiapkan seseorang menerima limpahan pengetahuan yang tak dicampuri oleh sudut pandang pribadinya. Namun tak semua orang menyukai atau setuju dengan model seperti ini. Bagi orang yang terbiasa berpikir dan mengandalkan kemampuan intelektualnya, sulit untuk memahami bagaimana ada pengetahuan yang berasal dari dunia yang di mata mereka seperti dunia antah-berantah itu. Dalam tradisi Sufi, seorang salik (penempuh jalan Sufi) harus sami’na wa atha’na, mendengar dan patuh. Jika misalnya seseorang telah mematuhi suatu ayat atau hadis, tapi tidak mendapatkan apa-apa yang dinyatakan dalam teks itu, maka kesalahannya bukan terletak pada teks itu atau pada pemahamannya, tetapi karena ada sesuatu yang tidak beres dari dirinya sendiri yang menghalangi realisasi dari makna teks itu. Misalnya, dalam hadis sahih dikatakan bahwa siapa saja yang membaca Surah Al-Waqi’ah setiap malam niscaya tidak akan miskin selama-lamanya. Faktanya, ada pembaca surah itu yang tetap miskin. Apakah Nabi bohong? Tak seorang pun yang akan mengatakan Nabi berbohong. Maka persoalannya ada dalam “cara” membacanya dan pada diri seseorang. Dalam pandangan sebagian kaum modernis, yang tidak terlalu percaya pada fungsi Al-Quran sebagai semacam “mantra” atau “amalan” untuk mendapatkan sesuatu atau untuk kepentingan duniawi, kesalahannya adalah pada pemahaman seseorang atas hadis itu. Mereka, sesuai dengan perspektifnya yang melibatkan pengandalan kemampuan diri, menyatakan bahwa membaca Al-Waqi’ah saja bukan conditio sine qua non (kondisi yang harus ada dan perlu) untuk mencari kekayaan, tetapi harus berusaha, bekerja, dengan segenap kemampuan dirinya, dan barulah kekayaan itu akan terealisasi. Pandangan ini benar, tetapi menurut Sufi, jika seseorang telah mencapai kondisi di mana tingkat kepasrahannya sedemikian rupa, maka bahkan tanpa bekerja sekalipun kekayaan itu akan datang. Pandangan Sufi seperti ini sulit diterima oleh akal sehat, dan karenanya kaum modernis menolaknya dan cenderung sinis dan menghina. Bagaimana mungkin membaca Al-Waqi’ah saja kekayaan lantas datang jatuh dari langit? Terlebih, kesan yang ditimbulkan dari pandangan ini adalah bahwa Sufi mengajarkan kejumudan dan kemalasan. Pertanyaan dan kritik yang kelihatan masuk akal ini sulit untuk dijawab secara memuaskan. Sebab, realisasi dari pernyataan bahwa membaca Al-Waqi’ah membuat orang tidak akan miskin tidak bisa dipahami dari perspektif nalar. Lagi pula, ada kaifiyah atau adab lahir-batin dalam membaca yang harus diikuti agar pernyataan hadis itu terealisasikan. Di sini ada peran “ijazah” yang lazim dalam tradisi tarekat. Ada beberapa amalan tertentu yang harus “diijazahkan” oleh otoritas Mursyid yang berwenang agar atsar dan fadhilah dari suatu amalan bisa terealisasi – tetapi saya tidak akan membahas konsep ijazah di sini karena terlalu mendalam dan di luar kemampuan saya. Untuk menjelaskan lebih gamblang kita ambil contoh lain yang lebih lazim: Allah berfirman, “berdoalah kepada-Ku niscaya akan Kukabulkan.” Tetapi dalam keseharian ada banyak yang berdoa tetapi seperti tak ada jawaban. Sekali lagi, kaum modernis atau non-Sufi akan menghubungkan kesalahan pada orang yang berdoa, tetapi dengan menisbahkan pada kurangnya aspek “pendayagunaan kemampuan diri” untuk mewujudkan doa. Sufi juga mengatakan hal yang sama, namun dengan menisbahkan kesalahan dalam “adab esoteris (batiniah)” dan keadaan batin yang kurang tepat. Bagi Sufi, tidak terealisasinya doa secara segera disebabkan karena seseorang masih mengandalkan sesuatu yang lain selain Tuhan dalam rangka mewujudkan apa yang dimintanya. Kebanyakan manusia, kata Sufi, hanya berdoa dengan lisan ucapan, bukan dengan lisan keadaan (lisan al-hal). Mereka berdoa misalnya minta rezeki, tetapi yang keluar baru lisan ucapan, sementara lisan keadaannya belum ikut meminta. Keadaan seseorang adalah senantiasa membutuhkan, fakir, miskin, tak berdaya. Sayangnya, sembari berdoa, orang umumnya masih belum mengakui kefakirannya, masih ada setitik noda kesombongan baik itu disadari atau tidak, yakni noda keangkuhan “tersembunyi” yang menyatakan bahwa jika dirinya berusaha, atau melakukan ini atau itu, sesuai hukum sebab akibat, maka tujuannya akan tercapai. Dengan kata lain, orang awam pada dasarnya hanya menjadikan doa sebagai pelengkap penyerta, seolah-olah doa adalah aspek sekunder dalam tindakannya. Karena itulah Nabi bersabda, “Doa tidak akan dikabulkan dari hati yang lalai,” yakni tidak memperhatikan adab dan hakikat doa itu sendiri. Padahal, menurut pandangan Sufi, karena doa adalah otak ibadah, dan Tuhan tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah, maka doa bukan aspek sekunder, tetapi primer. Dalam berdoa seseorang mesti memusatkan perhatiannya kepada Yang Dicari Permohonannya, bukan pada dirinya sendiri, sebab selama ia masih memandang dirinya sebagai sesuatu yang memiliki daya, ia tak bisa dikatakan “berdoa” dalam arti sesungguhnya. Kondisi ini menyebabkan seseorang harus selalu berbaik sangka kepada Tuhan. Di sini juga terdapat rahasia dari perintah Nabi saw untuk agar kita selalu mengulang-ngulang doa, terus-menerus setiap hari. Ini adalah cara menanamkan kesadaran dalam diri kita akan kebutuhan kita dan karenanya membangkitkan lisan al-hal untuk “berdoa” mengiringi ucapan doa. Doa yang paling baik, menurut Sufi, karenanya, adalah berupa pengakuan yang tulus akan keadaannya sebagai hamba. Bentuk doa ini biasanya disebut munajat, percakapan intim, yang hanya bisa muncul berkat karunia ilahi. Contoh yang paling terkenal adalah munajat I’tiraf dari Abu Nuwas, yang kerap dibaca sehabis shalat Jum’at. Apabila conditio sine qua non dari doa ini tak terpenuhi, tak heran doa akan terasa seperti tidak terkabul. Dengan kata lain, meski seseorang telah berdoa, namun karena dia masih mengandalkan pada usaha dari dirinya sendiri, maka doa tak dikabulkan dengan segera, atau ditunda, atau sebagai tebusan atas dosanya, atau diganti sesuatu yang lain yang lebih cocok dengannya. Doa yang segera dikabulkan hanya berasal dari doa seseorang yang sudah menyandarkan segala sesuatu sepenuhnya, secara total, hanya kepada Allah semata. Tetapi harus segera ditambahkan di sini bahwa “ketidakterkabulan” doa ini adalah relatif, sebab Allah telah berfirman “berdoalah kepada-Ku maka akan Kukabulkan.” Jadi ketidakterkabulan itu adalah bentuk lain dari keterkabulan doa, sebab Allah lebih tahu ketimbang hamba-Nya tentang apa-apa yang dibutuhkan oleh hamba-hamba-Nya itu. Sebab boleh jadi seseorang meminta sesuatu padahal sesuatu itu buruk baginya, dan sebaliknya, dan karenanya pengabulan Allah selalu berdasarkan kepada kebutuhannya yang terbaik, bukan berdasar keinginannya, yang bisa jadi salah atau berlebihan dan tidak cocok keadaannya. Jika seorang anak TK minta pistol sungguhan kepada ayahnya, sudah barang tentu ia tidak akan diberi, dan dalam kasus ini “tidak memberi” adalah bentuk lain dari ”memberi,” yakni mencegah kemudharatan. Dengan cara yang sama, Allah tidak memberi sesuatu yang dipinta si hamba dalam rangka memberi sesuatu yang lain yang lebih manfaat kepadanya atau setidaknya sesuatu yang mencegah mudharat yang lebih besar kepada hambanya. Bagi sufi, pemahaman ini penting supaya seorang hamba tidak berburuk sangka kepada-Nya, sebab berburuk sangka akan membawa konsekuensi yang berbahaya, mengingat ada hadis qudsi yang menyatakan “Aku adalah sebagaimana prasangka hamba-Ku.” Menurut Sufi, seseorang harus yakin bahwa Allah telah mengetahui, atau bahkan menciptakan, kebutuhannya, bahkan sebelum dia berdoa. Karena itu Ibnu Athaillah mengatakan, “yang dibutuhkan darimu hanyalah kepasrahan dan pengakuan total bahwa engkau dalam keadaan yang amat membutuhkan.” Allah telah menetapkan bahwa Dia akan mengabulkan doa siapa saja yang merasa butuh. Firman-Nya, “Siapa yang mengabulkan doa orang yang dalam keadaan membutuhkan [idhthirar]? Dan siapa yagng menghilangkan kesusahan dan menjadikan kamu khalifah di muka bumi? Adakah Tuhan selain Allah?” (Q.S 27:62). Keadaan “membutuhkan” dalam pengertian ayat itu adalah keadaan “tak punya pilihan,” dan hilangnya “kehendak bebas.” Dari sudut pandang modern, barangkali terdengar aneh dan tak dapat diterima, karena kehilangan kehendak bebas dan pilihan akan menyebabkan seseorang terbelenggu. Namun bagi Sufi, keadaan ini adalah pantulan dan kemerdekaan yang sesungguhnya, kebebasan dari belenggu nafs (hawa nafsu rendahan). Al-Hakim al-Tirmidhi menerangkan, “Karena sudah tak tahu mesti berbuat apa lagi, seseorang akan menghadap kepada Tuhannya dengan kesungguhan, mengakui segala kehinaan dan kerendahannya, dan pasrah dalam arti sesungguhnya. Tetapi Tuhan berfirman, Dialah yang memperkenankan doa orang yang dalam kesulitan ketika dia berdoa kepada-Nya (Q.S. 27:62). Ayat ini menjelaskan bahwa meski hati kita bersemangat dan berupaya sungguh-sungguh, tetap saja keburukan tidak tersingkir dari diri kita, dan tetap saja ada doa yang tak diperkenankan, kecuali doa dan semangat hati kita diarahkan setulusnya kepada Allah semata, karena hanya Allah sajalah yang bisa membuat hati merasakan kesulitan dan sangat membutuhkan-Nya ... Orang yang berjalan dalam kesulitan ... adalah orang yang sungguh patut mendapat rahmat dan pertolongan-Nya ... Dia ditolong dengan rahmat-Nya karena doanya tulus. Doa mustahil tulus, kecuali setelah seseorang mengalami kesulitan, tak memiliki pegangan dan tak punya rujukan. Orang yang satu perhatiannya di arahkan kepada Tuhan dan satunya lagi diarahkan pada upayanya sendiri, maka dia belum benar-benar dalam kesulitan.” Jadi, intinya, dibutuhkan ketulusan dan kepasrahan total agar doa lekas terjawab. Tetapi kondisi kepasrahan total ini sangat sulit dicapai, walau tidak mustahil, terutama dalam aspek batinnya, sebab kondisi ini berhubungan dengan wilayah kebenaran mistis. Seseorang harus mencapai kondisi kepasrahan lahir dan batin seperti yang dicapai Maryam agar ia bisa mendapatkan makanan langsung dari Tuhan tanpa bekerja—Zakaria bertanya, wahai Maryam, dari mana hidangan ini? ‘Dari Allah, dan Dia memberi rezeki kepada orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas’ (QS. 3: 37). Dengan kata lain, seseorang harus menjadi ‘yang dikehendaki Allah’ agar mendapat rezeki tanpa batas—tanpa dibatasi oleh hukum sebab-akibat. Rezeki bukan hanya makanan, tetapi juga rezeki kesehatan, ilmu, harta, dan seterusnya. Jadi, jika orang yang terus-menerus membaca, misalnya, Surah Al-Waqi’ah, dengan ijazah dan kaifiyat yang benar dan secara batin berusaha menyempurnakan dirinya, niscaya rezeki itu datang secara tak terduga. Orang yang menyempurnakan istighfarnya lahir batin, maka sebagaimana dijanjikan Allah, rezeki akan datang dari arah tak terduga. Dengan cara yang sama, barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka akan ditunjukkan jalan kepada-Nya, akan mendapatkan ilmu langsung dari sisi-Nya, ‘ilm al-ladunni. Hal-hal seperti ini hanya dialami oleh segelintir orang saja, yakni para Nabi dan para wali Allah yang berkedudukan mulia. Jadi tidak mengherankan jika kita jumpai fenomena orang-orang berduyun-duyun berdatangan ke Kiai yang telah dianggap wali Allah untuk memohon agar didoakan, sebab wali yang sudah dalam kondisi seperti ini diyakini doanya makbul. Namun perlu diingat bahwa “kepasrahan total” ini harus dibedakan dengan putus asa dan menggantungkan harapan pada keajaiban semata tanpa ikhtiar. Kepasrahan di sini adalah sikap batin, bukan tindak lahiriah. Jika kepasrahan ini diletakkan dalam konteks yang keliru, maka akan muncul fatalisme atau determinisme (jabariyyah) yang jelas-jelas keliru karena mengesampingkan potensi ikhtiar manusia, dan karenanya bertentangan dengan Kehendak Ilahi yang menghendaki ikhtiar perjuangan atau jihad atau mujahadah di pihak hamba-Nya. Jadi kepasrahan tempatnya ada wilayah batin, bukan di wilayah lahir — secara lahir manusia tetap diwajibkan ikhtiar. Lebih jauh, dalam paradoks kepasrahan/ikhtiar dan doa ini terkandung misteri yang hanya bisa dipahami melalui zawq, atau “rasa” spiritual, seperti tersirat dalam ungkapan Sufi, “Bukan engkau yang memilih jalan, namun jalanlah yang memilihmu.” Ini adalah bagian dari misteri “kecepatan” terwujudnya sesuatu, kun fa yakun.... Bersambung ... ke #5 Tri Wibowo BS / Mbah Kanyut Ikhwan TQN
Lalu apa “metodologi”—jika boleh disebut demikian—untuk memahami doktrin-doktrin agama yang pada dasarnya adalah sebentuk pelajaran mistis? Di sinilah ulama-ulama Tasawuf berbeda secara signifikan dengan ulama-ulama lahiriah dalam memandang dan memahami doktrin-doktrin agama. Dalam ajaran Islam, tindakan “kontemplasi” (tafakkur) atau pemikiran—yang melahirkan ilmu pengetahuan—tak pernah dipisahkan dari “tindakan”: ilmu dan amal adalah satu kesatuan. Juga, Islam tak pernah memisahkan aspek lahir dengan aspek batin, sebab Allah adalah Az-Zahir dan Al-Bathin. Unsur kontemplasi atau pemikiran mistis itu sendiri bukan hanya dalam kerangka empiris dan pengertian ilmiah, yang berangkat dari asumsi dan sikap skeptis, tetapi juga berasal dari “kepastian” dan “keyakinan”, yakni iman. Iman itu sendiri bukan wilayah akal, seperti dikatakan oleh Immanuel Kant, walau akal itu sendiri bisa mempengaruhi iman, dan sebaliknya. Karena berangkat dari kepastian ini, yang landasan utamanya adalah Tauhid, Keesaan Tuhan, maka untuk mendapatkan pengetahuan mistis, seseorang harus menempuh dua jalur yang di permukaan kelihatan bertentangan: jalan kepasrahan dan usaha (ikhtiar). Kepasrahan di sini bukan keputusasaan, sebab kepasrahan melibatkan unsur “perjuangan”. Secara paradoks, menjadi pasrah dibutuhkan usaha, dan usaha untuk meraih kesempurnaan ruhani dan hakikat membutuhkan kepasrahan. Dan langkah pertama di jalan Tasawuf adalah pasrah untuk mematuhi perintah, yang berarti pula pasrah untuk diperintahkan berjuang (jihad). Karenanya, dalam tradisi Tasawuf, sesungguhnya jalan utama untuk mencapai pemahaman mistis adalah kepasrahan, yakni “siap” untuk menenggelamkan diri dalam perjuangan keruhanian—jihad al-akbar, melawan hawa nafsu. Ini adalah perjuangan seumur hidup; dan karena perjuangan dalam konteks ini membutuhkan kepasrahan, hal ini juga berarti kepasrahan seumur hidup. Ini makna dasar dari “Islam” yang secara literal juga bermakna pasrah atau tunduk. Sebuah perjuangan untuk mencapai sesuatu tentu membutuhkan pemahaman tentang apa yang hendak dicapai dari perjuangan itu, bagaimana mencapainya—seperti misalnya apa langkah-langkahnya, strateginya, hambatannya, lawannya, dan seterusnya. Dalam bahasa syariat: amal membutuhkan ilmu, sebab tanpa ilmu maka amal tidak akan ada faedahnya. Maka, tidak mengherankan jika ayat Al-Quran pertama yang turun berhubungan dengan unsur dalam pencarian ilmu, yang berupa perintah untuk membaca: iqra! Dan tidak mengherankan pula, karena ini adalah sebuah perintah, seorang muslim harus melakukan dua hal berbeda secara bersamaan, pasrah dan berjuang. Pasrah dan tunduk mematuhi perintah membaca, sekaligus berjuang untuk “membaca” agar mendapatkan pemahaman, yang pada gilirannya pengetahuan itu akan menuntun seseorang dalam menempuh perjalanan keruhanian. Tetapi bagi kaum Sufi, membaca di sini dipahami bukan hanya sebagai perintah untuk membaca ayat Al-Quran dan ayat alam saja. Sufi menggunakan Al-Quran sebagai semacam “lensa” untuk membaca secara detail seluruh ayat Allah (yang berarti juga kosmos dan manusia), dan sekaligus juga sebagai sebentuk “baiat” untuk masuk ke wilayah mistisisme (Tasawuf). Harus diingat bahwa Al-Quran adalah diwahyukan langsung oleh Tuhan melalui perantara Jibril dan Rasulullah Saw. Sebagai sebuah “wahyu,” Al-Quran berasal dari Tuhan, maka apa pun isinya berasal dari-Nya, dan bisa dikatakan tema pokoknya adalah tentang Allah, yang berada di luar jangkauan akal dan pikiran. Dan karena wahyu itu berasal dari Tuhan, maka Al-Quran hadir “bersama” Tuhan, atau hadir beserta Asma-Nya. Dan juga karena kata Al-Quran itu sendiri berarti bacaan, maka yang pertama-tama dimaksud oleh perintah “bacalah” adalah kitab Al-Quran itu sendiri. Nah, mengikuti perintah untuk “membaca” Al-Quran berarti juga merasakan adanya campur tangan dan “kehadiran” ilahi di balik ayat-ayat-Nya. Jadi seorang muslim yang membaca Al-Quran berarti pula sesungguhnya telah menempuh jalan mistik. Dengan membaca Al-Quran seseorang berarti menyerap dan sekaligus dikuasai oleh Kehadiran dari Yang Mahabenar, yang sama artinya dengan menyadari dan mengakui kehadiran ilahi di setiap tarikan nafasnya. Ini adalah inti dari zikir—dalam hadis dikatakan bahwa membaca Al-Quran adalah sebentuk zikir pula. Maka, sekali lagi, perintah “membaca” adalah semacam “peresmian” atau inisiasi ke dunia mistisisme, dalam pengertiannya yang asli. Dan karena salah satu fungsi Al-Quran adalah sebagai petunjuk (huda) yang lurus, maka berarti bahwa pembaca Al-Quran harus pasrah untuk dibimbing, atau seperti dikatakan Syekh Ibnu Abbad, “ditunjuki jalan dan membiarkan dirinya dibimbing”. Melalui proses semacam ini, yang panjang dan berliku, seseorang baru bisa mencapai haqiqat. Jadi sulit untuk dimengerti jika dikatakan bahwa Tasawuf berasal dari luar Islam. Bahkan doktrin seperti yang biasa disebut “wahdat al-wujud” (Kesatuan Wujud) sekalipun bukanlah hal asing atau tidak ada dasarnya dalam Al-Quran dan hadis. Para Sufi selalu memberikan rujukan yang tegas. Mengenai ayat kesatuan mistis ini, Sufi mengetengahkan ayat-ayat seperti: Ke mana saja engkau menghadap, di situ tampak wajah Allah (Q.S 2: 115); segala sesuatu yang ada di muka bumi akan binasa, dan kekallah Wajah Tuhanmu dengan Keagungan dan Kemurahan-Nya (QS. 28: 88); Kami lebih dekat kepadanya dibanding urat lehernya (QS. 8:24). Juga hadis seperti: Hamba-Ku tiada henti mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal sunnahnya, sehingga Aku mencintainya; dan bila Aku mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang dengannya dia mendengar, penglihatannya yang dengannya dia melihat, dan tangannya yang dengannya dia memukul, dan kakinya, yang dengannya dia berjalan; Engkau adalah yang Maujud secara Lahir dan tak ada yang menutupi-Mu. Jelas para penentang Sufi akan menyanggah dengan mengatakan bahwa ayat-ayat semacam itu adalah sebentuk metafora dan karenanya tidak mengajarkan “kesatuan” antara Pencipta-makhluk. Penolakan mereka terhadap ajaran Sufi itu mungkin didasari oleh niat yang tulus, yakni untuk mempertahankan Keesaan ilahi, sebab akan amat berbahaya jika doktrin ini tersebar luas kepada umat muslim secara umum. Tetapi sering kali para penentang itu melangkah terlalu jauh dengan menyebutkan para Sufi adalah kafir karena mengajarkan panteisme yang menyamaratakan Tuhan dengan alam dan manusia. Ini adalah tuduhan yang keterlaluan. Perbedaan pandangan atas ayat-ayat Al-Quran ini adalah sesuatu yang tak terelakkan, sebab ini berhubungan aksesibilitas seperti telah disinggung di atas. Pengetahuan bertingkat-tingkat, demikian pula dengan realitas, demikian salah satu premis dalam Tasawuf. Karena bertingkat-tingkat, maka tentu ada pengetahuan yang tertinggi dan realitas tertinggi, dan ada tingkat yang lebih rendah. Bagi Sufi, pengetahuan melalui akal tidak menduduki tingkat tertinggi. Pengetahuan tertinggi hanya bisa diperoleh berkat anugerah ilahi kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Pengetahuan fenomena dan semua hal yang berada pada level dunia, dianggap inferior. Rujukan utama adalah kisah Khidir dengan Musa, di mana Khidir, dengan pengetahuannya yang tak dipahami bahkan oleh seorang nabi, yakni Musa, melakukan tindakan-tindakan yang secara moral dan logis tidak bisa dibenarkan sama sekali. Tetapi pengetahuan di sisi Tuhan, atau tepatnya pengetahuan Tuhan, tidak dibatasi oleh kerangka moralitas manusiawi. Perbedaan dalam pemahaman atas ayat Al-Quran antara ulama Sufi dan non-Sufi berakar pada perbedaan dalam “metodologi”. Kebanyakan ulama non-Sufi berusaha secara “aktif” untuk merenungkan, memahami dan menjelaskan Al-Quran dengan mengandalkan usaha sendiri. Kedatangan dunia modern bersama dengan sifat skeptisisme dan kritisnya telah memperkuat kecenderungan ini. Sebagian, mungkin saking bersemangatnya, menelaah Al-Quran dengan perangkat analisis dan data eksternal dan data ilmiah untuk menjelaskan Al-Quran. Sebagian lagi menggunakan cara yang lebih “lunak” yakni menggunakan nalar tetapi dengan mempertimbangkan intuisi keilahian. Sebagian menyebutnya “nalar ilahi”. Semua bentuk “modern” ini memiliki kesamaan, yakni memandang Al-Quran sebagai sebuah teks, sebagai sebuah objek. Dengan “mempelajari” Al-Quran, maka secara tak sadar diasumsikan ada jarak eksistensial dan intelektual antara pengkaji dan Al-Quran itu sendiri. Artinya, dengan cara ini, sesungguhnya si pengkaji melakukan pembatasan karena si pengkaji memahaminya dari sudut pandang pribadi, entah itu disadari olehnya atau tidak. Tak perlu diragukan bahwa pelibatan sudut pandang diri dalam mempelajari Al-Quran bisa dibenarkan, karena hanya dengan cara inilah sebuah ajaran memiliki ciri sebagai dogma. Juga, lantaran adanya campur tangan sudut pandang diri, ego, atau mental inilah maka ajaran agama memperoleh sifatnya yang dinamis, dan karenanya bisa mengakomodasi fenomena dunia yang selalu berubah-ubah. Melalui kajian semacam ini kita bisa melihat perkembangan intelektual yang dinamis dan luar biasa, yang kadang menghasilkan capaian yang mencerahkan. Jadi sesungguhnya Sufi tidak mempermasalahkan mereka yang mendekati Islam dari sudut pandang seperti itu. Yang menjadi persoalan adalah ketika satu sudut pandang itu menolak sudut pandang lain, terutama yang lebih tinggi. Bagi seseorang yang tidak mampu melampaui sudut pandangnya sendiri, hampir bisa dipastikan ia akan menolak mentah-mentah sudut pandang lain. Orang-orang seperti ini akan cenderung menyamakan antara sudut pandang mereka terhadap ajaran dengan ajaran itu sendiri. Kesalahan inilah yang membuat sebagian orang menganut paham literalisme yang ketat—atau fundamentalisme yang kaku. Bahkan, bagi sebagian orang yang menganggap dirinya liberal dan kritis sekalipun terkadang sulit untuk memahami suatu sudut pandang yang lebih tinggi. Di pihak lain, cara Sufi memahami Al-Quran, dan doktrin agama pada umumnya, melampaui sudut pandang ini. Mereka berangkat dari kepasrahan dan keyakinan. Sufi tidak akan menghadapi Al-Quran sebagai sebuah teks suci yang harus dipahami. Sufi lebih dulu menyiapkan sebuah “wadah” dan “saluran” di dalam dirinya untuk menerima aliran kandungan Al-Quran, dan wadah itu bukan di akal pikiran, tetapi di qalb. Karenanya, boleh dikatakan bahwa Sufi tidak “berusaha” memahami, tetapi membiarkan kandungan Al-Quran itu, yang terdiri dari dua bagian utama yakni kandungan lahir dan batin, dialirkan oleh Tuhan langsung ke lubuk hati mereka. Seperti tersirat dalam ayat “Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan” (QS. 1:5), penyembahan adalah penghapusan kemauan diri, penghapusan sudut pandang pribadi, di hadapan ayat-ayat Allah yang suci. Sesuatu yang suci hanya bisa dipahami secara penuh oleh sesuatu yang suci lainnya. Terang cahaya hanya bisa dipantulkan oleh cermin yang terang dan bening. Karena itu, Sufi pada titik tertentu bahkan menghapuskan sama sekali sudut pandang dari dirinya sendiri, dan setelah proses ini tercapai di mana ia tak lagi mengandalkan pada kesadaran dirinya dan sudut pandangnya, ia akan memperoleh sudut pandang dari Pemilik Pengetahuan Al-Quran itu sendiri—inilah fana dan baqa dalam kaitannya dengan pemerolehan pengetahuan hakikat-makrifat. Karenanya, tidak mengherankan jika sering kali tafsir Sufi atas Al-Quran berbeda dengan tafsir dari usaha intelektual lainnya, dan bahkan terkadang seperti menjungkirbalikkan kaidah-kaidah eksoteris dalam ajaran Islam itu sendiri, sebagaimana kisah Khidir dan Musa. Dan juga tak mengherankan jika para Sufi terkadang menggunakan “metodologi” yang aneh ketika mengajar muridnya. Seperti contoh kisah berikut ini: Bersambung .. ke #4 Tri Wibowo BS/ Mbah Kanyut Ikhwan TQn Suryalaya
Sesungguhnya ajaran Sufi adalah ajaran yang amat luas dan mendalam, dan sekaligus berbahaya, yang mustahil dapat dijelaskan dalam satu atau dua buku yang tebal sekalipun, apalagi buku tipis. Sebagai sebuah pengetahuan yang terutama berasal dari mujahadah, riyadhah, ilham dan kasyaf rabbani, tentunya cara paling baik untuk memahaminya adalah melalui cara-cara itu pula. Namun, seperti kata Maulana Jalaluddin Rumi, pembicaraan dan kata kadang diperlukan, untuk “mengusik si pendengar bahwa ada dunia yang di luar tangkapan indra dan pikiran, yang harus kita raih karena di sanalah tujuan hakiki kita.” Jadinya, tulisan ini sekadar upaya untuk membangkitkan rasa ingin tahu, menyebarkan aroma wangi kesucian Tasawuf. Tak lebih dari itu. Para Sufi mengatakan, “Rahasia melindungi dirinya sendiri,” yang bermakna bahwa sesungguhnya pengalaman ruhaniah dan rahasia yang dikandungnya hanya bisa disampaikan kepada mereka yang siap untuk menerimanya. Seperti dikatakan Maulana Rumi, “(Pengetahuan ini) berasal dari tempat gaib. Jika Tuhan menghendaki, Dia akan membuat kata-kata yang sedikit ini berguna, tetapi jika Dia tak menghendaki ... kata-kata ini akan berlalu dan dilupakan.” Buku ini sebagian kecil berasal dari “tempat gaib”, tetapi sebagian besar dari serpihan mutiara ajaran Sufi yang tersebar di banyak buku dan tempat. Tetapi Ini bukan buku ajaran Sufi, tetapi buku tentang ajaran Sufi yang ditulis oleh orang biasa berdasarkan pemahaman pribadi. Karenanya, kalau ada kesalahan, sepenuhnya adalah karena kekurangan penulis, dan jika dijumpai kebenaran, maka itu lantaran pertolongan Allah, yang mengalirkan barakah-Nya lewat wali-wali-Nya. Semoga tulisan ini bisa membangkitkan rasa ingin tahu siapa saja yang sudi membacanya, dan mengajak mereka untuk masuk ke wilayah yang sesungguhnya, yang bukan di dalam kata-kata teks ini. Namun dalam naskah ini saya tidak akan menulis teks dalam pengertian akademik yang netral dan ketat dalam aturan-aturan metodologi modern. Dan sesungguhnya, menggunakan metodologi akademik modern atau analisis kritis untuk menjelaskan Tasawuf hanya akan sampai pada kesimpulan seperti yang diambil oleh lima orang buta yang memaparkan bentuk gajah berdasarkan rabaan mereka, sebagaimana berkali-kali diperingatkan oleh Imam Al-Ghazali. Sebaliknya, buku ini berangkat dari keyakinan yang lebih condong untuk “membela” Tasawuf pada umumnya. Buku ini berangkat bukan dari asumsi atau hipotesis dalam pengertian metodologi ilmiah, tetapi dari sebuah keyakinan akan kebenaran ajaran Tasawuf, kaum Arifin, para Wali Allah. Tetapi melalui buku ini penulis juga tidak berpretensi untuk menampilkan sebuah penjelasan utuh, apalagi kebenaran final. Dan juga dalam buku ini tidak akan dibahas aspek sosial dan historis dari Tasawuf dan tidak menjelaskan istilah-istilah teknis tertentu secara mendetail, seperti maqam, ahwal, isyq, wara, dan sebagainya. Karena, pembahasan semacam itu akan membutuhkan lebih dari satu buku tersendiri, yang berada di luar jangkauan buku ini. Namun konsep atau istilah yang bersifat “teknis” tersebut akan kami beri sedikit penjelasannya di bagian “Glosarium.” Tentu saja sebagian pembaca barangkali akan tak sepakat dengan apa-apa yang diuraikan di sini. Dan, bahkan para pembaca yang juga “membela” Tasawuf boleh jadi juga tak puas, atau bahkan tak sependapat dengan uraian di buku ini. Keadaan semacam ini bukanlah hal yang aneh. Mencoba menjelaskan sebuah pengalaman, apa pun bentuknya, tidak akan bisa sepenuhnya “benar” dan memuaskan. Ada banyak alasannya. Wilayah pengalaman, apalagi pengalaman mistis (spiritual), bukanlah wilayah akal dan kata-kata, sedangkan “penjelasan” adalah wilayah akal dan kata-kata. Kata adalah sebuah konvensi, kesepakatan, dan karenanya pada dasarnya kata adalah “sewenang-wenang (arbitrer)”. Mengapa kita menyebut tempat duduk sebagai kursi, bukan onde-onde? Kata adalah salah satu cara untuk memudahkan kita memahami—sampai batas tertentu—fenomena di sekitar kita. Karenanya, sering kali kata-kata tak bisa menampung hal-hal yang berada di luar fenomena, hal-hal yang belum kita punyai kesepakatan tegas atasnya. Kata adalah representasi dari sesuatu, dan representasi dari sesuatu bukanlah sesuatu itu sendiri. Kata cinta adalah representasi dari sebentuk perasaan yang ada dalam diri kita, tetapi kata cinta itu sendiri tidak bisa menjelaskan secara penuh apa yang kita rasakan saat kita dikuasai cinta. Dua orang yang sama-sama sedang jatuh cinta sangat mungkin memahami cinta dengan cara yang berbeda. Jika dalam fenomena keseharian saja kita bisa berbeda pandangan dan tafsir atas sesuatu yang sama, apalagi untuk wilayah pengalaman spiritual. Akal, berdasarkan definisinya, dan pada dirinya sendiri, bersifat membatasi dan tak jarang bersifat spekulatif. Kebenaran mistis (haqiqat) yang diperoleh dari pengalaman mistis, tidak diraih melalui akal, tetapi dari sebuah pengalaman yang melampaui ruang dan waktu, atau mengatasi fenomena yang menjadi wilayah akal (transenden). Karenanya, metode pencarian kebenaran mistis ini tidak bisa dilakukan dengan analisis nalar atau rasional belaka. Ia diperoleh melalui hati, dan karenanya, berdasarkan definisinya, pengetahuan hati mesti dipahami juga melalui hati. Bahasa Sufi adalah bahasa dzawq, rasa. Bahasa Sufi tak dimaksudkan untuk mewadahi secara sempurna makna dan pengalaman yang dirasakan Sufi, tapi lebih merupakan simbol. Karena terbatas, maka bahasa mustahil mewadahi sesuatu yang tak terbatas; yang terbatas hanya bisa menjadi isyarat atau ayat dari yang tak terbatas. Singkatnya, penjelasan pengalaman mistis yang “paripurna” hanya bisa dilakukan dalam wilayah hati, dari hati, dan melalui hati. Dengan demikian, selalu ada dilema dalam setiap pembahasan tentang hakikat lewat kata-kata: jika seseorang hendak memaparkan kebenaran adikodrati (transenden) atau hakikat agar dapat diakses melalui wadah kata, maka akan mengundang risiko penjelasan itu akan “mengkhianati” kebenaran adikodrati itu; namun jika seseorang bersikeras untuk tidak mengkhianatinya—yakni tidak berusaha memberikan penjelasan—maka kebenaran adikodrati ini tak akan bisa diketahui oleh siapa pun selain orang itu. Tetapi, di sisi lain, kebenaran secara intrinsik selalu memancarkan dirinya, seperti matahari yang memancarkan sinarnya. Karenanya, sebagian Sufi yang memiliki kelebihan tertentu di bidang penalaran dan tulis-menulis “mau tak mau” akan menuliskan apa-apa yang diserapnya dalam bentuk risalah atau kitab-kitab. Sufi jenis ini banyak, seperti Syekh Al-Akbar Ibnu ‘Arabi, Syekh Al-Israq Suhrawardi Al-Maqtul, Imam Qusyairy, Imam Al-Ghazali, Al-Hallaj, dll. Melalui jenis Sufi semacam inilah para Sufi lain, dan juga orang-orang di luar lingkaran Sufi, mendapat akses ke pengetahuan hakikat, walau dalam porsi yang terbatas. Ketika kita berbicara mengenai aksesibilitas ini, kemampuan seseorang dalam mengakses pengetahuan tersebut akan bergantung kepada kesiapan mental, ruhani, dan daya pikir seseorang. Dengan menggunakan analogi, kita bisa katakan bahwa anak SD hanya mampu mengakses pelajaran yang memang sesuai dengan kondisi mereka; jika anak SD dipaksa mendalami pelajaran fisika nuklir untuk universitas, misalnya, bisa dibayangkan seperti apa jadinya! Hal yang sama kurang lebih juga berlaku di wilayah keruhanian. Pengetahuan esoterik (ruhaniah) atau mistis hanya bisa dipahami secara penuh melalui metode yang khusus untuk mendapatkannya. Anda tidak bisa memahami secara utuh kondisi masyarakat jika Anda menggunakan metode yang biasa dipakai dalam laboratorium, sebab masyarakat bukanlah entitas yang bisa dikontrol dan direplikasi berdasarkan prinsip-prinsip hukum tertentu, katakanlah fisika atau kimia. Dengan cara yang sama, kita tak bisa memahami sepenuhnya pengetahuan mistis hanya dengan mengandalkan kajian literatur Sufi. Tetapi ini bukan berarti kita tak bisa mendapatkan pengetahuan apa-apa dari kajian literatur. Sebab, jika begitu, untuk apa para Sufi itu menulis, dan untuk apa mereka repot-repot menulis syarah atau ulasan atas suatu karya. Memang, mereka sesungguhnya menulis untuk sesama Sufi, tetapi dengan menulis dan mengawetkan sebuah pengetahuan mistis dalam bentuk kata-kata, mereka sebenarnya juga “diperintahkan” oleh pengetahuan mistis itu untuk “mengabarkannya” kepada orang-orang di luar lingkaran Sufi. Saya menggunakan istilah “diperintahkan” sebab pada umumnya seorang Sufi menulis bukan atas keinginan hatinya, tetapi akibat dorongan dari pengetahuan itu sendiri, yang tak lain adalah Kebenaran (Al-Haqq) atau Tuhan itu sendiri. Karenanya, sudah menjadi kehendak ilahi—dan lantaran ciri asasi dari kebenaran yang selalu memancarkan diri—bahwa pengalaman mistis harus dikabarkan kepada sebagian orang. Kitab-kitab Sufi, dengan demikian, menjadi “ayat” tersendiri yang dapat diakses oleh siapa saja yang menghendakinya. Dan sebagai sebuah ayat, sebagaimana ayat lain, ia hanyalah menjadi petunjuk, tanda-tanda, atau isyarat tentang adanya sesuatu di balik tanda-tanda itu. Seperti dikatakan Rumi, kata-kata hanyalah sekadar pemicu keingintahuan, yang membawa seseorang pada titik di mana seseorang merasa terusik bahwa di luar dunia yang dapat ditangkap (dengan indra dan kata-kata) ini terhampar dunia lain yang kita harus upayakan untuk memasukinya: dunia kebenaran mistis yang adikodrati. Jadi, betapapun terbatasnya, seseorang yang mendalami kajian literatur akan tetap mendapatkan pengetahuan. Seperti para ahli tafsir, mereka tentu saja tak mungkin menjelaskan kandungan Al-Quran secara komprehensif. Bagaimanapun, tafsir mereka tetap memberikan pengetahuan, walau dalam bentuk parsial—dan bahkan kadang keliru. Lalu apa “metodologi”—jika boleh disebut demikian—untuk memahami doktrin-doktrin tasawuf yang pada dasarnya adalah sebentuk pelajaran mistis? Bersambung ... ke #3
Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
أبـــــــــــــــــــــــــو عـــــــــــــــــــــــــــــمار
Sedan Rembang, Jateng, Indonesia
Lihat profil lengkapku

Blog Arcife