Kamis, 28 Januari 2010
Ini adalah bagian dari misteri “kecepatan” terwujudnya sesuatu, kun fa yakun. Dalam tradisi Sufi, seseorang yang telah mencapai maqam baqa dan disempurnakan oleh Allah, maka ia akan masuk ke maqam kun, di mana Allah akan menjadi pendengarannya, penglihatannya dan seterusnya, seperti dinyatakan dalam hadis tersebut di atas. Tetapi harus ditambahkan bahwa keadaan ini tidak bisa dicapai oleh seseorang yang dalam dirinya masih ada sesuatu selain Allah, yang masih mengikuti keinginannya sendiri, yang masih mengandalkan pada dirinya sendiri, dan yang masih memandang keragaman wujud bukan dalam kerangka Kesatuan Wujud. Orang yang masih memandang dirinya sendiri (dengan segala ilusi potensialitasnya) akan “ditinggalkan” oleh petunjuk, sebagaimana Musa ditinggalkan oleh Khidir. Seperti dapat dibaca dalam Surah Al-Kahfi, ketika Musa mempertanyakan tindakan pembunuhan anak dan pelobangan perahu, ia masih dimaafkan. Tetapi ketika Musa mempertanyakan kenapa Khidir tidak meminta upah atas tindakannya membangun dinding yang roboh, maka Khidir berkata “inilah saat perpisahan aku dengan kamu (Musa),” yakni saat perpisahan antara pengetahuan mistis dengan pengetahuan intelektual. Dua keberatan pertama adalah berkaitan dengan syariat, yakni dengan kebaikan dari sudut pandang moralitas dan tatanan keseimbangan; tetapi ketika Musa menyarankan “kamu bisa mengambil upah,” maka ini adalah kesalahan fatal dalam perjalanan mencari pengetahuan mistis, yakni meminta sesuatu untuk dirinya (nafs) sendiri yang menandakan seseorang masih menganggap kebaikan adalah dari dirinya sendiri dan karenanya berhak atas imbalan. Dengan kata lain, ketika seseorang masih menganggap dirinya “memiliki” upaya dan amal, yang berarti belum melampaui tahap fana dan memasuki tahap baqa, ia tidak akan mencapai pengetahuan hakikat. Dengan demikian, seperti diilustrasikan dalam kisah Syekh Ulwan dan kisah Musa dan Khidir di atas, sebelum seseorang mendapatkan karunia pengetahuan ilahiah atas ayat-ayat Al-Quran dan pengetahuan hakikat, orang itu harus lebih dulu mempersiapkan diri. Pengetahuan ini amat tergantung kepada kesiapan batin atau hati seseorang dalam menerima pengetahuan itu. Cara mempersiapkan diri untuk menerima karunia ilahi inilah yang tidak dilakukan atau dipertimbangkan oleh ulama-ulama lahiriah atau ulama non-Sufi Untuk mempersiapkan diri, Sufi melakukan apa yang dinamakan tazkiyatun nafs, atau membersihkan diri dari dosa. Ini adalah proses yang tak main-main, dan harus dilakukan seumur hidup. Metode utamanya, selain segala ritual wajib dan sunnah, adalah zikir. Zikir dalam pengertian luas adalah seluruh ibadah, sebab segala bentuk ibadah adalah lillahi ta’ala, yang juga berarti harus mengingat Allah dalam segala tindak ibadah. Dalam pengertian khusus, zikir adalah mengulang-ulang asma Allah tertentu, dengan metode dan hitungan tertentu, seperti terlihat jelas dalam tarekat Sufi. Selain Asma Allah, Sufi juga kadang mengulang bacaan ayat atau Surah tertentu dalam jumlah tertentu untuk mendapatkan limpahan rahmat pengetahuan yang khusus dan mengaktualisasikan kebenaran yang ada di dalam setiap ayat. Maka, dalam formula doa dan wirid tarekat tertentu, yang dibaca berulang-ulang setiap hari dalam waktu-waktu tertentu, pasti dijumpai sebagian surah atau seluruh surah Al-Quran yang dibaca dengan bilangan tertentu, seperti yang bisa kita lihat, misalnya, Hizib Al-Bahr yang amat terkenal karya Syekh Abu Hasan Al-Syadizili. Doa, formula zikir dan penggalan ayat Al-Quran dibaca dengan cara tertentu dengan tujuan utama “mengingat” dan “membangkitkan” potensi-potensi yang dikandungnya yang pada gilirannya cahaya potensi yang sudah terbangkitkan itu akan masuk ke dalam hati dan “membersihkan” hati dari noda dosa sehingga hati jadi bening dan memantulkan kebenaran yang paripurna yang berasal dari ayat-ayat, zikir dan doa-doa itu. Mengapa Sufi begitu gemar menekankan zikir dan menggunakan metode perulangan bacaan yang kadang jumlahnya bisa mencapai ribuan atau bahkan puluhan ribu? Untuk memahaminya kita harus ingat kembali bahwa segala sesuatu diciptakan dengan Al-Amr, perintah, Tuhan. Dalam tradisi Sufi, ciptaan “dikehendaki” Tuhan sebagai lokus tajalli dari asma-asma-Nya. Maka, asma-asma ilahi (al-asma al-husna) “terselip” di setiap wujud yang ada di alam—seperti dikatakan oleh sahabat saya, Habib Al-Padarincang, Serang, seorang putra dari wali Allah, di setiap daun, dahan, akar, batu dan sebagainya terselip satu asma Allah, yang hanya bisa diketahui melalui ilm-ladunni. Namun, karena tidak semua manusia mengetahuinya, maka Allah berkenan mewujudkan sebagian dari tajalli-Nya dalam asma suci, al-asma al-husna. Nama-nama Yang Indah ini bukan sekadar representasi, tetapi menyatakan Kehadiran Allah itu sendiri. Manusia tak bisa mengakses dan memahami esensi (dzat) Allah, sebab mustahil dan karenanya dilarang, sehingga satu-satunya cara adalah mengonsentrasikan diri pada simbol-simbol kehadiran-Nya. Dalam zikir, seluruh konsentrasi diarahkan pada satu Nama, atau beberapa Nama, atau kalimat suci, sampai pada titik di mana seluruh pikiran, proyeksi mental, orientasi dan kesadaran terserap ke dalam Nama itu. Karena seluruh fokus diarahkan pada Asma, yang tak lain adalah tajalli-Nya, dan begitu seluruh aspek keberadaan manusia tenggelam dalam Asma, maka hakikat dari Nama-nama itu akan mewujudkan diri sesuai dengan sifat dan potensi yang dikandung Nama itu. Seperti dikatakan Syekh Al-Akbar Ibnu ‘Arabi, Asma Allah adalah “sebagian” dari wajah-Nya; maka jika seseorang menzikirkan Al-Razaq, ia sama artinya dengan memanggil dan mengaktualisasikan potensi Asma itu, yakni rezeki. Asma khusus yang suci itu tidak membawa sesuatu di luar dari Diri-Nya. Apabila seseorang menenggelamkan diri dalam beragam bentuk ibadah dan seluruh amal ibadahnya benar-benar dikonsentrasikan kepada Allah, yakni, meminjam bahasa Al-Quran, “takwa yang sebenar-benar takwa” (QS. 3: 102) hingga mencapai kondisi dawam atau istiqamah, maka karunia dari segala Asma-Nya akan turun memenuhi semua kebutuhannya yang terabaikan karena kesibukannya mengingat-Nya. Ketika Maryam menyendiri dalam kamar dan hanya beribadah semata, ia tak bisa bekerja, dan karenanya tak bisa memenuhi kebutuhannya—ia telah menempati maqam tajrid; maka, Allah berkenan mencukupi kebutuhan yang terabaikan itu dengan mengirimkan hidangan dari langit, tanpa batasan hukum sebab-akibat—dengan kata lain Maryam, dan para Sufi yang telah sampai pada takwa yang sebenar-benarnya, telah mewujudkan dan mengaktualkan potensi dari firman Allah Surah At-Thalaq ayat 3: Barang siapa bertawakal kepada Allah, maka Allah pasti mencukupinya. Penulis pernah bertemu dengan seorang Wali Allah yang berada dalam maqam seperti ini, maqam tawakal yang paripurna. Beliau tak punya kekuatan untuk mewujudkan kehendaknya sendiri, sehingga bahkan untuk pindah tempat duduk pun beliau harus tawakal dibimbing oleh ilham ilahi. Jika beliau “berkeinginan” duduk di suatu tempat, namun ilham ilahi tak mengizinkannya, beliau tak bisa bergerak ke tempat yang diinginkannya. Karenanya sehari-hari — selama lebih dari 10 tahun — beliau hanya bolak-balik ke kamar tidur dan ke tempat duduk di ambal khusus di ruangannya. Beliau akan pergi hanya jika ada izin dari Tuhan. Kemudian, di sisi lain, pengulangan zikir secara terus-menerus adalah sebuah latihan (riyadah), yang bertujuan melepaskan seseorang, secara gradual, dari proses berpikir yang tidak berujung pangkal, dengan memusatkan perhatian pada satu titik. Sepanjang proses ini, sang pezikir akan membuka lapis demi lapis hijab yang menutupi batinnya, sehingga ia masuk ke kesadaran, atau alam, yang sama sekali berbeda dengan alam dunia. Zikir pada taraf yang makin tinggi akan membawa manusia masuk ke alam keabadian dan alam di luar hukum sebab-akibat. Pada tahap tertentu, ketika sifat kemanusiaannya luluh akibat potensi dari Asma yang dizikirkannya mewujud secara aktual dan menguasai dirinya, maka diri yang terbatas tentu saja tak mampu menampung aktualisasi potensi dari Asma yang secara intrinsik tak terbatas. Maka sang pezikir akan dikuasai oleh potensi Asma, atau dengan kata lain, sang pezikir dikuasai oleh Tuhan, sehingga ia tak bisa melihat dan menyadari apa pun selain Tuhan. Bahkan dirinya tak lagi memandang dirinya sebagai sesuatu selain Tuhan karena dia sudah sampai pada hakikat dari firman yang menyatakan “Allah meliputi segala sesuatu.” Jika hati sibuk dengan yang diingat, maka tak ada lagi ruang untuk merenungkan zikir itu sendiri. Hanya Allah sajalah satu-satunya wujud yang ada, bahkan dirinya pun tiada. Manusia kembali kepada keadaan ketika dia belum ada. Maka murid, orang yang bercita-cita, berubah menjadi murad (yang dicita-citakan, yang diinginkan). Orang yang semula menginginkan Tuhan, menjadi yang diinginkan Tuhan. Yang mengingat menjadi yang diingat. Ini adalah tahap persatuan, salah satu tema yang akan dijelaskan lebih jauh nanti di bagian lain naskah ini. Dari uraian singkat di atas, jelas ada wilayah lain yang mengatasi hukum sebab-akibat, yang sepenuhnya tak terbandingkan tetapi sekaligus serba meliputi, yang tak mungkin diakses oleh seseorang yang hanya membatasi diri pada perspektifnya sendiri. Ketidakpahaman atau ketidakmauan untuk memahami wilayah yang lebih tinggi inilah yang menyebabkan sebagian kalangan, terutama fuqaha yang hanya menekankan aspek lahir (ulama zahir, eksoteris) menentang dan bahkan mengkafirkan Sufi dan ajaran Tasawuf pada umumnya. Demikianlah, apa-apa yang diuraikan di atas adalah sekadar pengantar tentang "metode" dasar Tasawuf yang memberikan garis besar dan dasar untuk apa-apa yang nanti akan dicoba dipaparkan dalam bagian selanjutnya. Kita akan memasuki beberapa tema utama dalam tradisi Tasawuf. Tujuannya adalah agar kita mendapat gambaran yang sedikit lebih utuh dari tradisi yang melahirkan dan dilahirkan tokoh-tokoh besar Sufi yang terkenal maupun tak terkenal, seperti As-Syekh Hasan Al-Basri, Hazrat Junayd Al-Baghdad, Rabi’ah Al-Adawiyah, Al-Hallaj, Muhyiddin As-Syekh Al-Akbar Ibnu ‘Arabi, Al-Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali, Maulana Rumi, Sulthan Al-Awliya Al-Ghauts Al-Adhim Al-Qutb Al-Alam As-Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Mujaddid alif Al-Tsani Imam Rabbani Ahmad Sirhindi, Sulthanul Awliya As-Syekh Abu Hasan Al-Sadzili, Syekh Qamaruzzaman Al-Husaini, K.H Abu Bakar Faqih, Syekh Ahmad Shahibul Wafa’ Taj Al-Arifin, dan sebagainya. Bagaimanapun, apa-apa yang ditulis di sini hanyalah secuil puncak gunung es. Buku ini bukan teks paripurna tentang Tasawuf. Ia hanya sekadar sketsa ringkas tentang Tasawuf yang ditulis oleh orang luar. Hakikat dari Tasawuf, berdasarkan definisinya, akan tetap tersimpan sampai seseorang siap untuk menerima limpahan kebenarannya. Jika tulisan ini mampu memicu seseorang untuk lebih mengapresasi Tasawuf, maka tujuannya sudah tercapai. Wa Allahu a’lam bi ash-shawab. Bersambung .. ke #6 TULISAN SELANJUTNYA: * Tentang Syari’at, Tarekat, Hakikat * Tentang Allah * Tentang Nur Muhammad dan Muhammad * Tentang Al-Qur’an dan Tafsir Sufi * Tentang Wali Allah * Tentang Zikir dan Tarekat * Tentang Fana dan Baqa * Tentang Mahabbah dan Makrifat * Tentang Insan Kamil * Tentang Surga dan Neraka * Ketika Sufi dan Sains Bertemu Tri Wibowo BS / Mbah Kanyut Ikhwan TQN

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
أبـــــــــــــــــــــــــو عـــــــــــــــــــــــــــــمار
Sedan Rembang, Jateng, Indonesia
Lihat profil lengkapku

Blog Arcife