Kamis, 28 Januari 2010
Note: Ini adalah naskah yg telah dijanjikan untuk terbit namun tak jua kunjung terbit. Pada akhirnya, ketimbang menunggu-nunggu, barangkali akan lebih baik di-share saja secara free. Siapapun boleh membaca dan mengutip atau menyimpannya, boleh membantahnya atau mengkritiknya, sebab ini hanyalah kisah "tentang", bukan kisah "dari" ... Ini hanyalah sebentuk bahasa "metamistisisme". Saya percaya saya akan mendapat lebih banyak pengetahuan dan bisa mengoreksi kesalahan saya jika saya membagikan apa-apa yg saya ketahui -------------- KITAB TENTANG TASAWUF * Tri Wibowo BS Ikhwan TQN - Suryalaya. -------------- Takzim Kepada: Sayyid Qamarullah Badrulmukminin Musyawaratul Hukuma Qamaruzzaman Al-Husaini, Padarincang & Syekh Shahibul Wafa’ Taj al-‘Arifin, Suryalaya ---------------- IFTITAH “Who Knows? Who knows why we live, and struggle, and die? Wise men write many books, in words too hard to understand. But this, the purpose of our lives, the end of all our struggle, is beyond all human wisdom.” -- Alan Patton … there must be an end in this life but in another sense, there’s an endless begin… Manusia adalah bagian dari sebuah kisah yang telah dirancang dengan cermat oleh Penulis Agung. Setiap kejadian demi kejadian di seluruh tataran eksistensi adalah berkelindan seperti jejaring laba-laba. Satu getaran peristiwa di satu ujung jejaring akan dirasakan dan mempengaruhi seluruh lintasan jejaring hingga ke delapan ujung jejaring itu — seperti “butterfly effect,” di mana kepak sayap kupu-kupu di ujung timur dunia bisa menimbulkan badai di ujung barat dunia. Ada banyak peristiwa yang kita anggap besar; peristiwa yang laksana angin badai datang menerpa rumah kedirian kita, membuka jendela-jendela persepsi kita, mengguncang arsitektur kesadaran kita, dan mengubah diri kita, entah itu untuk sementara atau untuk selamanya. Lalu kita berusaha merenungkan dampak peristiwa itu, bagi diri kita sendiri atau, barangkali, bagi cara pandang kita terhadap keberadaan diri kita sebagai manusia. Namun peristiwa “besar” itu tak selalu berupa kejadian historis yang mengguncang tatanan sosial atau kemanusiaan — peristiwa besar itu boleh jadi sebentuk momen pencerahan, seperti lintasan cahaya kilat di kegelapan pekat yang membuat kita memandang situasi sekitar kita yang, walau mungkin hanya sesaat, membuat kita menyadari akan adanya sesuatu yang lain. Barangkali dalam perjalanan hidup kita ada banyak momen-momen pencerahan semacam itu namun, sayangnya, kita terlampau sibuk oleh hiruk-pikuk dunia, oleh pikiran yang seperti tiada kenal lelah menjelajah di benak kita. Karena itu, beberapa orang yang peduli pada kehidupan kontemplatif merasa harus menarik diri, setidaknya untuk sementara, untuk menangkap momen-momen pencerahan itu. Tetapi, terkadang juga momen itu datang secara tak terduga, seperti sebentuk takdir yang tak terelakkan yang memerangkap kita begitu saja dalam keterpesonaan mistis yang membuat kita merasa waktu berhenti sepenuhnya, membuat kita merasakan sesuatu daya yang sungguh berada di luar kendali kita dan mengendalikan seluruh hidup kita. Dan kitapun bertanya-tanya lagi tentang siapa diri kita sesungguhnya: dari mana, mau ke mana dan untuk apa hidup? Apa arti kehidupan yang suatu saat nanti pasti berakhir? Singkatnya, pada akhirnya, sampai titik tertentu, renungan yang sunggguh-sungguh niscaya akan membawa kita pada pertanyaan tentang hubungan kita (manusia) dengan alam semesta dan Tuhan, dan karenanya, tentang kesementaraan dan keabadian, atau sangkan paraning dumadi. Dan demikianlah beberapa keping momen itu datang dalam tata-situasi yang biasa saja, tanpa persiapan khusus — sebuah momen yang melahirkan perubahan hidup, dan juga gagasan untuk menulis sebuah buku. “Ikatlah ilmu dengan menulis,” demikian anjuran Sayyidina Ali ibn Abi Thalib – karamallahu wajhah. Kata-kata inilah yang selalu terbayang sebelum huruf pertama saya ketikkan di layar komputer. Tetapi apa yang mesti saya tulis jika hal-hal yang hendak saya tulis itu adalah bagian dari perjalanan panjang dalam usaha memahami siapa diri ini, memahami kehidupan, dan juga kematian? Setelah sekian lama didera keraguan, akhirnya saya memberanikan diri untuk menulis, sebuah tulisan yang berbasis pengalaman dalam menempuh perjalanan ruhani. Karena itu, mungkin ada baiknya saya sampaikan sedikit “sejarah” bagaimana naskah ini bisa sampai ditulis. * * * Benih buku ini lahir dari perjumpaan dengan manusia yang dalam dunia Islam dikenal sebagai Wali Allah, sahabat Tuhan. Pada awalnya adalah kesedihan. Tiga puluh enam purnama saya harus menemani almarhum ibu berjuang melawan kanker, sampai akhirnya beliau harus meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Sejak itu saya bertanya-tanya, apakah ini cobaan atau azab? Jika satu per satu orang yang kita sayangi meninggalkan kita, bukankah absurd untuk hidup di dunia ini? Apakah hidup itu seperti yang digambarkan kisah Yunani kuno, mitos Sisifus? Sisifus dikutuk oleh para dewa untuk mendorong batu besar ke puncak gunung seumur hidupnya, dan begitu sampai di puncak, batu itu akan mengelinding lagi ke bawah — dan Sisifus harus mendorongnya lagi ke atas, dan kejadian itu berulang selamanya. Seperti juga kita semua, hari demi hari berjuang bertahan hidup meski kita tahu bahwa kematian tak bisa kita halau. Detik demi detik kita menyerap cinta dan bahagia, walau pada saat yang sama kita juga menghisap derita dan kesedihan. Barangkali tangis pertama bayi adalah tangis kebahagiaan dan kesedihan, sebab ia mungkin, entah bagaimana, tahu bahwa kelak akan menghadapi banyak hal yang mungkin membuat hatinya “berbunga-bunga” dan “berdarah-darah.” Selama pencarian makna ini, samar-samar saya mendengar ada aspek dalam agama Islam yang bisa membuat kita memahami makna kehidupan ini secara lebih mendalam dan membuat hidup kita lebih tenang dan damai — yakni ajaran Tasawuf. Saya mengawali perkenalan dengan Tasawuf dari buku-buku, dari cerita mulut ke mulut. Berbulan-bulan saya menekuninya, namun tak kunjung datang itu kedamaian di hati. Lalu muncul prasangka buruk ketika menjumpai banyak hal yang “aneh-aneh” dalam ajaran Tasawuf, dan prasangka ini bertambah kuat karena ada pandangan buruk tentang Tasawuf dari sebagian kalangan umat Islam modern. “Murid harus seperti mayat di tangan syaikh-nya” adalah salah satu contoh ajaran yang menurut saya waktu itu adalah absurd. Pada akhirnya saya memutuskan untuk belajar langsung dari tangan pertama, kepada orang yang diakui luas sebagai Mursyid pengamal ajaran Tasawuf. Ringkas cerita, saya datang dengan penuh semangat mengunjungi Guru Sufi termasyhur di Jawa Barat, Kyai Ahmad Shahibul Wafa Taj al-Arifin, Mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsabandiyyah. Di benak saya telah tersimpan banyak pertanyaan yang akan saya ajukan, dengan harapan beliau memberi keterangan yang panjang lebar. Tetapi peristiwa selanjutnya di luar dugaan saya. Saya berangkat dari Yogyakarta selepas subuh, naik kendaraan roda dua, dan sampai di Pesantrennya di Tasikmalaya pada malam hari. Selepas shalat subuh berjamaah keesokan harinya, para tamu, termasuk saya, diberi kesempatan untuk berbincang dengan beliau. Setelah berbasa-basi sejenak, sebelum saya sempat mengeluarkan sepatah katapun, Kyai tiba-tiba bertanya sambil memandang saya, “Siapa ya yang datang dari Yogya?” Saya bersama seorang teman saya mengangkat tangan. “Besok pulang ya,” kata beliau sambil tersenyum. Apa-apaan ini? Begitu pikiran saya waktu itu. Saya merasa tak puas. Saya tak mendapat penjelasan apapun. Namun selepas pertemuan, seorang ikhwan menasihati saya agar saya menuruti perintahnya. Akhirnya dengan sedikit jengkel saya pulang juga esok hari selepas subuh, tanpa sempat berbincang, apalagi bertanya kepada beliau. Baru saja saya sampai di kamar kost saya pada sore hari, datang seorang mahasiswi, teman dari teman saya. Kedatangannya hendak minta tolong karena ada keadaan darurat. Mahasiswi itu harus menyerahkan skripsinya esok hari, namun file skripsinya rusak terkena virus, padahal belum sempat di print-out. (Saya waktu itu memang bekerja di rental komputer sebagai tukang membantu membuat dan mengatasi segala masalah yang berhubungan dengan pengetikan, penyuntingan dan penyelesaian skripsi.) Dan kami berdua mengerjakan skripsi itu selepas maghrib hingga selesai menjelang subuh. Setelah dia pulang, seusai salat subuh saya mulai memikirkan kejadian aneh ini. Mengapa sepulang dari pesantren itu saya disambut dengan permintaan tolong? Sepertinya Kyai itu tahu apa yang mesti saya lakukan bahkan sebelum peristiwanya terjadi. Saya terus memikirkannya, tapi tak juga menemukan jawaban yang memuaskan. Sampai pada satu titik, ketika cahaya pertama matahari menyusup ke kamar, saya mulai terbayang wajah Kyai itu dan sorot matanya. Pada detik itulah saya seperti melihat semuanya, seperti ada “lempengan cahaya pengetahuan” yang susul-menyusul masuk ke benak; dan entah bagaimana, saya merasa tak perlu lagi bertanya ke mana-mana. Apa yang selama berbulan-bulan saya pikirkan dengan segenap akal pikiran saya tiba-tiba menjadi jelas hanya dalam hitungan detik. Apa yang saya cari tiba-tiba sudah ada dalam hati. “Pengusiran” oleh sang Kyai itu menyadarkan saya tentang satu hal yang amat penting: bahwa ada banyak hal yang berada di luar jangkauan akal-logika, sesuatu yang mengatasi ruang dan waktu. Makna “murid harus seperti mayat di tangan Syaikh-nya” atau murid harus sami’na wa atha’na, “mendengar dan taat,” menjadi begitu jelas. Dalam kasus saya, Kyai itu sepertinya tahu bahwa hidup saya, pada momen itu, lebih bermanfaat jika saya pulang ketimbang jika saya ada di sana — saya bisa membantu seseorang keluar dari kesulitan. Pada akhirnya, setelah saya benar-benar berbaiat ke tarekat itu, saya menyadari makna utama dari perintah “pulang” itu: Saya harus “pulang” menziarahi diri saya sendiri, sebab segala apa yang saya cari ada dalam diri saya sendiri — man arafa nafsahu, faqad arafa rabbahu, “Barang siapa mengenal dirinya, ia akan mengenal Tuhannya.” Dari titik ini saya mulai membaca ulang berbagai peristiwa dan tulisan-tulisan dengan sudut pandang yang baru. Tiba-tiba ayat-ayat al-Qur’an al-karim seperti bermunculan di setiap peristiwa yang saya lihat dan renungkan. Ayat tak lagi tampak sebagai huruf, kata dan suara. Ia seperti hidup, menggerakkan hati dan mencerahkan. Satu ayat bisa memancarkan banyak makna ketika kita bertafakur atasnya. Satu ayat bisa berubah maknanya bagi kita sesuai dengan keadaan diri kita, muncul dalam makna yang sama sekali lain dari yang sebelumnya kita pahami. Tetapi makna ini datang dan pergi, sesuai dengan keadaan hati saya yang “naik-turun,” yang lebih sering berbuat dosa dan kesalahan. Ada masa-masa ketika diri ini menjadi amat jengkel karena setelah bersusah payah memahami ajaran Tasawuf dengan membaca banyak buku, namun apa yang saya harapkan, yakni memahami makna dari ajaran atau ayat, dan mendapatkan “pengalaman” spiritual, tak juga saya dapatkan. Pikiran lebih sering keruh dan hati menjadi gelisah. Tinggal kelesuan yang tersisa. Pada akhirnya saya mendapat nasihat dari seorang ikhwan untuk tidak mengandalkan akal dan upaya diri sendiri. “Sebagai pemula, banyak-banyaklah berzikir saja, jangan terlalu dalam berpikir dan merenung-renung dan jangan terlalu banyak membaca,” kira-kira seperti itulah sarannya. Di zaman yang begitu memuja kapasitas intelektual dan kemajuan sains ini, saran itu terdengar absurd; bagaimana saya bisa paham kalau saya tak belajar, tak membaca, tak berpikir? Namun saran saya itu tetap saya ikuti. Saya tutup semua buku tentang agama, filsafat dan Tasawuf, saya rimpan rapi di rak, dan setiap malam saya amalkan zikir sebagaimana di ajarkan oleh Syekh Mursyid saya. Ya, hanya zikir saja selepas shalat wajib, tanpa belajar lewat buku. Hingga pada suatu malam saya begitu letih dalam berzikir selepas Isya, lalu merebahkan diri berbaring dengan tetap memaksakan hati untuk terus mengucap “Allah, Allah, Allah….” Lalu datanglah momen itu: tubuh merasa begitu ringan dan penglihatan kabur, lalu saya merasa tidak berada di kamar; seperti berada di sebuah ruangan yang bercahaya putih dan sunyi. Benar-benar sunyi. Saat itu ada perasaan begitu tentram, namun juga menakutkan. Saya tak tahu berapa lama keadaan semacam itu berlangsung, namun begitu saya tersadar, saya merasa gemetar dan takut. Saya tak tahu apa makna dari pengalaman dan apa manfaatnya. Keesokan harinya, seorang teman satu kos, seorang Muslim keturunan Tiong Hoa, menemui saya di kamar dan menceritakan permasalahan yang mengganggu hatinya. Ia, katanya, merasa tak mengerti dan tak puas dengan beberapa hal dalam ajaran Islam, juga ada persoalan pribadi yang mengganggu. Dia meminta nasihat. Saya tentu saja bingung, karena seumur hidup baru kali ini dimintai nasihat tentang sesuatu hal yang bahkan saya sendiri juga tak mengerti. Saya tahu bahwa nasihat normatif seperti yang diajarkan di buku-buku tidak akan memuaskan dahaga orang semacam ini, sebab saya tahu dia juga telah banyak membaca buku tentang Islam, dan bahkan mungkin bacaannya lebih banyak daripada saya. Tiba-tiba mata saya menatap Al-Qur’an dan terjemahnya dari Depag RI di atas meja. Entah mengapa saya tertarik untuk mengambilnya, lalu saya buka secara acak. Dan keanehanpun terjadi. Saya membaca satu ayat, dan saya beri keterangan, lalu terbetik dalam pikiran saya untuk mencari suatu ayat lain yang entah bagaimana sudah muncul di benak saya. Dan demikianlah, saya berbicara dengan menggunakan al-Qur’an, bukan menggunakan kemampuan berpikir saya; seolah-olah saya hanya menjadi alat bagi al-Qur’an untuk berbicara kepada teman saya. Ayat demi ayat saya tunjukkan kepadanya, dan semuanya seperti berhubungan satu sama lain, membentuk suatu pemahaman yang mengena dan relevan bagi teman saya. Teman saya tampak puas dan berkali-kali berterima kasih. Setelah teman saya pergi, saya heran bagaimana saya bisa berbicara seperti itu? Dan saya bahkan sudah lupa apa yang tadi saya bicarakan dan ayat mana saja yang saya tunjukkan padanya. Sejak saat itu saya 'merasa' mulai sedikit mengerti bahwa Awliya Allah adalah orang-orang pilihan yang senantiasa berupaya merasakan kehadiran Allah, seperti merasakan asinnya garam dengan lidah mereka, merasakan kehadiran Allah di setiap penghayatan hidup yang disadari. Mereka adalah orang-orang yang melihat dengan Nur Allah, yang memandang sesuatu sebagaimana hakikat sesuatu itu sendiri, bukan berdasarkan pikirannya, apalagi prasangka. Pengalaman demi pengalaman selama pencarian yang tertatih-tatih dan tak jarang harus terperosok dalam kubangan kesalahan dan dosa, membuat saya sadar bahwa Tasawuf, paling tidak menurut saya, adalah inti dari ajaran Islam. Kekaguman dan ketakziman saya kepada para Wali Allah inilah membuat saya ingin “mengikat” sebagian pemahaman saya yang terbatas dan juga ingin berbagi apa-apa yang telah saya baca, saya dengarkan dan saya alami. BERSAMBUNG ... KE #2 Tri Wibowo BS / Mbah Kanyut al-Jawi

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
أبـــــــــــــــــــــــــو عـــــــــــــــــــــــــــــمار
Sedan Rembang, Jateng, Indonesia
Lihat profil lengkapku

Blog Arcife