Senin, 28 Desember 2009
Al-Hâfizh Ibn al-Jauzi menuliskan bahwa sebab kerancuan sebagian orang bermadzhab Hanbali dalam akidah mereka hingga mereka dicap sebagai golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya (ahl al-tasybîh) adalah karena beberapa hal berikut; Pertama: Mereka selalu menamakan setiap teks yang dinisbatkan kepada Allâh sebagai sifat-sifatnya (Akhbâr al-Shifât). Padahal tidak semua teks yang dinisbatkan kepada Allâh merupakan sifat-sifat-Nya. Bisa jadi penisbatan tersebut hanya penisbatan mudlâf dan mudlâf ilaih. Dan tidak semua nisbat idlafâh semacam ini bermakna sifat. Seperti dalam firman Allâh tentang nabi Adam: “Wa Nafakhtu Fîhi Min Rûhî…”. QS. Shad: 72. Ayat ini maknannya bukan berari Allâh memiliki sifat ruh yang kemudian sebagian ruh tersebut ditiupkan kepada nabi Adam. Tapi makna ayat yang dimaksud adalah idlâfah tasyrîf; artinya ruh tersebut adalah ruh yang dimuliakan oleh Allâh. Dengan demikian jelas salah bila setiap ayat dalam bentuk mudlaf dan mudlaf ilaih dianggap sebagai pengertian sifat. Kedua: Mereka selalu berkata bahwa teks-teks al-Qur’ân atau hadits tersebut adalah bagian dari teks-teks mutasyâbihât yang tidak diketahui maknanya kecuali oleh Allâh. Kemudian mereka berkata; Kewajiban kita hanya memaknai dan memberlakukan teks-teks tersebut sesuai zhahirnya. Pernyataan mereka ini adalah pernyataan yang sangat aneh. Mereka mengatakan bahwa teks-teks tersebut tidak diketahui oleh siapapun kecuali oleh Allâh, namun pada saat yang sama mereka memaknai teks-teks tersebut dengan makna zhahirnya. Padahal lafazh “yad” dalam bahasa Arab makna zhahirnya adalah “tangan”, yang berupa jari-jemari, daging, tulang darah dan lainnya. Kemudian lafazh “’ain” makna zhahirnya tidak lain adalah mata. Juga lafazh “istawa” makna zhahirnya adalah duduk dan bertempat. Atau lafazh “yanzil” yang makna zhahirnya adalah turun dalam arti berpindah tempat dari atas ke bawah. Apakah makna-makna zhahir semacam ini sesuai begi keagungan Allâh?! Bila tidak, lantas mengapa dikatakan bahwa kita harus memberlakukannya sesuai makna zhahirnya?! Ketiga: Mereka selalu menetapkan sifat-sifat bagi Allâh dengan sekehendak mereka sendiri. Setiap teks yang ada kaitannya dengan Allâh seringkali diklaim oleh mereka sebagai sifat-sifat-Nya. Padahal sifat-sifat bagi Allâh tidak boleh ditetapkan kecuali dengan adanya dalil-dalil yang pasti atas hal tersebut. Keempat: Mereka tidak membeda-bedakan dalam menetapkan sifat bagi Allâh antara hadits yang mashur dengan hadits yang tidak shahih. Hadits yang mashur contohnya hadîts al-nuzûl; “Yanzil Rabbunâ Ilâ al-Samâ’ al-Dunyâ…”. Contoh hadits yang tidak shahih seperti hadits yang mengatakan: “Raitu Rabbî Fî Ahsan al-Shûrah…”. Mereka memandang bahwa kedua hadits tersebut merupakan hadits-hadist tentang sifat Allâh. Dan kerananya mereka kemudian menetapkan dengan landasan dua hadits tersebut adanya sifat “turun” dan “bentuk” bagi Allâh. Kelima: Mereka tidak membeda-bedakan antara hadits marfû’ yang bersambung hingga Rasulullah dan hadits mauqûf yang hanya bersambung sampai kepada para sahabat, bahkan juga membedakannya dengan hadits maqthû’ yang hanya bersambung hingga tabi’in saja. Baik hadits marfû’, hadits mauqûf atau hadits maqthû’ oleh mereka dapat dijadikan dalil dalam menetapkan sifat-sifat bagi Allâh. Keenam: Yang aneh dari mereka, beberapa teks al-Qur’ân atau hadits yang terkait dengan masalah ini dipahami dengan takwil, namun dalam teks-teks lain mereka memaknainya dengan makna-makna zhahir. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki keteguhan keyakinan. Seperti sebuah hadits yang berbunyi: “Wa Man Atânî Yamsyî, Ataituh Harwalah…”, mereka memaknai hadits ini dengan mentakwilnya. Maksud kandungan hadits ini, menurut mereka sebagai perumpamaan atau pendekatan kenikmatan kenikmatan dan karunia yang dianugerahkan oleh Allâh kepada hamba-hamba-Nya. Lantas di mana konsistensi mereka dalam memegang makna zhahir teks?! Padahal jelas secara zhahir makna hadits tersebut: “Siapa yang mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari keci…”. Ketujuh: Mereka seringkali memberlakukan makna-makna indrawi dalam memahami teks-teks tersebut. Ini ditandai dengan adalanya lafazh-lafazh yang sering kali mereka tambahkan terhadap teks-teks tersebut. Seperti seringkali mereka berkata: “Yanzil Bi Dzâtih…” (Allah turun dengan Dzat-Nya), “Yanzil Wa Yatahawwal…” (Allah turun dan bergerak), “Istawâ Bi Ma’nâ al-Haqîqah…” (Allah benar-benar bertempat/bersemayam) dan tambahan lafazh lainnya. Lalu untuk mengecoh orang-orang awam mereka berkata: “Lâ Kamâ Na’qil…” (Tidak seperti yang kita pikirkan). Terkadang mereka juga berkata: “Lahû Yad Lâ Ka al-Aidî…” (Allah memilki tangan tapai tidak seperti semua tangan), “Lahû ‘Ain Lâ Kasâ’ir al-A’yun…” (Allah punya mata tapi tidak seperti setiap mata), “Lahû Qadam Lâ Kasâ’ir al-Aqdâm…” (Allah memiliki kaki tapi tidak seperti setiap kaki). Yang tersisa bagi mereka adalah untuk mengatakan: “Huwa Insân Lâ Kasâ’ir al-Nâs…” (Allah adalah manusia tatapi tidak seperti seluruh manusia). Adakah tauhid dalam keyakinan orang-orang semacam ini?? (Penjelasan lebih luas lihat Ibn al-Jauzi, Daf’u Syubah at-Tasybih Bi Akaff at-Tanzih, h. 11-12). Catatan: Ibn al-Jauzi adalah al-Imam al-Hafizh Abdurrahman ibn Abi al-Hasan al-Jauzi (w 597 H), Imam Ahlussunnah terkemuka, ahli hadits, ahli tafsir, dan seorang teolog (ahli ushul) terdepan. Adapun ibn Qayyim al-Jauziyyah adalah Muhammad ibn Abi Bakr az-Zar’i (w 751 H) murid dari Ibn Taimiyah yang dalam keyakinannya persis sama dengan Ibn Taimiyah sendiri... Ingat-ingat neeeh...!!! Keduanya jauh berbeda; yang pertama Imam Ahlussunnah terkemuka, sementara yang kedua adalah murid Ibn Taimiyah; yang dalam keyakinannya persis sama dengan kayakinan tasybih Ibn Taimiyah. Awas salah!! Ibn Qayyim; murid Ibn Taimiyah ini di antara keyakinannya yang juga persis keyakinan gurunya; 1. Orang yang tawassul dengan Nabi atau orang-orang saleh adalah orang musyrik, 2. Perjalanan untuk ziarah ke makam Rasulullah adalah perjanan maksiat, 3. Berkeyakinan Allah duduk di atas arsy, 4. Berkeyakinan bahwa neraka akan punah dan siksaan terhadap orang-orang kafir di dalamnya akan habis, dan berbagai lainnya. Bukan isapan jempol, ini semua ada datanya, bahkan dia tuliskan dalam karya-karyanya sendiri... Ingat... Aqidah Rasulullah, para sahabatnya, dan aqidah mayoritas umat Islam, kaum Ahlussunnah wal Jama'ah adalah ALLAH ADA TANPA TEMPAT DAN TANPA ARAH.
Pesan dr Admin Grup Mutawassil Bin Nabi: Cerita ini dikutip oleh para ulama kita, di antaranya; Syaikh Abd al-Wahhab asy-Sya'rani dalam ath-Thabaqat al-Kubra, Syaikh Yusuf Isma'il an-Nabhani dalam Jami' Karamat al-Awliya', Ibn al-Imad al-Hanbali dalam Syadzrat adz-Dzahab Fi Akhbari Man Dzahab, dan lainnya. bahwa suatu ketika Wali Allah yang sangat saleh; Syaikh Abd al-Qadir al-Jilani dalam khalwatnya didatangi Iblis yang menyerupai sinar sangat indah. Iblis berkata: "Wahai Abd al-Qadir, Aku adalah Allah, seluruh kewajiban telah aku gugurkan darimu, dan segala yang haram telah aku halalkan bagimu. Maka berbuatlah sesukamu, karena seluruh dosa-dosamu telah aku ampuni....". Saat itu pula Syaikh Abd al-Qadir manjawab: "Khasi'ta ya Iblis... Khasi'ta ya la'in... (Kurang ajar engkau wajai Iblis.. Kurang ajar engkau wahai makhluk terkutuk..). Iblis kemudian mengaku bahwa dia adalah Iblis, ia berkata: "Wahai Abd al-Qadir, engkau telah mengalahkanku dengan ilmumu, padahal dengan cara ini aku telah menyesatkan 70 orang lebih ahli ibadah...". Dari kisah nyata ini para ulama kita menuliskan catatan penting, sebagai berikut: 1. Syaikh Abd al-Qadir tahu bahwa yang datang tersebut adalah Iblis, karena Iblis menyerupai sinar. padahal Allah bukan sinar. Allah yang menciptakan segala sinar, maka Allah tidak sama dengan ciptaan-Nya tersebut. Adapun nama Allah (dalam al-Asma' al-Husna) "an-Nur", bukan artinya bahwa Allah sebagai cahaya, tetapi artinya "Yang Maha memberi petunjuk", sebagaimana telah dijelaskan oleh sahabat Abdullah ibn Abbas dalam penafsiran beliau terhadap firman Allah: "Allahu Nur as-Samawati...". 2. Bahwa yang datang tersebut Iblis, adalah karena ia berkata bahwa segala kewajiban telah digugurkan, dan segala yang diharamkan telah ia halalkan. jalas, klaim semacam ini bukan dari syari'at Allah dan rasul-Nya, karena seseorang, setinggi apapun derajatnya, tidak akan pernah gugur darinya kewajiban shalat 5 waktu, puasa ramadan, juga tidak akan pernah menjadi halal baginya untuk berzina, mencuri, membunuh, dan perkara haram lainnya. Dengan demikian bila ada yang mengaku dirinya "wali", sementara ia meninggalkan kewajiban2, atau mengerjakan perkara2 haram, maka ia bukan wali Allah , tapi wali Iblis. 3. Bahwa yang datang tersebut Iblis, karena ia berkata-kata dengan huruf, suara, dan bahasa. padahal sifat Kalam Allah bukan huruf, bukan suara dan bukan bahasa, karena bila demikian maka Allah sama dengan makhluk-Nya. adapun kitab al-Qur'an; dalam bentuk tulisan-tulisan Arab, huruf-huruf, dibaca dengan lidah dan suara, ditulis di atas lembaran-lembaran, maka itu adalah UNGKAPAN ('Ibarah) dari Kalam Dzat Allah. (lebih jelas baca tentang "al-Qur'an Kalam Allah"). 4. Bahwa yang datang tersebut Iblis, karena Iblis berada di tempat syaikh Abd al-Qadir. padahal Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, karena Allah bukan benda yang memiliki bentuk dan ukuran. Allah bukan benda yang dapat disentuh tangan (bukan Hajm Katsif; seperti manusia, tanah, tumbuhan, dll), dan Allah bukan benda yang tidak dapat disentuh dengan tangan (bukan Hajm Lathif; seperti cahaya, udara, ruh, dll). Allah yang menciptakan Hajm Katsif dan Hajm lathif, maka Allah bukan sebagai hajm (benda). Dan oleh karena Allah bukan benda maka Dia tidak boleh disifati dengan sifat-sifat benda, seperti bergerak, turun, naik, memiliki tempat, memiliki arah, dan lainnya. karena setiap benda dan sifat-sifatnya adalah makhluk Allah, dan Allah tidak sama dengan makhluk-Nya. oleh karenanya, ulama kita sepakat bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Amir al-Mu'minin Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya- berkata: "كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَانَ وَهُوَ اْلآنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ" "Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia (Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula, ada tanpa tempat" (Dituturkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitabnya al-Farq Bayn al-Firaq, h. 333).
أدخلTeladan Seluruh Umat Manusia Ditulis oleh Untung Kasirin[i] Empat belas abad silam, Muhammad bin Abdullah, memutuskan hijrah ke kota Madinah, mencari peruntungan dakwah Islam meninggalkan Mekah, kota kelahirannya. Belum genap tiga belas tahun—waktu yang relatif singkat untuk mencipta peradaban baru—, dari kota kecil nan tandus itu, beliau sukses menyampaikan pesan Tuhan ke sekian banyak manusia, merubah paganisme masyarakat jahiliyah menuju penyembahan kepada Tuhan yang satu, menembus batas teritorial kota Madinah, menaklukkan Mekah, hingga menjalar ke seluruh jazirah Arab kemudian melintasi benua. Jutaan manusia berbondong-bondong mengikuti ajakannya memasuki agama Islam. Hingga sekarang, tak sejengkal wilayahpun di bumi luput dari pancaran cahaya Islam. Sosok Muhammad tak hanya sukses dalam bidang spiritual, tetapi pada setiap peran yang dia emban dalam berbagai bidang kehidupan. Seorang Profesor Filsafat India, Ramakrishna Rao, dalam bukunya, Muhammad: The Prophet of Islam, menyebutnya sebagai ”model (teladan) yang sempurna bagi kehidupan manusia”. Lebih lanjut dia menegaskan bahwa ”The personality of Muhammad, it is most difficult to get into the whole truth of it. Only a glimpse of it I can catch. What a dramatic succession of picturesque scenes! There is Muhammad the Prophet. There is Muhammad, the Warrior; Muhammad, the Businessman; Muhammad, the Statesman; Muhammad, the Orator; Muhammad, the Reformer; Muhammad, the Refuge of Orphans; Muhammad, the Protector of Slaves; Muhammad, the Emancipator of Women; Muhammad, the Judge; Muhammad, the Saint. All in these magnificent roles, in all these departments of human activities, he is like a hero.” Pernyataan senada juga disampaikan oleh tokoh-tokoh kondang seperti Lamartine, Michael H. Hart, Sir George Bernard Shaw, Mahatma Gandhi, Wolfgang Goethe, Thomas Carlyle, John Esposito dan seterusnya. Artinya, kredibilitas Muhammad sebagai ‘orang yang harus dimuliakan’ tidak hanya diakui umatnya sendiri, akan tetapi umat agama lain. Namun sangat disayangkan, Muhammad saw. dicitrakan dengan sebaliknya oleh Barat atas nama kebebasan berekspresi. Adalah Jyllands-Posten, ‘pelopor’ pemuatan visualisasi kartun yang dinisbatkan—dan selamanya tak akan ternisbatkan oleh sebab kemuliaannya—kepada Nabi Muhammad saw., diikuti banyak media-media Barat—bahkan Indonesia—hingga sekarang. Paling anyar adalah film singkat bertajuk “FITNA” yang tersebar luas di LiveLeak.com. Oleh para orientalis picik subjektif itu, Nabi Muhammad dituduh sebagai pembawa ajaran kekerasan dan mengajarkan terorisme. Lebih disayangkan, pernyataan senada juga pernah dilontarkan oleh pimpinan otoritas keagamaan tertinggi Kristen, Paus Benediktus di Vatikan yang memicu kemarahan umat Islam. Sebuah pertanyaan besar bagi fenomena ini adalah, kebebasan seperti apa sesungguhnya yang mereka anut? Nabi Yang Kedatangannya Telah Dijanjikan Banyak sekali hal yang luar biasa dari sisi kehidupan Muhammad. Penemuan nama Muhammad dalam literatur agama-agaama besar dunia, misalnya. Para sarjana muslim, menemukan bahwa Muhammad terdapat dalam literatur agama ardi maupun samawi, seperti Parsi (Zoroastrian), Hindu, Budha, Injil (Kristen) dan Taurat (Yahudi). Dalam literatur-literatur tersebut diketahui bahwa kedatangan Muhammad telah dikabarkan jauh sebelum kelahirannya. Dalam berbagai literatur agama Yahudi dan Kristen, terdapat banyak referensi yang merujuk kepada Muhammad baik dalam Perjanjian Lama (the Old Testament) maupun Perjanjian Baru (the New Testament), seperti Deuteronomy 18:18, Genesis 21:13, 18, Isaiah 42:1-13, dan John 16:7-14, 14:16 (lihat Abdul Ahad Dawud (tadinya seorang Tokoh Terkemuka Kristen, David Benjamin), Muhammad in the Bible). Dan yang juga tak kalah menarik, sebagaimana menurut A. H. Vidyarthi dan U. Ali dari India dalam bukunya yang berjudul Muhammad in Parsi, Hindu and Budha mencatat bahwa dalam literatur Hindu, Nabi dikabarkan sebagai “Mahamad” di dalam Bhavisya Puran, Prati Sarg Parv III:3,3,5-8 dan sebagai “ Narashansaha” dalam Atharva Veda, Bagian 20, Kuntap Sukt yang berarti ‘the praised one (yang terpuji)’ dalam bahasa Inggris, ekuivalen artinya dengan “Muhammad” dalam bahasa Arab. Dalam literatur Budha, tersebut kata “Maitreya” atau “Mettaya” (Miroku dalam bahasa Jepang; Mei-ta-li-ye dalam bahasa China; Mahitreja dalam bahasa Tibet), yang sama artinya dengan ‘Mercy unto-all (rahmatan lil ‘aalamiin)’, adalah sebutan bagi Nabi Muhammad sebagaimana di dalam Al-Quran (QS. 21:107). Sedangkan dalam literatur Persia, beliau disebut dengan “Soeshyant” (Rahmatan lil ‘Aalamiin) dan “Astvat-ereta” dalam Zend Avesta dan juga di dalam Dasatir, epistle of Sasan I, 55-61. Dikabarkannya Muhammad dalam literatur-literatur tersebut mengindikasikan bahwa sumber seluruh agama yang dibawa oleh para Nabi di dunia adalah sama—yakni Islam—dan Muhammad adalah Nabi Universal. Ia adalah rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi alam semesta). Seluruh umat manusia harus mengakui baik kenabian maupun ajarannya. Bertepatan dengan ulang tahun kelahirannya (maulid nabi) pada 12 Rabiul Awwal 1428 H (bertepatan dengan 20 Maret 2008), baiklah sejatinya umat Islam mengambil i’tibar dari sejarah hidup Muhammad saw., yang sangat mulia. Para orang tua muslim bertanggung jawab menanamkan kecintaan anak-anak mereka kepada Rasulullah saw dengan menceritakan sirahnya. Para ulama berkewajiban meneladaninya dalam hal menyampaikan Islam. Para pedagang (pelaku bisnis) dapat mencontoh kejujurannya sebagai pangkal keberhasilannya dalam bidang ekonomi dengan menerapkan sistem ekonomi berdasarkan ajaran Tuhan (ekonomi Islam). Sedangkan para pemimpin, negarawan berkepentingan mengikutinya dalam hal mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Apapun peran yang kita sandang, maka Muhammad saw., adalah teladannya (masterpiece). Wallahu a’lam. [i] Penulis adalah Peneliti di Islamic Economy and Social Study Society Institut Manajemen Zakat Jakarta. sumber: www.pesantrenvirtual.com
أدخل Doktrin Aswaja di Bidang Sosial-Politik 15/06/2009 Berdirinya suatu negara merupakan suatu keharusan dalam suatu komunitas umat (Islam). Negara tersebut dimaksudkan untuk mengayomi kehidupan umat, melayani mereka serta menjaga kemaslahatan bersama (maslahah musytarakah). Keharusan ini bagi faham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) hanyalah sebatas kewajiban fakultatif (fardhu kifayah) saja, sehingga –sebagaimana mengurus jenazah– jika sebagian orang sudah mengurus berdirinya negara, maka gugurlah kewajiban lainnya. Oleh karena itu, konsep berdirinya negara (imamah) dalam Aswaja tidaklah termasuk salah satu pilar (rukun) keimanan sebagaiman yang diyakini oleh Syi'ah. Namun, Aswaja juga tidak membiarkan yang diakui oleh umat (rakyat). Hal ini berbeda dengan Khawarij yang membolehkan komunitas umat Islam tanpa adanya seorang Imam apabila umat itu sudah bisa mengatur dirinya sendiri. Aswaja tidak memiliki patokan yang baku tentang negara. Suatu negara diberi kebebasan menentukan bentuk pemerintahannya, bisa demokrasi, kerajaan, teokrasi ataupun bentuk yang lainnya. Aswaja hanya memberikan kriteria (syarat-syarat) yang harus dipenuhi oleh suatu negara. Sepanjang persyaratan tegaknya negara tersebut terpenuhi, maka negara tersebut bisa diterima sebagai pemerintahan yang sah dengan tidak mempedulikan bentuk negara tersebut. Sebaliknya, meskipun suatu negara memakai bendera Islam, tetapi di dalamnya terjadi banyak penyimpangan dan penyelewengan serta menginjak-injak sistem pemerintahan yang berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka praktik semacam itu tidaklah dibenarkan dalam Aswaja. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu negara tersebut adalah: a. Prinsip Syura (Musyawarah) Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS asy-Syura 42: 36-39: فَمَا أُوتِيتُم مِّن شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ. وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ. وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنتَصِرُونَ Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan lalim mereka membela diri. Menurut ayat di atas, syura (musyawarah) merupakan ajaran yang setara dengan iman kepada Allah (iman billah), tawakal, menghindari dosa-dosa besar (ijtinabul kaba'ir), memberi ma'af setelah marah, memenuhi titah ilahi, mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain sebagainya. Seakan­-akan musyawarah merupakan suatu bagian integral dan hakekat Iman dan Islam. b. Al-'Adl (Keadilan) Menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam terutama bagi penguasa (wulat) dan para pemimpin pemerintahan (hukkam) terhadap rakyat dan umat yang dipimpin. Hal ini didasarkan kepada QS An-Nisa' 4:58 إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً Sesungguhnya Allah meyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanyaa dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat. c. Al-Hurriyyah (Kebebasan) Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan hak-hak mereka. Hak­-hak tersebut dalam syari'at dikemas dalam al-Ushul al­Khams (lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut adalah: a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dirniliki warga negara (rakyat). b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya. c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dirniliki oleh warga negara. d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara. e) Hifzhul 'lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara. Kelima prinsip di atas beserta uraian derivatifnya dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak Asasi Manusia (HAM). d. Al-Musawah (Kesetaraan Derajat) Semua warga negara haruslah mendapat perlakuan yang sama. Semua warga negara memiliki kewajiban dan hak yang sama pula. Sistem kasta atau pemihakan terhadap golongan, ras, jenis kelamin atau pemeluk agama tetlentu tidaklah dibenarkan. Dari beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya sistem pemerintahan yang mendekati kriteria di atas adalah sistem demokrasi. Demokrasi yang dimaksud adalah sistem pemerintahan yang bertumpu kepada kedaulatan rakyat. Jadi kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan rakyat (civil sociery) sebagai amanat dari Allah. Harus kita akui, bahwa istilah "demokrasi" tidak pemah dijumpai dalam bahasa Al-Qur’an maupun wacana hukum Islam klasik. Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa. Namun, harus diakui bahwa nilai­nilai yang terkandung di dalamnya banyak menyerupai prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara menurut Aswaja. Dalam era globalisasi di mana kondisi percaturan politik dan kehidupan umat manusia banyak mengalami perubahan yang mendasar, misalnya kalau dulu dikenal komunitas kabilah, saat ini sudah tidak dikenallagi bahkan kondisi umat manusia sudah menjadi "perkampungan dunia", maka demokrasi harus dapat ditegakkan. Pada masa lalu banyak banyak ditemui ghanimah (harta rampasan perang) sebagai suatu perekonomian negara. Sedangkan pada saat ini sistem perekonomian tersebut sudah tidak dikenal lagi. Perekonomian negara banyak diambil dari pajak dan pungutan lainnya. Begitu pula jika pada tempo dulu aqidah merupakan sentral kekuatan pemikiran, maka saat ini aqidah bukanlah merupakan satu­satunya sumber pijakan. Umat sudah banyak berubah kepada pemahaman aqidah yang bersifat plural. Dengan demikian, pemekaran pemikiran umat Islam haruslah tidak dianggap sebagai sesuatu hal yang remeh dan enteng, jika umat Islam tidak ingin tertinggal oleh bangsa-bangsa di muka bumi ini. Tentu hal ini mengundang konsekuensi yang mendasar bagi umat Islam sebab pemekaran terse but pasti banyak mengubah wacana pemikiran yang sudah ada (salaf/klasik) dan umat Islam harus secara dewasa menerima transformasi tersebut sepanjang tidak bertabrakan dengan hal-hal yang sudah paten (qath'iy). Sebagai contoh, dalam kehidupan bemegara (baca: demokrasi), umat Islam harus dapat menerima seorang pemimpin (presiden) dari kalangan non-muslim atau wanita. KH Said Aqil Siradj Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) www.nu.or.id
أدخل Doktrin Aswaja di Bidang Sosial-Politik 15/06/2009 Berdirinya suatu negara merupakan suatu keharusan dalam suatu komunitas umat (Islam). Negara tersebut dimaksudkan untuk mengayomi kehidupan umat, melayani mereka serta menjaga kemaslahatan bersama (maslahah musytarakah). Keharusan ini bagi faham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) hanyalah sebatas kewajiban fakultatif (fardhu kifayah) saja, sehingga –sebagaimana mengurus jenazah– jika sebagian orang sudah mengurus berdirinya negara, maka gugurlah kewajiban lainnya. Oleh karena itu, konsep berdirinya negara (imamah) dalam Aswaja tidaklah termasuk salah satu pilar (rukun) keimanan sebagaiman yang diyakini oleh Syi'ah. Namun, Aswaja juga tidak membiarkan yang diakui oleh umat (rakyat). Hal ini berbeda dengan Khawarij yang membolehkan komunitas umat Islam tanpa adanya seorang Imam apabila umat itu sudah bisa mengatur dirinya sendiri. Aswaja tidak memiliki patokan yang baku tentang negara. Suatu negara diberi kebebasan menentukan bentuk pemerintahannya, bisa demokrasi, kerajaan, teokrasi ataupun bentuk yang lainnya. Aswaja hanya memberikan kriteria (syarat-syarat) yang harus dipenuhi oleh suatu negara. Sepanjang persyaratan tegaknya negara tersebut terpenuhi, maka negara tersebut bisa diterima sebagai pemerintahan yang sah dengan tidak mempedulikan bentuk negara tersebut. Sebaliknya, meskipun suatu negara memakai bendera Islam, tetapi di dalamnya terjadi banyak penyimpangan dan penyelewengan serta menginjak-injak sistem pemerintahan yang berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka praktik semacam itu tidaklah dibenarkan dalam Aswaja. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu negara tersebut adalah: a. Prinsip Syura (Musyawarah) Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS asy-Syura 42: 36-39: فَمَا أُوتِيتُم مِّن شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ. وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ. وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنتَصِرُونَ Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan lalim mereka membela diri. Menurut ayat di atas, syura (musyawarah) merupakan ajaran yang setara dengan iman kepada Allah (iman billah), tawakal, menghindari dosa-dosa besar (ijtinabul kaba'ir), memberi ma'af setelah marah, memenuhi titah ilahi, mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain sebagainya. Seakan­-akan musyawarah merupakan suatu bagian integral dan hakekat Iman dan Islam. b. Al-'Adl (Keadilan) Menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam terutama bagi penguasa (wulat) dan para pemimpin pemerintahan (hukkam) terhadap rakyat dan umat yang dipimpin. Hal ini didasarkan kepada QS An-Nisa' 4:58 إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً Sesungguhnya Allah meyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanyaa dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat. c. Al-Hurriyyah (Kebebasan) Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan hak-hak mereka. Hak­-hak tersebut dalam syari'at dikemas dalam al-Ushul al­Khams (lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut adalah: a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dirniliki warga negara (rakyat). b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya. c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dirniliki oleh warga negara. d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara. e) Hifzhul 'lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara. Kelima prinsip di atas beserta uraian derivatifnya dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak Asasi Manusia (HAM). d. Al-Musawah (Kesetaraan Derajat) Semua warga negara haruslah mendapat perlakuan yang sama. Semua warga negara memiliki kewajiban dan hak yang sama pula. Sistem kasta atau pemihakan terhadap golongan, ras, jenis kelamin atau pemeluk agama tetlentu tidaklah dibenarkan. Dari beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya sistem pemerintahan yang mendekati kriteria di atas adalah sistem demokrasi. Demokrasi yang dimaksud adalah sistem pemerintahan yang bertumpu kepada kedaulatan rakyat. Jadi kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan rakyat (civil sociery) sebagai amanat dari Allah. Harus kita akui, bahwa istilah "demokrasi" tidak pemah dijumpai dalam bahasa Al-Qur’an maupun wacana hukum Islam klasik. Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa. Namun, harus diakui bahwa nilai­nilai yang terkandung di dalamnya banyak menyerupai prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara menurut Aswaja. Dalam era globalisasi di mana kondisi percaturan politik dan kehidupan umat manusia banyak mengalami perubahan yang mendasar, misalnya kalau dulu dikenal komunitas kabilah, saat ini sudah tidak dikenallagi bahkan kondisi umat manusia sudah menjadi "perkampungan dunia", maka demokrasi harus dapat ditegakkan. Pada masa lalu banyak banyak ditemui ghanimah (harta rampasan perang) sebagai suatu perekonomian negara. Sedangkan pada saat ini sistem perekonomian tersebut sudah tidak dikenal lagi. Perekonomian negara banyak diambil dari pajak dan pungutan lainnya. Begitu pula jika pada tempo dulu aqidah merupakan sentral kekuatan pemikiran, maka saat ini aqidah bukanlah merupakan satu­satunya sumber pijakan. Umat sudah banyak berubah kepada pemahaman aqidah yang bersifat plural. Dengan demikian, pemekaran pemikiran umat Islam haruslah tidak dianggap sebagai sesuatu hal yang remeh dan enteng, jika umat Islam tidak ingin tertinggal oleh bangsa-bangsa di muka bumi ini. Tentu hal ini mengundang konsekuensi yang mendasar bagi umat Islam sebab pemekaran terse but pasti banyak mengubah wacana pemikiran yang sudah ada (salaf/klasik) dan umat Islam harus secara dewasa menerima transformasi tersebut sepanjang tidak bertabrakan dengan hal-hal yang sudah paten (qath'iy). Sebagai contoh, dalam kehidupan bemegara (baca: demokrasi), umat Islam harus dapat menerima seorang pemimpin (presiden) dari kalangan non-muslim atau wanita. KH Said Aqil Siradj Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) www.nu.or.id
أدخل Doktrin Aswaja di Bidang Sosial-Politik 15/06/2009 Berdirinya suatu negara merupakan suatu keharusan dalam suatu komunitas umat (Islam). Negara tersebut dimaksudkan untuk mengayomi kehidupan umat, melayani mereka serta menjaga kemaslahatan bersama (maslahah musytarakah). Keharusan ini bagi faham Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) hanyalah sebatas kewajiban fakultatif (fardhu kifayah) saja, sehingga –sebagaimana mengurus jenazah– jika sebagian orang sudah mengurus berdirinya negara, maka gugurlah kewajiban lainnya. Oleh karena itu, konsep berdirinya negara (imamah) dalam Aswaja tidaklah termasuk salah satu pilar (rukun) keimanan sebagaiman yang diyakini oleh Syi'ah. Namun, Aswaja juga tidak membiarkan yang diakui oleh umat (rakyat). Hal ini berbeda dengan Khawarij yang membolehkan komunitas umat Islam tanpa adanya seorang Imam apabila umat itu sudah bisa mengatur dirinya sendiri. Aswaja tidak memiliki patokan yang baku tentang negara. Suatu negara diberi kebebasan menentukan bentuk pemerintahannya, bisa demokrasi, kerajaan, teokrasi ataupun bentuk yang lainnya. Aswaja hanya memberikan kriteria (syarat-syarat) yang harus dipenuhi oleh suatu negara. Sepanjang persyaratan tegaknya negara tersebut terpenuhi, maka negara tersebut bisa diterima sebagai pemerintahan yang sah dengan tidak mempedulikan bentuk negara tersebut. Sebaliknya, meskipun suatu negara memakai bendera Islam, tetapi di dalamnya terjadi banyak penyimpangan dan penyelewengan serta menginjak-injak sistem pemerintahan yang berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka praktik semacam itu tidaklah dibenarkan dalam Aswaja. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu negara tersebut adalah: a. Prinsip Syura (Musyawarah) Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS asy-Syura 42: 36-39: فَمَا أُوتِيتُم مِّن شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا عِندَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَى لِلَّذِينَ آمَنُوا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ. وَالَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَائِرَ الْإِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ وَإِذَا مَا غَضِبُوا هُمْ يَغْفِرُونَ. وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ. وَالَّذِينَ إِذَا أَصَابَهُمُ الْبَغْيُ هُمْ يَنتَصِرُونَ Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia, dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan lalim mereka membela diri. Menurut ayat di atas, syura (musyawarah) merupakan ajaran yang setara dengan iman kepada Allah (iman billah), tawakal, menghindari dosa-dosa besar (ijtinabul kaba'ir), memberi ma'af setelah marah, memenuhi titah ilahi, mendirikan shalat, memberikan sedekah, dan lain sebagainya. Seakan­-akan musyawarah merupakan suatu bagian integral dan hakekat Iman dan Islam. b. Al-'Adl (Keadilan) Menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam terutama bagi penguasa (wulat) dan para pemimpin pemerintahan (hukkam) terhadap rakyat dan umat yang dipimpin. Hal ini didasarkan kepada QS An-Nisa' 4:58 إِنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ النَّاسِ أَن تَحْكُمُواْ بِالْعَدْلِ إِنَّ اللّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِ إِنَّ اللّهَ كَانَ سَمِيعاً بَصِيراً Sesungguhnya Allah meyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanyaa dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat. c. Al-Hurriyyah (Kebebasan) Kebebasan dimaksudkan sebagai suatu jaminan bagi rakyat (umat) agar dapat melakukan hak-hak mereka. Hak­-hak tersebut dalam syari'at dikemas dalam al-Ushul al­Khams (lima prinsip pokok) yang menjadi kebutuhan primer (dharuri) bagi setiap insan. Kelima prinsip tersebut adalah: a) Hifzhun Nafs, yaitu jaminan atas jiwa (kehidupan) yang dirniliki warga negara (rakyat). b) Hifzhud Din, yaitu jaminan kepada warga negara untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya. c) Hifzhul Mal, yaitu jaminan terhadap keselamatan harta benda yang dirniliki oleh warga negara. d) Hifzhun Nasl, yaitu jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara. e) Hifzhul 'lrdh, yaitu jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara. Kelima prinsip di atas beserta uraian derivatifnya dalam era sekarang ini lebih menyerupai Hak Asasi Manusia (HAM). d. Al-Musawah (Kesetaraan Derajat) Semua warga negara haruslah mendapat perlakuan yang sama. Semua warga negara memiliki kewajiban dan hak yang sama pula. Sistem kasta atau pemihakan terhadap golongan, ras, jenis kelamin atau pemeluk agama tetlentu tidaklah dibenarkan. Dari beberapa syarat tersebut tidaklah terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa sebenarnya sistem pemerintahan yang mendekati kriteria di atas adalah sistem demokrasi. Demokrasi yang dimaksud adalah sistem pemerintahan yang bertumpu kepada kedaulatan rakyat. Jadi kekuasaan negara sepenuhnya berada di tangan rakyat (civil sociery) sebagai amanat dari Allah. Harus kita akui, bahwa istilah "demokrasi" tidak pemah dijumpai dalam bahasa Al-Qur’an maupun wacana hukum Islam klasik. Istilah tersebut diadopsi dari para negarawan di Eropa. Namun, harus diakui bahwa nilai­nilai yang terkandung di dalamnya banyak menyerupai prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dalam berbangsa dan bernegara menurut Aswaja. Dalam era globalisasi di mana kondisi percaturan politik dan kehidupan umat manusia banyak mengalami perubahan yang mendasar, misalnya kalau dulu dikenal komunitas kabilah, saat ini sudah tidak dikenallagi bahkan kondisi umat manusia sudah menjadi "perkampungan dunia", maka demokrasi harus dapat ditegakkan. Pada masa lalu banyak banyak ditemui ghanimah (harta rampasan perang) sebagai suatu perekonomian negara. Sedangkan pada saat ini sistem perekonomian tersebut sudah tidak dikenal lagi. Perekonomian negara banyak diambil dari pajak dan pungutan lainnya. Begitu pula jika pada tempo dulu aqidah merupakan sentral kekuatan pemikiran, maka saat ini aqidah bukanlah merupakan satu­satunya sumber pijakan. Umat sudah banyak berubah kepada pemahaman aqidah yang bersifat plural. Dengan demikian, pemekaran pemikiran umat Islam haruslah tidak dianggap sebagai sesuatu hal yang remeh dan enteng, jika umat Islam tidak ingin tertinggal oleh bangsa-bangsa di muka bumi ini. Tentu hal ini mengundang konsekuensi yang mendasar bagi umat Islam sebab pemekaran terse but pasti banyak mengubah wacana pemikiran yang sudah ada (salaf/klasik) dan umat Islam harus secara dewasa menerima transformasi tersebut sepanjang tidak bertabrakan dengan hal-hal yang sudah paten (qath'iy). Sebagai contoh, dalam kehidupan bemegara (baca: demokrasi), umat Islam harus dapat menerima seorang pemimpin (presiden) dari kalangan non-muslim atau wanita. KH Said Aqil Siradj Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) www.nu.or.id
أدخلKarakter Tawassuth, Tawazun, I'tidal, dan Tasamuh dalam Aswaja 30/03/2009 ww.nu.or.id Ada tiga ciri utama ajaran Ahlussunnah wal Jamaah atau kita sebut dengan Aswaja yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya: Pertama, at-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWT: وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian. (QS al-Baqarah: 143). Kedua at-tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT: لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS al-Hadid: 25) Ketiga, al-i'tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8) Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah juga mengamalkan sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT: فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut. (QS. Thaha: 44) Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, "Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir'aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah". (Tafsir al-Qur'anil 'Azhim, juz III hal 206). Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut: (Lihat Khitthah Nahdliyah, hal 40-44) 1. Akidah. a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli. b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam. c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir. 2. Syari'ah a. Berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits dengan menggunanakan metode yang dapat dipertanggung­jawabkan secara ilmiah. b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang je1as (sharih/qotht'i). c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni). 3. Tashawwuf/ Akhlak a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam. b. Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu. c. Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu' (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros). 4. Pergaulan antar golongan a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing. b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda. c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai. d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam. 5. Kehidupan bernegara a. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa. b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama. c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah. d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik. 6. Kebudayaan a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama. b. Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal. c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al-­muhafazhatu 'alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah). 7. Dakwah a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT. b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas. c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah. KH Muhyidin Abdusshomad Pengasuh Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember
Jumat, 18 Desember 2009
Di tulis oleh Aji Setiawan : Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih Bak Pinang Dibelah Dua Bapak dan anak sama-sama ulama besar, sama-sama ahli hadits, sama-sama pendidik ulung dan bijak. Merekalah Habib Abdul Qadir dan Habib Abdullah. Masyarakat Malang dan sekitarnya mengenal dua tokoh ulama yang sama-sama kharismatik, sama-sama ahli hadits, sama-sama pendidik yang bijaksana. Mereka adalah bapak dan anak: Habib Abdul Qadir Bilfagih dan Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih. Begitu besar keinginan sang ayah untuk “mencetak” anaknya menjadi ulama besar dan ahli hadist – mewarisi ilmunya. Ketika menunaikan ibadah haji, Habib Abdul Qadir Bilfagih berziarah ke makam Rasulullah SAW di kompleks Masjid Nabawi, Madinah. Di sana ia memanjatkan doa kepada Allah SWT agar dikaruniai putra yang kelak tumbuh sebagai ulama besar, dan menjadi seorang ahli hadits. Beberapa bulan kemudian, doa itu dikabulkan oleh Allah SWT. Pada 12 Rabiul Awal 1355 H/1935 M, lahirlah seorang putra buah pernikahan Habib Abdul Qadir dengan Syarifah Ummi Hani binti Abdillah bin Agil, yang kemudian diberi nama Abdullah. Sesuai dengan doa yang dipanjatkan di makam Rasulullah SAW, Habib Abdul Qadir pun mencurahkan perhatian sepenuhnya untuk mendidik putra tunggalnya itu. Pendidikan langsung ayahanda ini tidak sia-sia. Ketika masih berusia tujuh tahun, Habib Abdullah sudah hafal Al-Quran. Hal itu tentu saja tidak terjadi secara kebetulan. Semua itu berkat kerja sama yang seimbang antara ayah yang bertindak sebagai guru dan anak sebagai murid. Sang guru mengerahkan segala daya upaya untuk membimbing dan mendidik sang putra, sementara sang anak mengimbanginya dengan semangat belajar yang tinggi, ulet, tekun, dan rajin. Menjelang dewasa, Habib Abdullah menempuh pendidikan di Lembaga Pendidikan At-Taroqi, dari madrasah ibtidaiyah hingga tsanawiyah di Malang, kemudian melanjutkan ke madrasah aliyah di Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah li Ahlis Sunnah Wal-Jama’ah. Semua lembaga pendidikan itu berada di bawah asuhan ayahandanya sendiri. Sebagai murid, semangat belajarnya sangat tinggi. Dengan tekun ia menelaah berbagai kitab sambil duduk. Gara-gara terlalu kuat belajar, ia pernah jatuh sakit. Meski begitu ia tetap saja belajar. Barangkali karena ingin agar putranya mewarisi ilmu yang dimilikinya, Habib Abdul Qadir pun berusaha keras mendidik Habib Abdullah sebagai ahli hadits. Maka wajarlah jika dalam usia relatif muda, Habib Abdullah telah hafal dua kitab hadits shahih, yakni Shahihul Bukhari dan Shahihul Muslim, lengkap dengan isnad dan silsilahnya. Tak ketinggalan kitab-kitab Ummahatus Sitt (kitab induk hadits), seperti Sunan Abu Daud, Sunan Turmudzy, Musnad Syafi’i, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal; Muwatha’ karya Imam Malik; An-Nawadirul Ushul karya Imam Hakim At-Turmudzy; Al-Ma’ajim ats-Tsalats karya Abul Qasim At-Thabrany, dan lain-lain. Tidak hanya menghafal hadits, Habib Abdullah juga memperdalam ilmu musthalah hadist, yaitu ilmu yang mempelajari hal ikhwal hadits berikut perawinya, seperti Rijalul Hadits, yaitu ilmu tentang para perawi hadits. Ia juga menguasai Ilmu Jahr Ta’dil (kriteria hadits yang diterima) dengan mempelajari kitab-kitab Taqribut Tahzib karya Ibnu Hajar Al-Asqallany, Mizanut Ta’dil karya Al-Hafidz adz-Dzahaby. Empat Madzhab Selain dikenal sebagai ahli hadits, Habib Abdullah juga memperdalam tasawuf dan fiqih, juga langsung dari ayahandanya. Dalam ilmu fiqih ia mempelajari kitab fiqih empat madzhab (Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali), termasuk kitab-kitab fiqih lain, seperti Fatawa Ibnu Hajar, Fatawa Ramli, dan Al-Muhadzdzab Imam Nawawi. Setelah ayahandanya mangkat pada 19 November 1962 (21 Jumadil Akhir 1382 H), otomatis Habib Abdullah menggantikannya, baik sebagai pengasuh pondok peantren, muballigh, maupun pengajar. Selain menjabat direktur Lembaga Pesantren Darul Hadits Malang, ia juga memegang beberapa jabatan penting, baik di pemerintahan maupun lembaga keagamaan, seperti penasihat menteri koordinator kesejahteraan rakyat, mufti Lajnah Ifta Syari’i, dan pengajar kuliah tafsir dan hadits di IAIN dan IKIP Malang. Ia juga sempat menggondol titel doktor dan profesor. Sebagaimana ayahandanya, Habib Abdullah juga dikenal sebagai pendidik ulung. Mereka bak pinang dibelah dua, sama-sama sebagai pendidik, sama-sama menjadi suri tedalan bagi para santri, dan sama-sama tokoh kharismatik yang bijak. Seperti ayahandanya, Habib Abdullah juga penuh perhatian dan kasih sayang, dan sangat dekat dengan para santri. Sebagai guru, ia sangat memperhatikan pendidikan santri-santrinya. Hampir setiap malam, sebelum menunaikan shalat Tahajjud, ia selalu mengontrol para santri yang sedang tidur. Jika menemukan selimut santrinya tersingkap, ia selalu membetulkannya tanpa sepengetahuan si santri. Jika ada santri yang sakit, ia segera memberikan obat. Dan jika sakitnya serius, ia akan menyuruh seseorang untuk mengantarkannya ke dokter. Seperti halnya ulama besar atau wali, pribadi Habib Abdullah mulia dan kharismatik, disiplin dalam menyikapi masalah hukum dan agama. Tanpa tawar-menawar, sikapnya selalu tegas: yang haq tetap dikatakannya haq, yang bathil tetap dikatakannya bathil. Sikap konsisten untuk mengamalkan amar ma’ruf nahi munkar itu tidak saja ditunjukkan kepada umat, tapi juga kepada pemerintah. Pada setiap kesempatan hari besar Islam atau hari besar nasional, Habib Abdullah selalu melancarkan saran dan kritik membangun – baik melalui pidato maupun tulisan. Habib Abdullah juga dikenal sebagai penulis artikel yang produktif. Media cetak yang sering memuat tulisannya, antara lain, harian Merdeka, Surabaya Pos, Pelita, Bhirawa, Karya Dharma, Berita Buana, Berita Yudha. Ia juga menulis di beberapa media luar negeri, seperti Al-Liwa’ul Islamy (Mesir), Al-Manhaj (Arab Saudi), At-Tadhammun (Mesir), Rabithathul Alam al-Islamy (Makkah), Al-Arabi (Makkah), Al-Madinatul Munawarah (Madinah). Habib Abdullah wafat pada hari Sabtu 24 Jumadil Awal 1411 H (30 November 1991) dalam usia 56 tahun. Ribuan orang melepas kepergiannya memenuhi panggilan Allah SWT. Setelah dishalatkan di Masjid Jami’ Malang, jenazahnya dimakamkan berdampingan dengan makam ayahandanya di pemakaman Kasin, Malang, Jawa Timur. sumbe blog:http://qomarfauzie.wordpress.com/2007/05/09/habib-abdullah-bin-abdul-qodir-bil-faqih-al-alawi/ Dari Admin Kenapa Takut Bid'ah?أدخل
Kamis, 17 Desember 2009
Dalam hadits riwayat al-Imam Ahmad ibn Hanbal dan al-Imam al-Hakim disebutkan bahwa Rasulullah bersabda: لَتُفْتَحَنّ الْقِسْطَنْطِيْنِيّةُ فَلَنِعْمَ الْأمِيْرُ أمِيْرُهَا وَلَنِعْمَ الْجَيْشُ ذلِكَ الْجَيْشُ (رَوَاهُ أحْمَد والْحَاكمُ) “Kota Kostantinopel (Istanbul sekarang) benar-benar akan ditaklukan oleh seorang panglima. Panglima tersebut adalah sebaik-baiknya panglima dan sebaik-baiknya tentara” (HR Ahmad dan al-Hakim). Hadits ini baru menjadi sebuah kenyataan setelah sekitar 800 tahun kemudian dari masa hidupnya Rasulullah. Ialah ketika kota Istanbul takluk di tangan sultan Muhammad al-Fatih. Sebelum beliau, telah banyak panglima yang berusaha untuk menaklukan kota tersebut, termasuk ayah dari sultan Muhammad al-Fatih sendiri, yaitu sultan Murad ats-Tsani. Tentu mereka semua berkeinginan sebagai orang yang dimaksud oleh Rasulullah dalam pujiannya dalam hadits di atas. Namun ternyata hanya sultan Muhammad al-Fatih yang dapat menaklukan kota kostantinopel hingga jatuh secara penuh ke dalam kekuasaan kaum Muslimin. Sejarah telah mencatat bahwa sultan Muhammad al-Fatih adalah seorang yang dalam akidah pengikut al-Imam Abu al-Hasan Asy’ari yang sangat tulen. Dalam akidah, beliau sangat kuat memegang teguh Ahlussunnah Wal jama’ah di atas madzhab Asy’ariyyah. Beliau sangat mencintai para ulama dan kaum sufi. Dalam hampir segala keputusan yang beliau tetapkan adalah hasil dari pertimbangan-pertimbangan yang telah beliau musyawarahkan dengan para ulama dan kaum sufi terkemuka. Bahkan sebelum beliau memutuskan untuk turun menaklukan Kostantinopel beliau bermusyawarah dengan guru-guru spiritualnya tersebut. Musyawarah di sini tidak hanya terbatas untuk membentuk mental dan spirit semata, namun juga pembahasan tentang metode, alat-alat perang, perbekalan dan lain sebagainya. Kemudian salah satu senjata terpenting yang tertancap kuat dalam keyakinan sultan Muhammad al-Fatih adalah kekuatan tawassul. Karena itu, sebelum turun ke medan perang beliau bertawassul dengan Rasulullah. Beliau meminta kepada Allah agar diluluskan cita-citanya dengan menjadikan Rasulullah sebagai wasilah atau perantara dalam doanya tersebut. Dengan demikian hadits di atas, secara tersirat, memberikan pelajaran penting kepada kita bahwa tawassul adalah sesuatu yang telah disyari’atkan dalam Islam. Pujian Rasulullah terhadap panglima penakluk Kostantinopel dalam hadits di atas adalah salah satu bukti kuat akan kebenaran akidah yang diyakini oleh panglima tersebut. Juga bukti kebenaran akidah dari bala tentara atau orang-orang yang bersamanya. Mereka itu semua adalah kaum Asy’ariyyah, kaum yang berkeyakinan akan kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya. Berkeyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah, bahwa Allah suci dari segala bentuk dan ukuran, dan bahwa Allah tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Mereka adalah kaum yang berkeyakinan tentang disyari’atkannya tawassul, baik bertawassul dengan para Nabi, maupun betawassul dengan para wali Allah ataupun orang-orang saleh lainnya. Karenanya, tidak sedikit dari para pengikut sultan Muhammad al-Fatih adalah orang-orang mulia yang berasal kalangan sufi dan para pengikut tarekat. Ambilah Kabar Gembira ini......!!!!! Jangan anda sia-siakan......!!!!!!! Dari Admin Grup Mutawassil binnaby (Kholil Abulfateh)
فإذا قال الوهابي , حديث : ينزل ربنا كل ليلة إلى السماء الدنيا فقل له يوجد في صحيح البخاري الحديث بلفظ : يُنزِلُ أي بضم الياء , معناه يأمر الله ملكا , فينزل الملك إلى السماء الدنيا كل ليلة فينادي الملك : هل من داع فيعطيه الله , هل من مستغفر فيغفر الله له كما روى النسائي عن أبي هريرة و أبي سعيد الخدري الحديث بلفظ : فيأمر منادياً فيُنادي فيكون معنى (ينزل ربنا) أي : ينزل الملك بأمر ربنا و نسبة الفعل إلى الله يدل على أن نزول الملك بأمر الله و هذا في اللغة جائز , كما لو قيل عن الحاكم : فعل كذا و المعنى أنه أمر ففعلوا , هذا من حيث اللغة جائز و أما من حيث الشرع فهو الجمع بين الأحاديث , بعضها يفسر بعضا و أما قول الله تعالى : الرحمن على العرش استوى فليس معناه أن الله قعد أو جلس أو سكن أو استقر فوق العرش نعوذ بالله من عقيدة اليهود الله تعالى يقول : إنا أنزلناه قرءانا عربيا يقول أبو بكر العربي المالكي بأن كلمة (استوى) لها أكثر من أربعة عشر معنى في اللغة نأخذ المعنى الذي يليق بالله و نترك المعنى الذي لا يليق بالله و ذلك بما ورد في القرءن يعني : ما أطلق الله على نفسه أطلقناه عليه , و ما لا , فلا من معاني (استوى) في لغة العرب التي لا يجوز إطلاقها عل الله : جلس و قعد و استقر و نضج و الله تعالى لم يطلقها على نفسه في القرءان فلا نطلقها على الله كما فعل اليهود و من معاني (استوى) في لغة العرب : قهر و الله تعالى أطلق على نفسه في القرءان بأنه القهار قال تعالى : و هو الواحد القهار فيكون المعنى أن الله قاهر للعرش الذي هو أكبر المخلوقات حجما فكيف ببقية المخلوقات التي هي أصغر من العرش , فالله القهار فما أطلق الله على نفسه أطلقناه عليه , و ما لا , فلا و نحن مع القرءان فإن قالت الوهابية الحديث القدسي أن النبي قال : قال الله تعالى : المتحابون بجلالي أظلهم في ظلي يوم لا ظل إلا ظلي ليوهموا الناس أن الله جسم له ظل , و العياذ بالله من التجسيم قل لهم رواية (أحمد بن حنبل) عن العرباض بن سارية : أظلهم في ظل عرشي فإضافة الظل إلى الله , معناه : الظل الذي خلقه الله , و هو ظل عرشه كما في الرواية الأخرى التي رواها أحمد فماذا تقول الوهابية في أحمد بن حنبل ؟ و قد قال (شيخ الأزهر) سليم البشري المالكي من اعتقد أن الله جسم أو أنه مماس للسطح الأعلى من العرش و به قالت الكرامية و اليهود و هؤلاء لا نزاع في كفرهم نقله عنه الشيخ سلامة القضاعي في كتابه : فرقان القرءان ص 100 و الحمد لله رب العالمين ألوهابية يقولون عن اهل السنة والجماعة انهم تكفريين!!! ف? الحمد لله رب العالمين،وصلى الله على سيدنا محمد طه الأمين،وعلى آله وصحبه الطيبين الطاهرين ومن تبعهم بإحسان الى يوم الدين واشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له ولا ضد وند ولا زوجة ولا ولد له ولا شبيه ولا مثيل له ولا جسم ولا حجم ولا جسد ولا جثة له ولا صورة ولا اعضاء ولا كيفية ولا كمية له ولا اين ولا جهة ولا حيز ولا مكان له،كان الله ولا مكان وهو الآن على ما عليه كان،فلا تضربوا لله الأمثال،ولله المثل الأعلى،تنزه ربي عن الجلوس والقعود وعن الحركة والسكون وعن الاتصال والانفصال،لا يحل فيه شيء ولا يحل هو في شيء ولا ينحل منه شيء لأنه ليس كمثله شيء،مهما تصورت ببالك فالله لا يشبه ذلك، ومن وصف الله بمعنى من معاني البشر فقد كفر،واشهد ان سيدنا ونبينا وعظيمنا وقائدنا وقرة اعيننا محمدا عبده ورسوله ونبييه وصفيه وحبيبه وخليله...صلى الله عليه وعلى كل رسول ارسله ان من البلاء الذي نزل على الأمة الإسلامية فرقة تنتسب الى المسلمين واهل السنة والجماعة والحنابلة زورا وبهتانا كما ينتسب اليهود الى سيدنا موسى،فقاموا على تكفير الأمة وتكفير المسلمين بغير حق ومن دون دليل فحاربوا المسلمين وكفروهم وقتلوهم في بلادهم واغتصبوا ديارهم حتى انهم افتوا فتاوى تحرم على اهل فلسطين ان يبقوا في ارضهم وديارهم بل اوجبوا عليهم مغادرة بلادهم وتركها الى اليهود والعياذ بالله ومنهم من اجاز الصلح الدائم مع اليهود وكل هذا يدل على جهلهم وخبثهم بل وحقدهم على المسلمين وعلى اهل السنة والجماعة وعندما لم يستطيعوا على مواجهة اهل السنة والجماعة بالدليل والحجة والبرهان فقاموا بتكفيرهم في مصر وسوريا والشام والحجاز والحق انهم هم الكفار لأن الرسول صلى الله عليه وسلم يقول: من كفّر مسلما بغير حق فقد كفر وقال ايضا: من قال لأخيه يا كافر فقد باء بها احدهما فإن كان كما قال وإلا رجعت عليه....انتهى ابن باز يكفّر المسلمين كلهم في مصر فيقول: "أهل مصر أعظم ءالهتهم أحمد البدوي"...انتهى من تعليق ابن باز على كتابهم "فتح المجيد" ص216، دار أولي النهى. ابن باز اعمى البصر والبصيرة يكفر المسلمين كلهم في الشام فيقول عليه لعنة الله: "أهل الشام يعبدون ابن عربي"....انتهى من تعليق ابن باز على كتابهم "فتح المجيد" ص217، دار أولي النهى ابن باز المجسم المشبه الغارق في الكفر يكفر المسلمين في الحجاز فيقول عليه من الله ما يستحق: "انتشر فيهم عبادة الطواغيت والأشجار والأحجار والقبور"...انتهى تعليق ابن باز على كتابهم "فتح المجيد" ص217، دار أولي النهى وعلى هذا يا ابن باز ويا وهابية من هو المسلم بزعمكم؟؟؟ فقبلها كفرتم الأشاعرة والماتريدية وكفرتم اهل السنة والنووي عندكم ليس من اهل السنة كما قال الجاهل الآخر ابن عثيمين وابن حجر ذاك الحافظ الذي انتشر خيره في الشرق والغرب عندكم ليس على عقيدة اهل السنة والجماعة فمن عندكم مسلم يا وهابية اجيبونا!!!!!!لعنكم الله تعالى قوة المسلمين في التمسك بعقيدتهم و تعاليم دينهم على رغم أنف المعاند و المعادي ....... لواء محمد أبدا يرف الحمد لله رب العالمين و صلى الله و سلم على سيدنا محمد طه الأمين يقول الله تعالى في القرءان الكريم : قل الله خالق كل شيء و قال تعالى : ليس كمثله شيء وهو السميع البصير صدق الله العظيم و قال عليه الصلاة و السلام كان الله و لم يكن شيء غيره . رواه البخاري الله تعالى (خالق كل شيء) , فلا يحتاج إلى شيء الله خلق المكان , كان (قبل المكان) , بلا مكان المكان شيء غير الله الرسول صلى الله عليه و سلم يقول : كان الله و لم يكن شيء غيره و المكان شيء غيره و المكان ليس صفة لله , بل هو مخلوق لله عز وجل و بعد أن خلق المكان , لا يزال موجودا بلا مكان لأنه (لا يتغير) من حال إلى حال الله خلق السماوات و العرش كان (قبل السماوات و العرش) بلا سماوات و لا عرش و بعد أن خلق السماوات و العرش , لا يزال موجودا بلا سماوات و لا عرش لأنه لا يتغير الله خلق جهة فوق و تحت و الجهات كلها و العالم العلوي و السفلي و ما فيهم كان (قبل الجهات و الأماكن كلها) , بدونها و بعد أن خلقها , لا يحل فيها لأنه : لا يتغير سبحان الذي يغير , و لا يتغير موجود بلا كيف و لا مكان و لا جهة لأنه (ليس جسما كثيفا) كالإنسان و الشجر و الحجر , فهؤلاء (لهم أمكنة) تحويهم و (ليس جسما لطيفا) كالضوء و الروح و الريح , فهؤلاء أيضا (لهم أمكنة) تحويهم هو (النور) بمعنى (الهادي) و ليس بمعنى الضوء , كما قال ابن عباس رضي الله عنه بل هو خالق الضوء و الشعاع و الظلام و الروح و الريح قال تعالى : (و جعل الظلمات و النور) . أي : خلق الظلمات و خلق النور و قال تعالى : و يسألونك عن الروح قل الروح من أمر ربي صفات الله أزلية أبدية , ليس لها بداية , و ليس لها نهاية الله تعالى سميع بصير , يسمع لا كسمعنا , و يرى لا كما نرى , لا يتصور في الأذهان الله تعالى متكلم , كلامه لا ككلامنا , نحن نتكلم بحروف و أصوات و لغات و الله عز و جل يتكلم , بلا حرف و لا صوت و لا لغة , كما قال الإمام أبو حنيفة سبحانه و تعالى , عز و جل و تقدس , و تنزه عن الشكل و الهيئة و الصورة و الأعضاء هو خالقها (كان قبلها) فلا يتصف بها , بل جعلها ربي من صفات خلقه لا يشبه شيئا من خلقه , و لا يشبهه شيء , تبارك و تعالى لايحل فيه شيء , و لا ينحل منه شيء , و لا يحل هو في شيء لأنه ليس كمثله شيء , لم يلد و لم يولد , و لم يكن له كفوا أحد مهما تصورت ببالك , فالله بخلاف ذلك . أي : لا يشبه ذلك قال الله تعالى : فلا تضربوا لله الأمثال للإيضاح , لفظ (السلفية) هو لأهل القرون الثلاثة الأولى أي , من عصر النبي عليه السلام إلى ثلاثمائة سنة هجرية , عصر السلف الصالح أما الوهابية التي أتت بدين جديد باعتراف مؤسسها في كتابه و الكتاب جاهز للعرض فقد تسترت بستار (السلفية) لتوهم الناس أنها على عقيدة السلف الوهابية تتشبث بحديث الجارية و تفسره على غير معناه , لتوقع الناس في التجسيم الله تعالى متصف بالسمع و البصر و الكلام سمعه لا كسمعنا و بصره لا كبصرنا و كلامه لا ككلامنا نحن نتكلم بحرف و صوت و لغة عربية و غيرها من اللغات و الله تعالى كلامه ليس حرفا و لا صوتا و لا لغة كما قال أبو حنيفة رضي الله عنه و أما معنى حديث الجارية الذي رواه مسلم في صحيحه , أن الرسول صلى الله عليه و سلم قال لها : أين الله . فقالت في السماء , فقال من أنا . فقالت رسول الله فالحديث لم يصل إلينا وحدنا دون العلماء الذين سبقونا , بل شرحوه فمن العلماء من قال عنه (بهذا اللفظ) صحيح و منهم مسلم الذي رواه , و منهم الإمام النووي الشافعي الذي كان قبل ولادتنا و قبل ولادة مؤسس الوهابية و منهم من قال عنه (بهذا اللفظ) ضعيف , كالبخاري (شيخ مسلم) و البيهقي و غيرهما , و قد قال البيهقي عن الأحاديث الضعيفة بأنها : ليست حجة في العقيدة بل تفسير الأحاديث الضعيفة يكون موافقا للأحاديث القوية الإسناد والحديث هنا هو في العقيدة لنبدأ بمن اعتبره (بهذا اللفظ) صحيحا , و هو الإمام النووي فقد ألف كتابا سماه صحيح مسلم بشرح النووي , يقول فيه عن حديث الجارية , بأن الرسول لما قال : أين لم يسأل الجارية عن (المكان) بل مراده عن (المكانة) أي : ماذا تعتقدين في الله لأن لفظ (أين) في اللغة العربية يأتي سؤال عن المكان و المكانة و قول الجارية في السماء : ليس معناه يسكن السماء , بل هو علو الشأن و علو القدر , و ليس علو المكان و هذا موافق للشرع و اللغة العربية هذا قول النووي الذي اعتبر الحديث (بهذا اللفظ) صحيحا بل نقل إجماع الأمة المحمدية على أن الله لا يسكن السماء قال النووي الشافعي في شرح صحيح مسلم : قال القاضي عياض المالكي لا خلاف بين المسلمين قاطبة فقيههم ومحدثهم ومتكلمهم ونظارهم ومقلدهم أن الظواهر الواردة بذكر الله تعالى في السماء كقوله تعالى:{ءأمنتم من في السماء سورة الملك/16] ونحوه ليس على ظاهرها بل متأولة عند جميعهم هذا كلام من اعتبر الحديث بهذا اللفظ صحيحا و أما من اعتبره بهذا اللفظ ضعيفا كالبخاري الذي هو شيخ الإمام مسلم راوي الحديث فقد قال البخاري عنه في كتابه (خلق أفعال العباد) بأنه حديث مضطرب ضعيف يعني , ليس حجة في العقيدة , و مثله قال البيهقي لأنه ورد بلفظ آخر يختلف عن اللفظ الأول , فقد رواه ابن حبان بلفظ من ربك ... قالت : الله ذكرنا رواية ابن حبان , لتعدد الروايات و سنذكر رواية الإمام مالك صاحب المذهب المالكي لأنها أقوى إسنادا , فالإمام مالك سنده في الحديث أقوى من البخاري و مسلم لأن مالك في (بعض) طرق الحديث يكون بينه و بين رسول الله , رجلان فقط و كلما كان رجال الحديث بين الراوي و بين رسول الله أقل كلما قوي الإسناد يعني مالك يروي عن شيخه نافع (مولى ابن عمر) عن ابن عمر بن الخطاب مثلا , يقول مالك : حدثني نافع عن عبد الله بن عمر أن رسول الله قال ....و هكذا رواية مالك (الأقوى إسنادا) في الموطأ أن النبي عليه السلام قال : أتشهدين بالله قالت : نعم و رواية مالك و رواية ابن حبان كل منهما توافق الحديث (المتواتر) الذي رواه البخاري المتواتر أي جماعة نقلوه لجماعة ثم نقلوه لجماعة يستحيل اجتماعهم على الكذب الحديث (المتواتر) الذي رواه البخاري أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال : أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله و أن محمدا رسول الله و هذا الحديث رواه أكثر من خمسة عشر صحابيا معناه أن الدخول في دين الإسلام يكون بالنطق بالشهادتين , أو ما يعطي معناهما يعني حين كان يأتي , من يريد أن يسلم , إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم ما كان يقول لفظ : الله في السماء محمد رسول الله , كي يحكم الرسول بإسلامه بل كان يقول : أشهد أن لا إله إلا الله و أشهد أن محمدا رسول الله و هذا موافق لرواية ابن حبان أن النبي قال لها : من ربك ... قالت : الله معنى كلامها : لا رب إلا الله محمد رسول الله . و هذا يعطي معنى الشهادتين و موافق لرواية مالك أن النبي قال لها : أتشهدين بالله .... قالت نعم معنى كلامها : أشهد أن لا إله إلا الله و أشهد أن محمدا رسول الله و سأكتفي بنقل قول واحد عن المذاهب الأربعة يكفرون فيه من اعتقد أن الله جسم أو انه في جهة , كما هي عقيدة الوهابية في (المنهاج القويم) على المقدمة الحضرمية في الفقه الشافعي لعبد الله بن عبد الرحمن بن أبي بكر با فضل الحضرمي و في (المرقاة في شرح المشكاة) لملا علي القاري الحنفي ج3 و اعلم أن القرافي المالكي و غيره حكوا عن الشافعي و مالك و أحمد و أبي حنيفة رضي الله عنهم القول بكفر القائلين بالجهة و التجسيم و هم حقيقون بذلك تورد الوهابية حديثا بلفظ واحد ثم يفسرونه على هواهم بينما تجد أن الروايات الأخرى تشرح و تفسر بعضها و ليعلم أن خير تفسير للحديث , يكون بحديث ءاخر و خير تفسير للآية , يكون بآية أخرى هذا معنى ما قاله الحافظ العراقي في (ألفيته) : وخير ما فسرته بالوارد إذا قالت الوهابية حديث : ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء يريدون أن يوهموا الناس أن الله يسكن السماء , مع أن زعيمهم يصرح في كتبه يقول بأن الله يجلس و يقعد على العرش . و كلا القولين مخرج من الإسلام قل لهم روى الترمذي حديث : ارحموا من في الأرض يرحمكم ( من ) في السماء روى ((( أحمد ))) حديث : ارحموا من في الأرض يرحمكم ( الذين ) في السماء روى العراقي في(أماليه) : ارحموا من في الأرض يرحمكم ( أهل ) السماء فلماذا يتمسكون برواية و يتجاهلون بقية الروايات التي فيها أن المعنى من في السماء أي (الذين في السماء) أي (أهل السماء) و هم الملائكة مع أن من الروايات التي تتجاهلها الوهابية , رواية أحمد بن حنبل الذي تنتسب إليه الوهابية زورا و بهتانا , و هو بريء منهم ها هو أحمد يروي الحديث بلفظ (الذين) أي الملائكة فإذا اعترضت الوهابية على أحمد أيضا (و قد فعلوها) و قالوا : كيف ترحمنا الملائكة ؟ قل لهم قول الله تعالى عن الملائكة : و يستغفرون لمن في الأرض و قل له أيضا : أليس في الحديث المذكور , لفظ (ارحموا) ؟ معناه : نحن نتراحم فيما بيننا فكيف لا ترحمنا الملائكة بأن تستغفر لنا , كما ورد في القرءان ؟
فإذا قال الوهابي , حديث : ينزل ربنا كل ليلة إلى السماء الدنيا فقل له يوجد في صحيح البخاري الحديث بلفظ : يُنزِلُ أي بضم الياء , معناه يأمر الله ملكا , فينزل الملك إلى السماء الدنيا كل ليلة فينادي الملك : هل من داع فيعطيه الله , هل من مستغفر فيغفر الله له كما روى النسائي عن أبي هريرة و أبي سعيد الخدري الحديث بلفظ : فيأمر منادياً فيُنادي فيكون معنى (ينزل ربنا) أي : ينزل الملك بأمر ربنا و نسبة الفعل إلى الله يدل على أن نزول الملك بأمر الله و هذا في اللغة جائز , كما لو قيل عن الحاكم : فعل كذا و المعنى أنه أمر ففعلوا , هذا من حيث اللغة جائز و أما من حيث الشرع فهو الجمع بين الأحاديث , بعضها يفسر بعضا و أما قول الله تعالى : الرحمن على العرش استوى فليس معناه أن الله قعد أو جلس أو سكن أو استقر فوق العرش نعوذ بالله من عقيدة اليهود الله تعالى يقول : إنا أنزلناه قرءانا عربيا يقول أبو بكر العربي المالكي بأن كلمة (استوى) لها أكثر من أربعة عشر معنى في اللغة نأخذ المعنى الذي يليق بالله و نترك المعنى الذي لا يليق بالله و ذلك بما ورد في القرءن يعني : ما أطلق الله على نفسه أطلقناه عليه , و ما لا , فلا من معاني (استوى) في لغة العرب التي لا يجوز إطلاقها عل الله : جلس و قعد و استقر و نضج و الله تعالى لم يطلقها على نفسه في القرءان فلا نطلقها على الله كما فعل اليهود و من معاني (استوى) في لغة العرب : قهر و الله تعالى أطلق على نفسه في القرءان بأنه القهار قال تعالى : و هو الواحد القهار فيكون المعنى أن الله قاهر للعرش الذي هو أكبر المخلوقات حجما فكيف ببقية المخلوقات التي هي أصغر من العرش , فالله القهار فما أطلق الله على نفسه أطلقناه عليه , و ما لا , فلا و نحن مع القرءان فإن قالت الوهابية الحديث القدسي أن النبي قال : قال الله تعالى : المتحابون بجلالي أظلهم في ظلي يوم لا ظل إلا ظلي ليوهموا الناس أن الله جسم له ظل , و العياذ بالله من التجسيم قل لهم رواية (أحمد بن حنبل) عن العرباض بن سارية : أظلهم في ظل عرشي فإضافة الظل إلى الله , معناه : الظل الذي خلقه الله , و هو ظل عرشه كما في الرواية الأخرى التي رواها أحمد فماذا تقول الوهابية في أحمد بن حنبل ؟ و قد قال (شيخ الأزهر) سليم البشري المالكي من اعتقد أن الله جسم أو أنه مماس للسطح الأعلى من العرش و به قالت الكرامية و اليهود و هؤلاء لا نزاع في كفرهم نقله عنه الشيخ سلامة القضاعي في كتابه : فرقان القرءان ص 100 و الحمد لله رب العالمين
Adzan Berangkat Haji 20/10/2009 Rupanya tidak begitu lazim adzan disuarakan di kala ada seorang yang mau berangkat haji. Akhir-akhir ini yang dilakukan oleh calon jamaah haji ialah pamit sana sini, ke semua sesepuh, para ulama, kiai, dan tokoh masyarakat, kira-kira satu minggu sebelum hari keberangkatan. Bahkan ada yang menyelenggarakan pengajian akbar dengan mendatangkan muballigh/kiai di luar daerah. Maksudnya tidak lain adalah berpamitan dan minta maaf kepada saudara seiman sehubungan akan keberangkatannya pergi ibadah haji. Akan tetapi biasanya orang NU membuat acara demikian: pengantar protokolir, sambutan, doa calon jamaah haji, penutup dan adzan untuk keberangkatan. Adzan yang dikumandangkan orang NU ni bberdasarkan pada, pertama, penjelasan dalam kitab I’anatut Thalibin, Juz 1 hlm 23 berikut ini: قوله خلف المسافر—أي ويسنّ الأذان والإقامة أيضا خلف المسافر لورود حديث صحيخ فيه قال أبو يعلى في مسنده وابن أبي شيبه: أقول وينبغي أنّ محل ذالك مالم يكن سفر معصية "Kalimat 'menjelang bepergian bagi musafir' maksudnya dalah disunnahkan adzan dan iqomah bagi seseorang yang hendak bepergian berdasar hadits shahih. Abu Ya’la dalam Musnad-nya dan Ibnu Abi Syaibah mengatakan: Sebaiknya tempat adzan yang dimaksud itu dikerjakan selama bepergian asal tidak bertujuan maksiat." Dalil kedua diperoleh dari kitab yang sama: فائدة: لم يؤذن بلال لأحد بعد النبي صلى الله عليه وسلم غير مرة لعمر حين دخل الشام فبكى الناس بكاء شديدا – قيل إنه أذان لأبي يكر إلي أن مات ... الخ "Sahabat Bilal tidak pernah mengumandangkan adzan untuk seseorang setelah wafatnya Nabi Muhammad kecuali sekali. Yaitu ketika Umar bin Khattab berkunjung ke negeri Syam. Saat itu orang-orang menangis terharu sejadi-jadinya. Tapi ada khabar lain: Bilal mengumandangkan adzan pada waktu wafatnya Abu Bakar." Dalil ketiga, dalam Shahih Ibnu Hibban, Juz II, hal 36: من طريق أبي بكر والرذبري عن ابن داسة قال: حدثنا ابن محزوم قال حدثني الإمام على ابن أبي طالب كرم الله وجهه وسيدتنا عائشة رضي الله عنهم—كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا استودع منه حاج أو مسافر أذن وأقام – وقال ابن سني متواترا معنوي ورواه أبو داود والقرافي والبيهقي "Riwayat Abu Bakar dan Ar-Rudbari dari Ibnu Dasah, ia berkata: Ibnu Mahzum menceritakan kepadaku dari Ali dari Aisyah, ia mengatakan: Jika seorang mau pergi haji atau bepergian, ia pamit kepada Rasulullah, Rasul pun mengadzani dan mengomati. Hadits ini menurut Ibnu Sunni mutawatir maknawi. Juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Qarafi, dan al-Baihaqi." Demikian pula kata Imam al-Hafidz yang dikutip oleh Sayyid Abdullah Bafaqih, Madang. Menurutnya, hadits ini juga terdapat dalam Shahih Ibnu Hibban, Juz II, hal 36. KH Munawir Abdul Fattah Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta
Adzan Berangkat Haji 20/10/2009 Rupanya tidak begitu lazim adzan disuarakan di kala ada seorang yang mau berangkat haji. Akhir-akhir ini yang dilakukan oleh calon jamaah haji ialah pamit sana sini, ke semua sesepuh, para ulama, kiai, dan tokoh masyarakat, kira-kira satu minggu sebelum hari keberangkatan. Bahkan ada yang menyelenggarakan pengajian akbar dengan mendatangkan muballigh/kiai di luar daerah. Maksudnya tidak lain adalah berpamitan dan minta maaf kepada saudara seiman sehubungan akan keberangkatannya pergi ibadah haji. Akan tetapi biasanya orang NU membuat acara demikian: pengantar protokolir, sambutan, doa calon jamaah haji, penutup dan adzan untuk keberangkatan. Adzan yang dikumandangkan orang NU ni bberdasarkan pada, pertama, penjelasan dalam kitab I’anatut Thalibin, Juz 1 hlm 23 berikut ini: قوله خلف المسافر—أي ويسنّ الأذان والإقامة أيضا خلف المسافر لورود حديث صحيخ فيه قال أبو يعلى في مسنده وابن أبي شيبه: أقول وينبغي أنّ محل ذالك مالم يكن سفر معصية "Kalimat 'menjelang bepergian bagi musafir' maksudnya dalah disunnahkan adzan dan iqomah bagi seseorang yang hendak bepergian berdasar hadits shahih. Abu Ya’la dalam Musnad-nya dan Ibnu Abi Syaibah mengatakan: Sebaiknya tempat adzan yang dimaksud itu dikerjakan selama bepergian asal tidak bertujuan maksiat." Dalil kedua diperoleh dari kitab yang sama: فائدة: لم يؤذن بلال لأحد بعد النبي صلى الله عليه وسلم غير مرة لعمر حين دخل الشام فبكى الناس بكاء شديدا – قيل إنه أذان لأبي يكر إلي أن مات ... الخ "Sahabat Bilal tidak pernah mengumandangkan adzan untuk seseorang setelah wafatnya Nabi Muhammad kecuali sekali. Yaitu ketika Umar bin Khattab berkunjung ke negeri Syam. Saat itu orang-orang menangis terharu sejadi-jadinya. Tapi ada khabar lain: Bilal mengumandangkan adzan pada waktu wafatnya Abu Bakar." Dalil ketiga, dalam Shahih Ibnu Hibban, Juz II, hal 36: من طريق أبي بكر والرذبري عن ابن داسة قال: حدثنا ابن محزوم قال حدثني الإمام على ابن أبي طالب كرم الله وجهه وسيدتنا عائشة رضي الله عنهم—كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا استودع منه حاج أو مسافر أذن وأقام – وقال ابن سني متواترا معنوي ورواه أبو داود والقرافي والبيهقي "Riwayat Abu Bakar dan Ar-Rudbari dari Ibnu Dasah, ia berkata: Ibnu Mahzum menceritakan kepadaku dari Ali dari Aisyah, ia mengatakan: Jika seorang mau pergi haji atau bepergian, ia pamit kepada Rasulullah, Rasul pun mengadzani dan mengomati. Hadits ini menurut Ibnu Sunni mutawatir maknawi. Juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Qarafi, dan al-Baihaqi." Demikian pula kata Imam al-Hafidz yang dikutip oleh Sayyid Abdullah Bafaqih, Madang. Menurutnya, hadits ini juga terdapat dalam Shahih Ibnu Hibban, Juz II, hal 36. KH Munawir Abdul Fattah Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta
Disadur dari kolom berjudul "Konsep Ahlussunnah wal Jama'ah tentang Etika (1)" 08/11/2006 Oleh: Dr. Hj. Sri Mulyati, MA sumber: www.nu.or.id Dalam kajian Islam pembahasan yang menyangkut akidah akan ada hubungannya dengan istilah Ahlussunnah wal Jama’ah (dingkat dalam bahasa Indonesia aswaja), dan dapatlah dipastikan referensinya yaitu doktrinal kalam madzhab terutama al-Asy’ari dan al-Maturidi. Perkembangan istilah ini makin lama kelihatan makin resmi menjadi disiplin keilmuan Islam yang berkembang dan mencakup diskursus Islam lainnya yaitu bidang syari’ah (fiqh) dan bidang akhlak (tasawuf). Inilah yang disebut dengan istilah “'urf khas” bagi aswaja, karena setiap lafadz mengandung makna hakekat dan majaz, keduanya adakalanya lughawi, syar’i dan atau ‘urfi, untuk ‘urfi adakalanya ‘aam (umum) dan adakalanya khosh (khusus). Dalam perkembangan selanjutnya, terutama dalam konteks Nahdlatul Ulama, dalam hal ‘aqidah pengertiannya adalah madzhab Asy’ari atau Asy’ariyah dan Maturidiyah, dalam hal fiqh pengertiannya adalah empat madzhab besar Islam, yaitu Maliki, Syafi’I, Hanafi, Hanbali. Dan dalam hal akhlak atau tasawuf pengertiannya ialah doktrinal tasawuf al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi. Dalam Islam manhaj berfikir selama ini secara ringkas dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu yang memberi otoritas lebih tinggi kepada akal, kelompok yang menganggap lemah terhadap akal dan kelompok yang bervariasi diantara dua kelompok yang pertama. Apabila manhaj itu dihubungkan dengan faham aqidah maka peran akal dan naql berhubungan dengan masalah tuhan dan hubungan manusia dengan Nya, dan apabila dihubungkan dengan masalah fiqh maka peran akal dan naql itu berhubungan dengan perbuatan manusia (mukallaf), sedangkan dalam konteks akhlak atau tasawuf maka peran akal atau naql berhubungan dengan faham tentang hubungan spiritual anata manusia dengan Tuhan. Baik dalam ruang lingkup akidah, fiqh dan tasawuf faham aswaja memiliki prinsip manhaj berfikir secara garis besar, taqdimun nash ‘alal ‘aql yaitu berorientasi mengutamakan nash (literatur tertulis) dari pada akal, aswaja tidak terlalu banyak menggunakan ta’wil, sehingga memberi pengertian bahwa nash dalam agama harus selalu sejalan dengan makna yang ditangkap oleh akal, akal hanyalah alat bantu untuk memahami nash, dan akal seringkali salah daya tangkapnya. Semua faham yang manhaj berfikir seperti itu kemudian disebut sebagai faham Sunni. Awalnya gerakan ini adalah gerakan pemikiran (manhajul fikr), kemudian berkembang semacam institusi dalam bentuk firqah atau madzhab dan atau aliran. Kemudian menjadi semakin besar dan seringkali memicu konflik antara sesama muslim. Karenanya yang penting untuk dipelajari dalam membangun kedewasaan dan bermadzhab ialah memperkenalkan pola madzhab aswaja agar diketahui, sekurang-kurangnya: bahwa madzhab adalah institusi dari paradigma berfikir keislaman yang tidak absolut sebagai upaya mencari kebenaran menurut pendekatan yang diyakini, dan semuanya adalah bersifat ijtihadi, yang pasti benar adalah nash-nash agama, sedangkan penafsirannya hanyalah usaha untuk memahami nash (literatur tertullis) dengan jalan atau metode yang diyakini mengantarkan kepada kebenaran. Implementasi Nilai-nilai AhlusSunnah wal Jama’ah Adapun pertanyaan bagaimana mangaktualisasikan AhlusSunnah wal Jama’ah dan mengimplementasikannya di lapangan menjadi hal yang sangat signifikan untuk dicari jawabannya. Seperti yang kita ketahui bahwa koridor bagi pemahaman keagamaan di lingkungan NU adalah taqdim al-nash ‘ala al-‘aql (menadhulukan nash/ dalil literatur atas akal). Itulah sebabnya mengapa dalam mengimplementasikan faham AhlusSunnah wal Jama’ah NU mengenal hierarki sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an, lalu as-Sunnah, kemudian ijma’ (kesepakatan jumhur ulama) dan qiyas (pengambilan hukum melalui metode analogi tertentu). Konteks hierarki maksudnya suatu hukum baru akan digunakan jika dalam sumber di atasnya tidak ditentukan ketetapannya. Hierarki sumber ini berlaku untuk semua aspek keagamaan, aqidah, syari’ah atau fiqh maupun akhlak. Hierarki semacam ini secara implisit juga tergambar dalam pernyataan Imam Asy’ari ketika memproklamirkan fahamnya didepan publik, bahwa sandaran otoritas pendapat dan keyakinan yang dianutnya adalah berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah Rasullah, atsar sahabat, perkataan tabi’in, pembela hadist dan apa yang dikatakan oleh Ahmad ibn Hanbal. Hooker memberi apresiasi yang tinggi seraya mencatat bahwa NU selalu merasa peduli terhadap metode yang benar dan sangat hati-hati. Dalam mengeluarkan fatwa. Contoh dalam fatwa No. 2/1926 masalah hierarki sumber hukum dibahas sedemikian rupa dalam rangka memberi batasan-batasan yang hati-hati dalam mengeluarkan fatwa. Pada awalnya metode perumusan fatwa diambil dari konsensus (ijma’) Imam Nawawi dan Imam Rafi’i, jika masih belum berhasil, lalu yang dijadikan rujukan adalah ulama madzhab Syafi’i. regulasi pengambilan sumber semisal ini, kemudian menjadikan NU terkesan konservatisme traditional, yang oleh kebanyakan pemikir “modern” semata-mata diartikan sebagai taqlid. Pemberian atribut seperti ini menurut Hooker sesungguhnya terlalu berlebihan dan patut dipertanyakan bahkan dapat menjadi kekeliruan serius. Kenyataan bahwa tidak setiap orang mampu secara rinci memahami persoalan-persolan keagamaan, termasuk bagaimana menemukan persoalan-persoalan keagamaan dan menemukan dasar-dasarnya dalam al-Qur’an dan hadist haruslah ditempatkan dalam konteks yang berbeda. Ini merupakan alasan yang paling kuat mengapa K.H.M Hasyim Asy’ari mewajibkan taklid bagi setiap orang yang tidak mempunyai kemampuan beritjihad secara mutlak. Sebagai tambahan, kita juga tidak mungkin mengingkari realitas objektif bahwa jumlah orang awam terhadap masalah hukum Islam lebih besar dibanding dengan mereka yang menguasainya, itulah sebabnya mengapa kebutuhan bermadzhab masih relevan. Sesungguhnya proses pengambilan hukum yang dilakukan ulama pada dasarnya adalah tak dapat melepaskan diri dari meteologi itjihad yang telah dibangun ulama terdahulu, yang berladaskan pada dasar yang kokoh, tidak mulai dari nol, tetapi harus mengikuti para pendahulu dalam hal sistematika pemikirannya, inilah yang dimaksud dengan taklid metodologis/madzhab manhaji) bukan produk pemikirannya yang kemudian dibakukan. Taklid semacam ini tetap membutuhkan sikap kritis, ide-ide segar yang mampu merespons perkembangan zaman, sehingga kesimpulan hukum yang diambil relevan dan mampu menjawab realitas zaman. Menurut K.H Achmad Shiddiq, faham AhlusSunnah wal Jama’ah harus berlandaskan tiga karakter, yaitu : 1. Tasawuth, atau sikap moderat dalam seluruh aspek kehidupan, 2. Al-i’tidal atau bersikap tegak lurus dan selalu condong kepada kebenaran dan keadilan, dan 3. At-tawazun yakni sikap keseimbangan dan penuh pertimbangan Tiga karakter tersebut sangat diperlukan untuk menghindarkan tatharruf atau sikap ekstrim dalam segala aspek kehidupan. Hal ini sesungguhnya merupakan implementasi dari kekukuhan NU memegang prinsip-prinsip keagamaan yang telah dirumuskan ulama terdahulu, diantara prinsip tersebut adalah al-‘Adah al-Muhakkamah yakni sebuah tradisi yang kemudian menjelma menjadi semacam pranata sosial. Maksudnya adalah rumusan hukum yang tidak bersifat absolut dapat ditata selaras dengan subkultur sebuah komunitas masyarakat menurut ruang dan waktunya dengan mengacu kepada kesejahteraan dan kebaikan mereka. Hal ini dapat dilakukan selama tidak kontradiksi dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersifat qath’i, dalil-dalil yang merupakan kaidah umum dan prinsip-prinsip universal. Al-‘Adah al-Muhakkamah menjadikan performance Islam sebagai agama yang dinamis dan membumi dan selalu aktual ditengah-tengah masyarakat, dan menampilkan Islam sebagai agama yang mampu menjawab tantangan zaman dan tuntutan ummat tanpa dibatasi ruang dan waktu. Madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah 09/05/2007 Ahlussunnah Waljama’ah merupakan akumulasi pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang yang dihasilkan para ulama untuk menjawab persoalan yang muncul pada zaman tertentu. Karenanya, proses terbentuknya Ahlussunnah Waljama’ah sebagai suatu faham atau madzhab membutuhkan jangka waktu yang panjang. Seperti diketahui, pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang, seperti ilmu Tauhid, Fiqih, atau Tasawuf terbentuk tidak dalam satu masa, tetapi muncul bertahap dan dalam waktu yang berbeda. Madzhab adalah metode memahami ajaran agama. Di dalam Islam ada berbagai macam madzhab, di antaranya; madzhab politik, seperti Khawarij, Syi’ah dan Ahlus Sunnah; madzhab kalam, contoh terpentingnya Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah; dan madzhab fiqh, misal yang utama adalah Malikiyah, Syafi’iyah, Hanafiyah dan Hanbaliyah, bisa juga ditambah dengan Syi’ah, Dhahiriyah dan Ibadiyah (al-Mausu’ah al-‘Arabiyah al-Muyassaraah, 1965: 97). Istilah Ahlussunah wal jama’ah terdiri dari tiga kata, "ahlun", "as-sunah" dan "al-jama’ah". Ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan, bukan sesuatu yang tak terpisah-pisah. a. Ahlun Dalam kitab Al-Munjid fil-Lughah wal-A’alam, kata "ahl" mengandung dua makna, yakni selain bermakna keluarga dan kerabat, "ahl" juga dapat berarti pemeluk aliran atau pengikut madzhab, jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab sebagaimana tercantum pada Al-Qamus al-Muhith. Adapun dalam Al-Qur’an sendiri, sekurangnya ada tiga makna "ahl": pertama, "ahl" berarti keluarga, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Hud ayat 45 : رَبِّ اِنَّ ابْنِى مِنْ أَهْلِى (الهود: 45 “Ya Allah sesungguhnya anakku adalah dari keluargaku”. Juga dalam surat Thoha ayat 132: وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَوةِ (طه: 132 “Suruhlah keluargamu untuk mengerjakan sholat” Kedua, "ahl" berarti penduduk, seperti dalam firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-A’rof ayat 96. وَلَوْاَنَّ أَهْلَ اْلقُرَى ءَ امَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَاْللآَرْض (الآعراف:96 “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa, maka kami bukakan atas mereka keberkahan dari langit dan bumi.” Ketiga, ahl berarti orang yang memiliki sesuatu disiplin ilmu; (Ahli Sejarah, Ahli Kimia). Dalam Al-Qur’an Allah berfirman surat An-Nahl ayat 43. فَسْئَلُوْاأَهْلَ الذِكْرِاِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ (النحل: 43 “Bertanyalah kamu sekalian kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. b. As-Sunnah Menurut Abul Baqa’ dalam kitab Kulliyyat secara bahasa, "as-sunnah" berarti jalan, sekalipun jalan itu tidak disukai. Arti lainnya, ath-thariqah, al-hadits, as-sirah, at-tabi’ah dan asy-syari’ah. Yakni, jalan atau sistem atau cara atau tradisi. Menurut istilah syara’, as-Sunnah ialah sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalani dalam agama, sebagaimana dipraktekkan Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan ataupun persetujuan Nabi SAW. Maka dalam hal ini As-sunnah dibagi menjadi 3 macam. Pertama, As-sunnah al-Qauliyah yaitu sunnah Nabi yang berupa perkataan atau ucapan yang keluar dari lisan Rasulullah SAW Kedua, As-Sunnah Al-Fi’liyyah yakni sunnah Nabi yang berupa perbuatan dan pekerjaan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Ketiga, As-Sunnah at-Taqririyah yakni segala perkataan dan perbuatan shahabat yang didengar dan diketahui Nabi Muhammad SAW kemudian beliau diam tanda menyetujuinya. Lebih jauh lagi, as-sunnah juga memasukkan perbuatan, fatwa dan tradisi para Sahabat (atsarus sahabah). c. Arti Kata Al-Jama’ah Menurut Al-Munjid, kata "al-jama’ah" berarti segala sesuatu yang terdiri dari tiga atau lebih. Dalam Al-Mu’jam al-Wasith, al-jama’ah adalah sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Adapun pengertian "al-jama’ah" secara syara’ ialah kelompok mayoritas dalam golongan Islam. Dari pengertian etimologis di atas, maka makna Ahlussunnah wal jama’ah dalam sejarah Islam adalah golongan terbesar ummat Islam yang mengikuti sistem pemahaman Islam, baik dalam tauhid dan fiqih dengan mengutamakan dalil Al-Qur’an dan Hadits dari pada dalil akal. Hal itu, sebagaimana tercantum dalam sunnah Rasulullah SAW dan sunnah Khulafaurrasyidin RA. Istilah Ahlussunnah Waljama’ah dalam banyak hal serupa dengan istilah Ahlussunnah Waljama’ah Wal-atsar, Ahlulhadits Wassunnah, Ahlussunnah Wal-ashab al-Hadits, Ahlussunnah Wal-istiqamah, dan Ahlulhaqq Wassunnah. Untuk menguatkan hal-hal di atas terdapat beberapa hadits yang dapat dikemukakan misalnya, dalam kitab Faidlul Qadir juz II, lalu kitab Sunan Abi Daud juz. IV, kitab Sunan Tirmidzy juz V, kitab Sunan Ibnu Majah juz. II dan dalam kitab Al-Milal wan Nihal juz. I. Secara berurutan, teks dalam kitab-kitab tersebut, sebagai berikut: عَنْ أَنَسٍ: اِنَّ اُمَّتِى لاَتجَتْمَعُِ عَلىَ ضَلاَ لَةٍ, فَاءِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلاَ فًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ “Dari Anas: sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan, maka apabila kamu melihat perbedaan pendapat maka kamu ikuti golongan yang terbanyak.” فَاءِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَ فًا كَثِيْرًا, فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتىِ وَسُنَّةِ اْلخُلَفَاءِ اْلمَهْدِبِيْنَ الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوْابِهَا وَعَضُّوْاعَلَيْهَابِالنَّوَاجِذِ. (رواه ابو داود “Sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kamu setelah wafatku maka ia akan melihat perselisihan-perselisihan yang banyak, maka hendaknya kamu berpegangan dengan sunnahku dan sunnah Khufaur-rasyidin yang mendapat hidayat, peganglah sunnahku dan sunnah Khulafaur-rasyidin dengan kuat dan gigitlsh dengan geraham.” اِنَّ بَنِى اِسْرَائِيْلَ تَفَرَّ قَتْ ثِنْنَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَ تَفْتَرِقُ أُمَّتىِ عَلَ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً, كُلُّهُمْ فىِالنَّارِ اِلأَّ مِلَّةً وَاحِدَ ةً, قَالُوْا: وَمَنْ هِىَ يَا رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ: مَااَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِى (رواه الترمذى “Sesungguhnya Bani Israil pecah menjadi 72 golongan dan ummatku akan pecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka, kecuali satu golongan, mereka bertanya: siapakah yang satu golongan itu ya Rasulullah? Rasulullah menjawab; mereka itu yang bersama aku dan sahabat-sahabatku.” عَنْ عَوْفٍ ابْنِ مَالِكٍ رَضِىاللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ اُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَاحِدَةٍ فِىاْلجَنّاةِ وَثِفْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِىالنَّارِ, قِيْلَ يَارَسُوْلَ اللهِ. مَنْ هُمْ ؟ قَالَ: الجَمَاعَةُ. “Dari Shahabat Auf r.a. berkata; Rasulullah bersabda; Demi yang jiwa saya ditangan-Nya, benar-benar akan pecah ummatku menjadi 73 golongan, satu masuk surga dan 72 golongan masuk neraka, ditanya siapa yang di surga Rasulullah? Beliau menjawab; golongan mayoritas (jama’ah). Dan yang dimaksud dengan golongan mayoritas mereka yang sesuai dengan sunnah para shahabat.” أَخْبَرَالنَّبِىُّ صلىاللهُ عليه وسلم سَتَفْتَرِقُ اُمَّتِى عَلىَ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً, النَّاجِيَةُ مِنْهَا وَاحِدَةٌ, وَاْلبَاقُوْنَ هَلْكَى, قِيْلَ: وَمَنِ النَّاجِبَةُ ؟ قَالَ: اَهْلُ السُّنَّةِ وَاْلحَمَاعَةِ, قِيْلَ: وَمَنْ أَهْلُ السُّنَّةِ وَاْلجَمَاعَةِ ؟ قَالَ: مَا اَنَاعَلَيْهِ وَاَصْحَابِى اْلجَمَاعَةُ اْلمُوَفِقُوْنَ ِلجَمَاعَةِ الصَّحَابَةِ. رواه ابى ماجة. “Menyampaikan Rasulullah SAW akan pecah ummatku menjadi 73 golongan, yang selamat satu golongan, dan sisanya hancur, ditanya siapakah yang selamat Rasulullah? Beliau menjawab Ahlussunnah wal Jama’ah, beliau ditanya lagi apa maksud dari Ahlussunnah wal Jama’ah? Beliau menjawab; golongan yang mengikuti sunnahku dan sunnah shahabatku”. KH Nuril Huda Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Ahlussunnah wal Jama'ah di Bumi Nusantara 14/01/2008 Secara geografis Nusantara –di mana Indonesia sebagai bagian darinya--merupakan wilayah strategis baik secara ekonomi dan politik serta pertahanan, karena posisinya pada perlintasan budaya antar benua. Dengan posisinya yang strategis itulah Nusantara menjadi perlintasan agama yang sangat penting. Kawasan ini mengalami perubahan budaya dan agama yang beruntun namun berjalan cukup damai. Kepercayaan Pagan, Hindu, Budha dan Islam secara dialektik telah menjadi tata nilai yang berjalan di kawasan Asia Tenggara. Nilai-nilai tersebut, bahkan, kemudian mampu memberikan kontribusi dalam membentuk sistem pemerintahan dan varian keagamaan sendiri yang mencerminkan pergumulan antara budaya luar dengan budaya asli Nusantara. Lebih-lebih ketika Islam datang ke Nusantara. Agama baru ini diterima sangat baik oleh penduduk setempat. Hal itu karena kearifan para ulama atau wali yang datang ke wilayah ini, yang sangat menghormati tradisi, adat istiadat, bahkan agama setempat. Islam dicoba diselaraskan dengan ajaran setempat, karena itu tidak sedikit tradisi yang kemudian dijadikan sarana penyiaran Islam. Dengan cara itu mereka tidak terusik dengan datangnya agama baru (Islam) itu, mereka menerima dengan tangan terbuka. Apalagi agama Islam yang tidak mengenal strata sosial itu, dirasa sangat membebaskan mereka dari kungkungan kekastaan yang ketat, karena itu mereka turut membantu penyebarannya. Sistem keberagamaan yang toleran dengan tradisi lokal ini berkembang luas di kalangan Islam Nusantara yang dikenal dengan Islam Ahlussunnah wal Jamaah, yang dikembangkan oleh para wali atau ulama baik di Aceh, di Minangkabau, di Palembang di Pontianak, Banjarmasin, Bugis, Makassar, Ternate, Nusa Tenggara dan sebagainya, pada umumnya bermazhab Syafiiyah, atau mazhab empat pada umumnya. Mereka juga terhimpun dalam kelompok terekat, seperti Sattariyah, Qadiriah, Naqshabandiyah dan lain sebagainya. Dengan kekuatan tradisi itu mereka bisa mendirikan pusat-pusat kebudayaan, baik berupa kerajaan maupun lembaga pendidikan pesantren dan pusat perdagangan. Dengan sarana itu Islam berkembang pesat di seluruh penjuru Nusantara lebih intensif dan lebih langgeng ketimbang pengaruh agama lainnya yang pernah ada. Keutuhan dan keberagamaan masyarakat Nusantara ini mulai terusik ketika muncul gerakan Wahabi yang puritan. Semua tata nilai yang telah dikembangkan untuk mendukung sarana dakwah dan ibadah itu dicap sebagai tahayul, bid’ah, dan khurafat. Selama beberapa dasawarsa mereka menyerang dengan sengit kelompok ahlussunnah yang bermazhab dan kaum tarekat, karena dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam. Mereka ini tidak menghendaki adanya percampuran antara Islam dengan budaya Nusantara, mereka ingin mengembalikan Islam pada budaya Arab, yang hanya mengenal Al-Qur’an dan Hadits. Karena cara penyiaran ajaran baru itu demikian kasar, penuh kontroversi akhirnya, tidak diterima secara penuh oleh masyarakat. Gelombang serangan terhadap eksistensi Islam Nusantara itu terus berdatangan dalam setiap dasawarsa, dengan datangnya gerakan Islam puritan yang radikal. Bahkan serangan juga datang dari kebudayaan Barat, yang menuduh Islam ini sebagai Islam sinkretis, yang konservatif yang tidak sesuai denagn kemajuan zaman. Bahkan saat ini sistem kapitalisme global yang manawarkan budaya sekular dan hedonis juga memberika ancaman tersendiri bagi keutuhan kamunitas Islam Nusantara yang dengan gigih mempertahankan moral dan tradisi. Sebenarnya kekuatan Islam Nusantara ini sangat besar, karena didukung oleh mayoritas umat Islam, yang sehari-hari dengan gigih mengamalkan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah. Hanya saja kurang terpadu dan kurang sigap dalam memainkan media, sehinga perannya seolah menjadi terpinggir oleh kelompok-kelompok Islam garis keras yang puritan, tetapi sebenarnya minoritas. Tradisi ini tidak hanya Nahdlatul Ulama, tetapi juga didukung oleh organisasi Islam yang lain seperti; Tarbiyah Islamiyah (Padang), Al Washliyah (Medan), Al Khairat (Palu), Nahdlatul Wathon (Mataram), Darut Dakwah wal- Irsyad/DDI (Sulawesi Selatan) dan Mathlaul Anwar (Banten). Apabila seluruh kekuatan Islam bermazhab Ahlussunnah wal Jamaah Nusantara ini bersatu padu, maka keberadaan Islam Ahlussunnah di Nusantara ini akan tetap lestari bahkan mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat, bahkan mampu menentukan masa depan bangsa ini. Mengingat adanya tantangan yang terus-menerus baik dari kalangan Islam radikal yang puritan maupun dari kalangan Islam liberal yang militan, maka eksistensi Islam Ahlussunnah wal Jamaah Nusantara ini perlu diperkuat. Hadirnya Islam Ahhlusunnah wal Jamaah kita harapkan membawa pengaruh besar pada kehidupan bangsa di bumi Nusantara ini. Abdul Mu’im DZ Pemimpin Redaksi NU Online sumber: www.nu.or.id
Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
أبـــــــــــــــــــــــــو عـــــــــــــــــــــــــــــمار
Sedan Rembang, Jateng, Indonesia
Lihat profil lengkapku

Blog Arcife