Kamis, 28 Januari 2010
Sesungguhnya ajaran Sufi adalah ajaran yang amat luas dan mendalam, dan sekaligus berbahaya, yang mustahil dapat dijelaskan dalam satu atau dua buku yang tebal sekalipun, apalagi buku tipis. Sebagai sebuah pengetahuan yang terutama berasal dari mujahadah, riyadhah, ilham dan kasyaf rabbani, tentunya cara paling baik untuk memahaminya adalah melalui cara-cara itu pula. Namun, seperti kata Maulana Jalaluddin Rumi, pembicaraan dan kata kadang diperlukan, untuk “mengusik si pendengar bahwa ada dunia yang di luar tangkapan indra dan pikiran, yang harus kita raih karena di sanalah tujuan hakiki kita.” Jadinya, tulisan ini sekadar upaya untuk membangkitkan rasa ingin tahu, menyebarkan aroma wangi kesucian Tasawuf. Tak lebih dari itu. Para Sufi mengatakan, “Rahasia melindungi dirinya sendiri,” yang bermakna bahwa sesungguhnya pengalaman ruhaniah dan rahasia yang dikandungnya hanya bisa disampaikan kepada mereka yang siap untuk menerimanya. Seperti dikatakan Maulana Rumi, “(Pengetahuan ini) berasal dari tempat gaib. Jika Tuhan menghendaki, Dia akan membuat kata-kata yang sedikit ini berguna, tetapi jika Dia tak menghendaki ... kata-kata ini akan berlalu dan dilupakan.” Buku ini sebagian kecil berasal dari “tempat gaib”, tetapi sebagian besar dari serpihan mutiara ajaran Sufi yang tersebar di banyak buku dan tempat. Tetapi Ini bukan buku ajaran Sufi, tetapi buku tentang ajaran Sufi yang ditulis oleh orang biasa berdasarkan pemahaman pribadi. Karenanya, kalau ada kesalahan, sepenuhnya adalah karena kekurangan penulis, dan jika dijumpai kebenaran, maka itu lantaran pertolongan Allah, yang mengalirkan barakah-Nya lewat wali-wali-Nya. Semoga tulisan ini bisa membangkitkan rasa ingin tahu siapa saja yang sudi membacanya, dan mengajak mereka untuk masuk ke wilayah yang sesungguhnya, yang bukan di dalam kata-kata teks ini. Namun dalam naskah ini saya tidak akan menulis teks dalam pengertian akademik yang netral dan ketat dalam aturan-aturan metodologi modern. Dan sesungguhnya, menggunakan metodologi akademik modern atau analisis kritis untuk menjelaskan Tasawuf hanya akan sampai pada kesimpulan seperti yang diambil oleh lima orang buta yang memaparkan bentuk gajah berdasarkan rabaan mereka, sebagaimana berkali-kali diperingatkan oleh Imam Al-Ghazali. Sebaliknya, buku ini berangkat dari keyakinan yang lebih condong untuk “membela” Tasawuf pada umumnya. Buku ini berangkat bukan dari asumsi atau hipotesis dalam pengertian metodologi ilmiah, tetapi dari sebuah keyakinan akan kebenaran ajaran Tasawuf, kaum Arifin, para Wali Allah. Tetapi melalui buku ini penulis juga tidak berpretensi untuk menampilkan sebuah penjelasan utuh, apalagi kebenaran final. Dan juga dalam buku ini tidak akan dibahas aspek sosial dan historis dari Tasawuf dan tidak menjelaskan istilah-istilah teknis tertentu secara mendetail, seperti maqam, ahwal, isyq, wara, dan sebagainya. Karena, pembahasan semacam itu akan membutuhkan lebih dari satu buku tersendiri, yang berada di luar jangkauan buku ini. Namun konsep atau istilah yang bersifat “teknis” tersebut akan kami beri sedikit penjelasannya di bagian “Glosarium.” Tentu saja sebagian pembaca barangkali akan tak sepakat dengan apa-apa yang diuraikan di sini. Dan, bahkan para pembaca yang juga “membela” Tasawuf boleh jadi juga tak puas, atau bahkan tak sependapat dengan uraian di buku ini. Keadaan semacam ini bukanlah hal yang aneh. Mencoba menjelaskan sebuah pengalaman, apa pun bentuknya, tidak akan bisa sepenuhnya “benar” dan memuaskan. Ada banyak alasannya. Wilayah pengalaman, apalagi pengalaman mistis (spiritual), bukanlah wilayah akal dan kata-kata, sedangkan “penjelasan” adalah wilayah akal dan kata-kata. Kata adalah sebuah konvensi, kesepakatan, dan karenanya pada dasarnya kata adalah “sewenang-wenang (arbitrer)”. Mengapa kita menyebut tempat duduk sebagai kursi, bukan onde-onde? Kata adalah salah satu cara untuk memudahkan kita memahami—sampai batas tertentu—fenomena di sekitar kita. Karenanya, sering kali kata-kata tak bisa menampung hal-hal yang berada di luar fenomena, hal-hal yang belum kita punyai kesepakatan tegas atasnya. Kata adalah representasi dari sesuatu, dan representasi dari sesuatu bukanlah sesuatu itu sendiri. Kata cinta adalah representasi dari sebentuk perasaan yang ada dalam diri kita, tetapi kata cinta itu sendiri tidak bisa menjelaskan secara penuh apa yang kita rasakan saat kita dikuasai cinta. Dua orang yang sama-sama sedang jatuh cinta sangat mungkin memahami cinta dengan cara yang berbeda. Jika dalam fenomena keseharian saja kita bisa berbeda pandangan dan tafsir atas sesuatu yang sama, apalagi untuk wilayah pengalaman spiritual. Akal, berdasarkan definisinya, dan pada dirinya sendiri, bersifat membatasi dan tak jarang bersifat spekulatif. Kebenaran mistis (haqiqat) yang diperoleh dari pengalaman mistis, tidak diraih melalui akal, tetapi dari sebuah pengalaman yang melampaui ruang dan waktu, atau mengatasi fenomena yang menjadi wilayah akal (transenden). Karenanya, metode pencarian kebenaran mistis ini tidak bisa dilakukan dengan analisis nalar atau rasional belaka. Ia diperoleh melalui hati, dan karenanya, berdasarkan definisinya, pengetahuan hati mesti dipahami juga melalui hati. Bahasa Sufi adalah bahasa dzawq, rasa. Bahasa Sufi tak dimaksudkan untuk mewadahi secara sempurna makna dan pengalaman yang dirasakan Sufi, tapi lebih merupakan simbol. Karena terbatas, maka bahasa mustahil mewadahi sesuatu yang tak terbatas; yang terbatas hanya bisa menjadi isyarat atau ayat dari yang tak terbatas. Singkatnya, penjelasan pengalaman mistis yang “paripurna” hanya bisa dilakukan dalam wilayah hati, dari hati, dan melalui hati. Dengan demikian, selalu ada dilema dalam setiap pembahasan tentang hakikat lewat kata-kata: jika seseorang hendak memaparkan kebenaran adikodrati (transenden) atau hakikat agar dapat diakses melalui wadah kata, maka akan mengundang risiko penjelasan itu akan “mengkhianati” kebenaran adikodrati itu; namun jika seseorang bersikeras untuk tidak mengkhianatinya—yakni tidak berusaha memberikan penjelasan—maka kebenaran adikodrati ini tak akan bisa diketahui oleh siapa pun selain orang itu. Tetapi, di sisi lain, kebenaran secara intrinsik selalu memancarkan dirinya, seperti matahari yang memancarkan sinarnya. Karenanya, sebagian Sufi yang memiliki kelebihan tertentu di bidang penalaran dan tulis-menulis “mau tak mau” akan menuliskan apa-apa yang diserapnya dalam bentuk risalah atau kitab-kitab. Sufi jenis ini banyak, seperti Syekh Al-Akbar Ibnu ‘Arabi, Syekh Al-Israq Suhrawardi Al-Maqtul, Imam Qusyairy, Imam Al-Ghazali, Al-Hallaj, dll. Melalui jenis Sufi semacam inilah para Sufi lain, dan juga orang-orang di luar lingkaran Sufi, mendapat akses ke pengetahuan hakikat, walau dalam porsi yang terbatas. Ketika kita berbicara mengenai aksesibilitas ini, kemampuan seseorang dalam mengakses pengetahuan tersebut akan bergantung kepada kesiapan mental, ruhani, dan daya pikir seseorang. Dengan menggunakan analogi, kita bisa katakan bahwa anak SD hanya mampu mengakses pelajaran yang memang sesuai dengan kondisi mereka; jika anak SD dipaksa mendalami pelajaran fisika nuklir untuk universitas, misalnya, bisa dibayangkan seperti apa jadinya! Hal yang sama kurang lebih juga berlaku di wilayah keruhanian. Pengetahuan esoterik (ruhaniah) atau mistis hanya bisa dipahami secara penuh melalui metode yang khusus untuk mendapatkannya. Anda tidak bisa memahami secara utuh kondisi masyarakat jika Anda menggunakan metode yang biasa dipakai dalam laboratorium, sebab masyarakat bukanlah entitas yang bisa dikontrol dan direplikasi berdasarkan prinsip-prinsip hukum tertentu, katakanlah fisika atau kimia. Dengan cara yang sama, kita tak bisa memahami sepenuhnya pengetahuan mistis hanya dengan mengandalkan kajian literatur Sufi. Tetapi ini bukan berarti kita tak bisa mendapatkan pengetahuan apa-apa dari kajian literatur. Sebab, jika begitu, untuk apa para Sufi itu menulis, dan untuk apa mereka repot-repot menulis syarah atau ulasan atas suatu karya. Memang, mereka sesungguhnya menulis untuk sesama Sufi, tetapi dengan menulis dan mengawetkan sebuah pengetahuan mistis dalam bentuk kata-kata, mereka sebenarnya juga “diperintahkan” oleh pengetahuan mistis itu untuk “mengabarkannya” kepada orang-orang di luar lingkaran Sufi. Saya menggunakan istilah “diperintahkan” sebab pada umumnya seorang Sufi menulis bukan atas keinginan hatinya, tetapi akibat dorongan dari pengetahuan itu sendiri, yang tak lain adalah Kebenaran (Al-Haqq) atau Tuhan itu sendiri. Karenanya, sudah menjadi kehendak ilahi—dan lantaran ciri asasi dari kebenaran yang selalu memancarkan diri—bahwa pengalaman mistis harus dikabarkan kepada sebagian orang. Kitab-kitab Sufi, dengan demikian, menjadi “ayat” tersendiri yang dapat diakses oleh siapa saja yang menghendakinya. Dan sebagai sebuah ayat, sebagaimana ayat lain, ia hanyalah menjadi petunjuk, tanda-tanda, atau isyarat tentang adanya sesuatu di balik tanda-tanda itu. Seperti dikatakan Rumi, kata-kata hanyalah sekadar pemicu keingintahuan, yang membawa seseorang pada titik di mana seseorang merasa terusik bahwa di luar dunia yang dapat ditangkap (dengan indra dan kata-kata) ini terhampar dunia lain yang kita harus upayakan untuk memasukinya: dunia kebenaran mistis yang adikodrati. Jadi, betapapun terbatasnya, seseorang yang mendalami kajian literatur akan tetap mendapatkan pengetahuan. Seperti para ahli tafsir, mereka tentu saja tak mungkin menjelaskan kandungan Al-Quran secara komprehensif. Bagaimanapun, tafsir mereka tetap memberikan pengetahuan, walau dalam bentuk parsial—dan bahkan kadang keliru. Lalu apa “metodologi”—jika boleh disebut demikian—untuk memahami doktrin-doktrin tasawuf yang pada dasarnya adalah sebentuk pelajaran mistis? Bersambung ... ke #3

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
أبـــــــــــــــــــــــــو عـــــــــــــــــــــــــــــمار
Sedan Rembang, Jateng, Indonesia
Lihat profil lengkapku

Blog Arcife