Kamis, 28 Januari 2010
... penjelasannya adalah sebagai berikut: Ketika Dzat telah mengetahui potensi Diri-Nya (ta’ayun awwal), maka potensi ini kemudian menjadi “yang diketahui”. Ia menjadi objek ilmu atau pengetahuan Tuhan, yang dalam sistem pemikiran Ibnu ‘Arabi disebut al-a’yan al-tsabitah (entitas-entitas permanen), yang tak pernah meninggalkan kepermanennya, sebab al-a’yan itu ada secara kekal dalam pengetahuan Tuhan, dan al-a’yan di sini belum mendapatkan wujud eksternal (kongkret), masih berupa potensi yang kekal dalam pengetahuan-Nya. Tajalli Nya adalah pemberian Nya yang telah ditetapkan sejak Azali, persis seperti yang ada dalam a’yan tsabitah, Pengetahuan Abadi dalam Hakikat Tuhan. Jadi hakikat yang sebenarnya dari setiap segala sesuatu yang berasal dari tajaliyyat Nya adalah selalu ada, yakni dari dalam kedalaman batin Wujud Nya (Potensi Abadi Nya), yang merupakan Ilmu Nya (pengetahuan Nya) yang tetap dan abadi (a’yan tsabitah). Dari sudut pandang ini, dunia pada hakekatnya merupakan perwujudan (manifestasi) Tuhan, namun Diri Nya, yakni dalam Dzat Nya, Dia terlepas dari setiap perwujudan (dunia) itu sendiri. A’yan tsabitah pada dasarnya hanyalah potensi abadi yang—karena sifatnya itu—ia bisa menjadi aktual atau bisa juga tidak. Karenanya, ‘Kemungkinan’ (Potensialitas) itulah yang sesungguhnya nyata. Dan karena itulah, a’yan tsabita tetap tidak berubah dan “tidak ada” secara aktual dalam ilmu Tuhan. Meskipun disifati dengan kepermanenan, a’yan tidak disifati dengan wujud, yakni ia tetap dalam keadaan yang disifati dengan ketiadaan yang dimiliki oleh yang mungkin, bukan oleh yang tidak mungkin—seperti dikatakan Ibnu ‘Arabi, “A’yan tidak pernah membaui wewangian eksistensi (wujud).” Jadi, a’yan tsabita, dalam ketiadaannya siap menerima wujud. Dalam Futuhat Al-Makiyyah mengenai hal ini dikatakan; Ilmu Al Haqq tentang Diri Nya sama dengan ilmu Nya tentang alam karena alam selamanya disaksikan Nya, meskipun alam disifati dengan ketiadaan. Sedangkan alam tidak disaksikan oleh dirinya (sendiri) karena ia tidak ada. Ini adalah lautan tempat binasanya para pemikir teoritis, yaitu orang orang yang tidak diberi kasyaf. Diri Nya selama lamanya ada, maka ilmu Nya selama lamanya ada pula. Ilmu Nya tentang Diri Nya adalah ilmu Nya tentang alam; karena itu ilmu Nya tentang alam selama lamanya ada. Jadi Dia mengetahui alam dalam ketiadaannya. Dia mewujudkan alam menurut bentuk Nya dalam ilmu Nya. Karena itu, alam tidak pernah ada ‘diluar’ Tuhan yakni; tidak ada dalam wujud kecuali Allah dan sifat sifat dari a’yan, dan tidak ada sesuatu pun dalam adam (ketiadaan) kecuali entitas entitas mumkinat (kemungkinan) yang dipersiapkan untuk diberi wujud. Bila manifestasi eksternal, atau aktualisasi dari a’yan tsabithah terjadi, mereka menjadi realitas dari a’yan itu dan mendapatkan nama “segala hal yang diciptakan”. Maka keragaman dalam a’yan mendapatkan bentuk keragaman aktual, atau dengan kata lain Dzat memperlihatkan Diri-Nya dalam “pakaian” tajalli yang banyak dan tamsilan (ayat-ayat). Tetapi di sini tidak boleh dianggap bahwa Dzat yang Esa lalu memecah menjadi banyak; keragaman di sini adalah keragaman yang diandaikan. Jika sesuatu benda mengambil beberapa aspek, dia tidak menjadi banyak dari perspektifnya sendiri—air laut tidak menjadi lebih banyak lantaran ada ombak dan gelombangnya. Atau, dengan kata lain, karena a’yan dari segi keberadaannya adalah menyatu dengan Dzat (dalam Kesadaran-Nya) dan ghair (terpisah) dari-Nya dari segi keterbatasannya (kemunculannya atau aktualisasinya), maka pada hakikatnya tidak ada wadah dan isi yang diwadahi, tetapi yang ada hanyalah satu realitas saja, yakni “wadah sekaligus isi”. Kemajemukan realitas hanyalah pengandaian. Masalah ini, menurut Syekh Al-Akbar, adalah masalah berbahaya, yang hanya bisa diketahui oleh mereka yang ahli kasyaf. Dilihat dari perspektif ini, kalimat Laa ilaha illa Allah yang biasa diterjemahkan “Tiada tuhan selain Allah” mengandung dua pengertian yang tampak bertentangan satu sama lain. Rumusan syahadat ini secara keseluruhan menerima satu gagasan tentang ketuhanan dan sekaligus menolak gagasan bahwa Tuhan merupakan sebuah genus atau definisi. Dalam rumusan kalimat tauhid ini diperlihatkan bahwa Dzat-Nya tak bisa dimasukkan dalam kategori apa pun (martabat ahadiyyah). Menurut kesaksian ini, Allah berbeda dengan segala sesuatu dan tak ada sesuatu pun yang dapat dibandingkan. Sebab, untuk membandingkan sesuatu, harus ada kesamaan umum dalam sifat dan kondisi yang setara, sedangkan Allah transenden mutlak (tak terbandingkan) dari kedua segi itu. Segala sesuatu selain Tuhan adalah fana, musnah. Karena tidak ada sesuatu yang dapat dibandingkan dengan Dzat Allah (sebab jika dapat dibandingkan maka sesuatu itu akan menjadi tuhan (ilah) yang lain) maka setiap realitas sesungguhnya hanyalah refleksi atau pantulan dari Allah, yakni dari Asma dan Sifat-Nya, seperti telah dijelaskan di atas. Karena hanya refleksi, segala sesuatu tak punya wujud sendiri, tetapi mendapat wujud dari Wujud Tuhan, bukan dalam arti tambahan pada Wujud-Nya. Maka kalimat laa ilaha illa Allah bisa diartikan secara lebih tepat sebagai “Tiada wujud (realitas) selain Wujud (Realitas) Allah,” atau laa maujuda illa Allah. Ketika seseorang mengenali realitas hakiki dari wujud dirinya, maka ia segera terserap ke dalam Wujud Tuhan. Inilah tauhid tertinggi. Jadi bagi orang awam, tauhid adalah pengakuan keesaan Tuhan, sedang bagi Sufi, tauhid menjadi kunci untuk membuka pintu menuju Realitas esensial, yakni Kesatuan Wujud yang mendasari bayang-bayang wujud-Nya—Alam tara ilaa Rabbika kaifa maddazhilla (Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu memanjangkan bayang-bayang-Nya?) (QS. 25:45). Ini kadang diistilahkan sebagai wahdat al-wujud. Sesuatu selain Tuhan tidak punya wujud sendiri, tetapi hanya wujud pinjaman atau “bayangan” dari Allah. Jadi, ringkasnya, karena tidak ada sesuatu atau eksistensi yang mendahului-Nya dan tidak ada eksistensi yang mengakhiri-Nya, sebab Eksistensi-Nya adalah Mahaawal lagi Mahaakhir, ini sama artinya tidak ada eksistensi yang berada “di luar” atau “selain” (ghayr) dari Diri-Nya sendiri. Sebab, eksistensi “yang lain” hanya mungkin ada jika Eksistensi atau Dzat Allah bisa dibatasi—dan mustahil kalau Dzat-Nya adalah terbatas. Inilah Wujud Mutlak, Wujud dari Dzat Yang Maha Tak Terbatas. Maka, laa ilaha illa Allah berarti menafikkan semua eksistensi selain Allah—ini adalah makna terdalam Tauhid. Sebab, jika ada eksistensi “selain” Eksistensi-Nya, maka akan ada dua eksistensi, yang sama artinya menyangkal Keesaan Allah. Maka laa ilaha illa Allah adalah laa maujuda illa Allah—tidak ada wujud selain wujud Allah. Wa Allahu a’lam bi ash-shawab. Tri Wibowo BS /Mbah Kanyut Ikhwan TQN

1 komentar:

fauzan mengatakan...

tentang kalam saya belum berani posting mas...ada saran?

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
أبـــــــــــــــــــــــــو عـــــــــــــــــــــــــــــمار
Sedan Rembang, Jateng, Indonesia
Lihat profil lengkapku

Blog Arcife