Kamis, 28 Januari 2010
BAB 2 TENTANG ALLAH Katakanlah sesungguhnya Allah itu Ahad (QS. 112:1) Yang mengenal Allah hanyalah Allah (Junayd Al-Baghdad) Allah adalah nama dari sebuah entitas, sebuah Esensi atau Dzat. Tetapi, jika hanya Allah yang mengenal Allah, karena tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya (QS. 112: 4), mengapa manusia diperintahkan untuk beribadah dan mengenal-Nya? Secara umum, kita tahu bahwa tindak “mengetahui” atau “mengenal” mensyaratkan adanya “sesuatu” yang dikenal. Tetapi jika Allah adalah Dzat yang tidak ada “sesuatu” pun yang menyerupai-Nya, maka adalah mustahil kita mengenal-Nya. Atau, dengan kata lain, jika Allah adalah “sesuatu” yang tidak diserupai oleh “sesuatu” yang lain, laysa kamitslihi syai’un (QS. 42:11), maka semua cara untuk mengenal Allah telah tertutup karena kita tidak bisa mengasosiasikannya dengan sesuatu yang lain. Segala “sesuatu” yang kita kenal hanya ada dalam dunia fenomena, maka apabila Dia adalah “sesuatu” yang Esa dan Unik dan Tak Terbandingkan (Ahad), tanpa bisa diserupakan dengan sesuatu pun yang kita ketahui, atau tidak bisa diasosiasikan dengan konsep apa pun, bahkan yang paling abstrak sekali pun yang pernah ada dalam seluruh pikiran manusia, niscaya upaya apa saja untuk mengetahui-Nya adalah tidak mungkin dan menjadi tidak bermakna dalam batas-batas kerangka pengetahuan kita, seluas apa pun pengetahuan itu. Lebih jauh, ketika kita mengenal “sesuatu,” maka secara implisit kita telah “menguasai” dan “membatasi” sesuatu dalam kekuasaan kita. Sementara dalam ajaran Islam, Allah adalah Maha Segalanya, yang juga berarti mengatasi segala batasan, dan karenanya mustahil Allah bisa kita pahami dalam batas-batas pengetahuan kita. Ini sama dengan mengatakan bahwa manusia, yang keberadaannya tidak mendahului keberadaan Allah—sebab Dia adalah Mahaawal—tak mungkin memiliki gagasan apa pun tentang Dzat Allah. Maka, gagasan atau pengetahuan seseorang tentang-Nya “berada” dalam ketidaktahuan tentang Allah. Atau, bisa dikatakan, pengetahuan tentang Allah berada dalam pemusnahan pengetahuan tentang Allah. Jika pengetahuan tentang “sesuatu” berada dalam “pemusnahan” pengetahuan itu, maka “penemuan” pengetahuan tersebut menjadi bukan penemuan; karena itu para Sufi mengatakan bahwa pengetahuan (manusia) tentang Allah adalah ketidaktahuan dan keheranan. Nabi bersabda, “Kami mengetahui Engkau hanya sebatas pada apa yang diperintahkan oleh pengetahuan-Mu (tentang Dirimu).” Inilah martabat Ahadiyyah, Keesaan Mutlak. Ini adalah tahap di mana semua hal terserap ke dalam Keesaan Mutlak yang tak kenal kegandaan atau kejamakan. Maka, pada martabat ini, Sifat dan Dzat adalah satu, dan karenanya tidak ada petunjuk apa pun untuk mengenal-Nya; kita tak bisa menggunakan adjektif “ini” atau “itu” kepada-Nya. Subhanahu wa ta’ala amma yashifun (QS. 6: 100), yakni Dia tanpa sifat terbatas yang kita kenakan kepada-Nya. Sesuatu dikenal karena ada sifat-sifat yang menjelaskan eksistensi (keberadaan) sesuatu, tetapi jika sifat terserap dan lenyap dalam eksistensi, maka kita tak bisa mengenal sesuatu itu. Jika kita memaksakan diri untuk menyelidiki keadaan semacam ini terus-menerus, kita bisa menjadi gila. Berusaha memikirkan Dzat-Nya dilarang keras, seperti sabda Nabi saw: “Janganlah memikirkan Dzat-Nya” (laa tafakkaru fi Dzatihi) Jadi Allahu Ahad—Allah adalah Prinsip Asasi dari segala sesuatu. Menjelaskannya dengan istilah Ahad adalah cara terbaik untuk menunjukkan-Nya, tetapi cara ini tidak mendeskripsikan-Nya, karena Dzat pada tahap ini tak bisa dinamai dan disifati dengan sesuatu apa pun. Ahadiyyah (ketunggalan) ini berada di luar nama-nama (asma) dan kualifikasi dan deskripsi. Tidak ada asosiasi dengan sesuatu pun selain Dzat-Nya. Jadinya, syirik adalah dosa terbesar karena mengasosiasikan atau menyerupakan Allah dengan sesuatu yang lain, yang hakikatnya tiada, sama artinya dengan menolak eksistensi-Nya yang Maha Tak Terbandingkan sekaligus Maha Meliputi. Maka Dia adalah Hu, yang secara esensial berarti “Dia” yang “absen” (tak hadir, gaib), bukan “aku,” “kami” atau “engkau” yang hadir. Karenanya Qul Hu adalah bermakna katakanlah bahwa “Dia” adalah “sesuatu” yang tak bisa dideskripsikan, tak dikenal identitas Realitas Eksistensi-Nya, kecuali melalui Sifat atau Asma-Nya. Karenanya, tahap ini dikenal juga sebagai tahap huwiyyah (ke-dia-an). Inilah aspek tanzih mutlak, tahap di mana Allah suci dari segala sesuatu yang lain, karena Dialah, Hu, satu-satunya Wujud sejati yang Ahad. Sekali lagi, hanya Allah yang mengenal (realitas sejati dari dzat) Allah. Allah, karenanya, adalah Nama yang menunjukkan Wajah Ketuhanan sebagai “tanda” bagi ciptaan-Nya agar Dia dikenal sekaligus menunjukkan Wajah Dzat (Esensi) yang tak bisa, dan tak akan pernah bisa, diketahui. Poin ini dijelaskan Syekh Al-Akbar Ibnu ‘Arabi seperti berikut: Allah mengaitkan alam dengan-Nya dan memberitahukan tentang Diri-Nya bahwa dia memiliki dua hubungan: hubungan dengan alam melalui Nama-nama Tuhan yang mengafirmasikan entitas alam, dan hubungan kebebasan-Nya dari, atau ketidakbutuhan-Nya pada, alam ciptaan. Dia mengetahui Diri-Nya, dan kita tidak mengetahui-Nya. Jadi Dzat Mutlak hanya bisa dikenal melalui Asma Allah, yang merupakan al-ism al-jami’—Nama Yang Serba Meliputi—yang mengandung semua Asma Allah lainnya. Allah adalah Nama Dzat, Nama yang mengumpulkan dan sekaligus “melahirkan” semua Nama Sifat dan Perbuatan (al-asma al-husna) yang mendeskripsikan-Nya. Nama “Allah” adalah tempat bergantung—Allahu as-shamad—dan bukan untuk dipahami apalagi ditiru. Nama-nama dari seluruh sifat menyatakan hal-ihwal realitas intrinsik Allah. Allah mengetahui Diri-Nya sendiri dan mencintai Diri-Nya sendiri. Tetapi pengetahuan Diri ini tetaplah “misteri dalam misteri”—yakni kanz makhfi, seperti dalam hadis: “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi (kanz makhfi), aku rindu untuk dikenal, dan karenanya Kuciptakan Dunia.” Selama dalam martabat ahadiyyah, Dzat tetaplah Perbendaharaan Tersembunyi selama-lamanya, tak diketahui siapa pun - Dia adalah Gaib mutlak. Tetapi ketika Dia menyadari Diri-Nya sendiri, Dia mengenal potensi-potensi-Nya dan sifat-sifat-Nya sendiri, yang hanya ada dalam “kesadaran” Tuhan. Jadi potensi-potensi itu pertama-tama dikenal di dalam Diri-Nya sendiri. Ini kadang dinamakan martabat wahdah atau lahut. Dengan bertajalli pada Diri sendiri, atau ketika Dzat melihat dan mawas kepada Diri-Nya sendiri, maka muncul satu titik dalam Kesadaran Tertinggi-Nya—Innani anallahu laa ilaaha illa anna (QS. 25:14), “Sesungguhnya Aku adalah Allah, dan tiada Tuhan selain Aku.” Jadi Allah mengenal Ke-Aku-an-Nya melalui Aku. Karena Aku adalah Allah, maka sesungguhnya Aku yang sejati hanyalah Allah dan tiada sesuatu pun yang mengatakan Aku kecuali Allah. Dengan begitu Dia adalah Tuhan Yang Satu (wa ilahukum ilahu wahid). Wahid, yang berarti satu, adalah prinsip asal dari bilangan selanjutnya, dua, tiga, dan seterusnya. Dari martabat asma inilah kegandaan muncul, yakni tajalli-Nya yang tidak terbatas. Realitas yang sadar itu lalu menyatakan Diri-Nya sebagai Nur, seperti dalam hadis: Nabi bersabda, “Wahai Jabir, sesungguhnya Allah sebelum menciptakan segala sesuatu Dia menciptakan Nur nabimu yang berasal dari Nur-Nya (Allah).” Karenanya, martabat wahidiyyah ini kadang dinamakan Haqiqat Muhammadiyyah atau Nur Muhammad (yang akan kami jelaskan lebih lanjut di bab selanjutnya). Bila sifat dan nama ilahi dipandang dari segi Ketuhanan, maka ia dinamakan asma ilahiyyah (Asma Ketuhanan), dan jika dipandang dari aspek kemakhlukan (alam) ia dinamakan asma kiyaniyah (asma ke-alam-an). Setiap kali asma ilahi muncul, ia senantiasa berpasangan dengan asma kiyani yang merupakan wadah tajalliyat-Nya. Dengan demikian, setiap yang ada di dalam alam tak lain adalah tajalli dari asma ilahi yang jumlah sesungguhnya adalah tak terbatas. Jadi setiap nama adalah bentuk khusus dari tajalli ilahi. Nama-nama di sini adalah “sebab-sebab” untuk mewujudkan alam, atau “perantara” antara Tuhan dengan alam, sebab dari sudut pandang Dzat itu sendiri, Allah tak memiliki hubungan dengan alam (ciptaan) kecuali melalui Nama-nama-Nya. Karena posisinya seperti itu, Syekh Al-Akbar menyebut Nama-nama Tuhan sebagai “barzakh”: Nama-nama ilahi adalah barzakh antara kita dan Objek Yang Dinamai (Allah). Nama-nama itu memiliki penglihatan kepada-Nya karena mereka adalah nama-nama-Nya, dan nama-nama itu mempunyai penglihatan kepada kita karena mereka memberi kepada kita akibat-akibat yang berasal dari Objek Yang Dinamai. Maka nama-nama itu membuat Objek Yang Dinamai menjadi diketahui dan membuat kita diketahui. Dari pengertian ini bisa dilihat bahwa Allah memiliki dua hukum, yang satu khusus bagi Diri-Nya sendiri jika ditinjau dari Dzat-Nya sendiri—yakni lepasnya kaitan Dzat dengan ciptaan-Nya (aspek tanzih); dan hukum yang menampilkan Diri-Nya sebagai Tuhan (rabb) yang mengharuskan adanya kaitan antara Diri-Nya dengan ciptaan-Nya (aspek tasybih). Dalam tradisi Ibnu ‘Arabi, tauhid yang sejati tercapai jika kedua aspek ini, tanzih dan tasybih, disatukan, seperti syairnya sebagai berikut: Jika engkau bicara soal ketakterbandingan (tanzih), engkau telah membatasi; Dan jika engkau bicara soal keserupaan (tasybih), engkau juga telah membatasi; Jika engkau bicara keduanya, engkau tepat mengenai sasaran Engkau menjadi pemimpin dan Syekh Dalam ilmu-ilmu makrifat. Allah memiliki banyak Nama—yang diketahui ada 99, atau 1001, dan yang tak diketahui jauh lebih banyak lagi. Selain Nama-nama itu, ada Ism Al-Adham, Nama Teragung, yang hanya diketahui oleh Allah dan orang-orang dipilih untuk diberi tahu oleh-Nya. Secara umum Asma Allah bisa dikategorikan menjadi tiga bagian: ism Al-Dzat, ism As-Shifat, dan ism Al-Af’al. Nama Ar-Rahman dan Ar-Rahim, misalnya, bukan nama Dzat, tetapi nama sifat; Al-Bashir (Maha Melihat) adalah nama perbuatan. Nama-nama, sebagai bentuk khusus dari tajalli-Nya yang banyak dan tak berkesudahan, membutuhkan lokus agar potensinya dapat terwujud, atau agar perbendaharaan tersembunyi-Nya dapat dikenal. Lokus ini bukan dalam Diri Dzat-Nya sendiri (karena Dia adalah Ahad, seperti dijelaskan di atas), tetapi dalam sesuatu yang disebut alam (kosmos). Nama Al-Khaliq, misalnya, hanya bisa direalisasikan potensinya jika ada sesuatu yang diciptakan, atau makhluk. Maka, Allah sebagai Khalik “membutuhkan” makhluk, sebagaimana makhluk juga membutuhkan Sang Khalik. Al-Alim membutuhkan objek yang diketahui, ma’lum; kandungan sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim membutuhkan lokus untuk realisasi; dari perspektif ini manusia adalah lokus atau objek dari Asma ini. Maka, kosmos amat penting sebagai lokus Asma Al-Husna. Allah berfirman, Rabbanaa maa khalaqta hadza bathilan—”Ya Tuhan kami tidaklah Engkau menciptakan semua dengan sia-sia” (QS. 3: 19). Jadi bisa dikatakan Tuhan dan kosmos (alam) merupakan satu realitas dengan dua wajah yang berbeda: yang Esa dan yang banyak. Realitas yang esa tampak dalam bentuk-bentuk dan lokus-lokus penampakan yang beraneka ragam yang sebanyak Asma-Nya. Ini dikenal dengan istilah keesaan dalam keragaman dan keragaman dalam keesaan. Penjelasannya kurang lebih adalah sebagai berikut: Bersambung .. ke#8 Tri Wibowo BS / Mbah Kanyut

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
أبـــــــــــــــــــــــــو عـــــــــــــــــــــــــــــمار
Sedan Rembang, Jateng, Indonesia
Lihat profil lengkapku

Blog Arcife