Kamis, 28 Januari 2010
BAB 3 NUR MUHAMMAD DAN MUHAMMAD Allah adalah cahaya langit dan bumi (QS. 24:35) Wahai Jabir, sesungguhnya Allah Swt. sebelum menciptakan segala sesuatu, terlebih dahulu menciptakan cahaya nabimu dari Nur Allah (Hadis) Jika bukan karena engkau, jika bukan karena engkau, wahai Muhammad, Aku tak akan pernah menciptakan langit yang tinggi dan mengejawantahkan Kedaulatan-Ku (Hadis). Dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda, Ana min nurullaahi, wa khalaq kuluhum min nuuri—”Aku berasal dari cahaya Allah, dan seluruh dunia berasal dari cahayaku.” Dalam hadis lain dari Ibnu Abbas disebutkan, “Sesungguhnya ada seorang Quraisy, yang ketika itu masih berwujud nur (cahaya), di hadapan Allah Yang Maha Perkasa lagi Mahaagung, dua ribu tahun sebelum penciptaan Nabi Adam as. Nur itu selalu bertasbih kepada Allah…” Allah menciptakan Nur Muhammad, atau al-haqiqat Al-Muhammadiyya (Hakikat Muhammad) sebelum menciptakan segala sesuatu. Nur Muhammad disebut sebagai pangkal atau asas dari ciptaan. Ini adalah misteri dari hadis qudsi yang berbunyi lawlaka, lawlaka, maa khalaqtu al-aflaka—”Jika bukan karena engkau, jika bukan karena engkau (wahai Muhammad), Aku tidak akan menciptakan ufuk (alam) ini.” Allah ingin dikenal, tetapi pengenalan Diri-Nya pada Diri-Nya sendiri menimbulkan pembatasan pertama (ta’ayyun awal). Ketika Dia mengenal Diri-Nya sebagai Sang Pencipta, maka Dia “membutuhkan” ciptaan agar Nama Al-Khaliq dapat direalisasikan. Tanpa ciptaan, Dia tak bisa disebut sebagai Al-Khaliq. Tanpa objek sebagai lokus limpahan kasih sayang-Nya, dia tak bisa disebut Ar-Rahman. Maka, perbendaharaan tersembunyi dalam Diri-Nya itu rindu untuk dikenal, sehingga Dia menciptakan Dunia—seperti dikatakan dalam hadis qudsi, “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku rindu untuk dikenal, maka kuciptakan Dunia.” Tetapi kosmos atau alam adalah kegelapan, sebab dalam dirinya sendiri alam sebenarnya tidak ada. Dalam kegelapan tidak akan terlihat apa-apa. Karenanya, agar sesuatu segala sesuatu muncul dalam eksistensi ini diperlukanlah cahaya. Melalui cahaya inilah Dia memahami dan dipahami sekaligus. Inilah manifestasi pertama dari Perbendaharaan Tersembunyi, yakni Nur Muhammad. Jadi yang pertama diciptakan adalah Nur Muhammad yang berasal dari “Cahaya-Ku”. Nur Muhammad adalah sebentuk “pembatasan” (ta’ayyun) atas Keberadaan Absolut; dan bagian ini tidaklah diciptakan, tetapi sifat dari Pencipta. Dengan demikian, berdasar hadis-hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa dunia adalah dari Nur Muhammad dan Nur Muhammad berasal dari Nur Allah. Karena fungsinya sebagai prototipe aturan tata semesta dalam keadaan global, maka Nur Muhammad adalah wadah tajalli-Nya yang sempurna dan sekaligus kecerdasan impersonal yang mengatur tatanan kosmos, atau Logos, seperti dikatakan dalam hadis masyhur lainnya, “Yang pertama diciptakan Allah adalah akal (aql al-awwal).” Jadi, Nur Muhammad adalah semacam “wadah” yang senantiasa dialiri oleh Cahaya Pengetahuan ilahiah, yang dengan Pengetahuan itulah alam semesta ditata. Maulana Rumi menyatakan bahwa pada saat penciptaan Nur itu, Allah menatap Nur Muhammad itu 70,000 kali setiap detik. Ini berarti bahwa Hakikat Muhammadiyyah itu terus-menerus dilimpahi Cahaya Pengetahuan, Cahaya Penyaksian. Cahaya demi Cahaya terus berdatangan—cahaya di atas cahaya—masuk ke dalam hakikat Nur Muhammad atau Hakikat Muhammad. Karenanya pengetahuan yang diterima Nabi Muhammad terus-menerus bertambah. Inilah misteri dari doa Nabi yang termasyhur, “Ya Allah tambahkan ilmu pengetahuan kepadaku.” Sebagai Logos, kecerdasan impersonal, yang menjadi dasar tatanan semesta, sudah barang tentu pengetahuan yang diterimanya tak pernah berhenti, terus bertambah, hingga akhir zaman. Di dalam Nur Muhammad ini termuat al-a’yan Al-Mumkinah (entitas-entitas yang mungkin). Entitas yang mungkin ini akan menjadi aktual dalam bentuk alam empiris melalui perintah “kun”. Tetapi tujuan penciptaan belum tercapai hanya melalui alam, sebab alam bukan cermin yang bening bagi Allah untuk mengenal Diri-Nya sendiri. Di sinilah wajah Nur Muhammad yang kedua berperan, yakni sebagai hakikat kemanusiaan—haqiqat Al-Muhammadiyyah atau Insan Kamil. Allah tidak secara langsung mengatur dunia, sebab Dzat-Nya adalah tanzih, tiada banding secara mutlak (transenden). Dia mengatur melalui Nur Muhammad, Logos. Jika Dzat-Nya turut campur dalam pengaturan alam yang penuh pertentangan, maka kalimat Allahu Ahad (lihat kembali bab satu) menjadi tidak berarti. Maka fungsi pengaturan berada dalam tahap wahidiyyah ini, yakni tahap Haqiqat Al-Muhammadiyyah. Rububiyyah (penguasaan, pemeliharaan) menimbulkan kebutuhan adanya hamba dan sesuatu yang dipelihara (kosmos, alam), dan karenanya dibutuhkan penghambaan (ubudiyyah). Haqiqat Al-Muhammadiyyah mengalir dari nabi ke nabi sejak Adam sampai pada gilirannya akan terwujud dalam pribadi Muhammad yang disebut rasul dan hamba (abd)—Muhammad abduhu wa Rasullullah. Ketika Muhammad, setelah bertafakur sekian lama di gua, ia mencapai tahap keheningan di mana gelombang dirinya bertemu dengan gelombang Nur Muhammad, maka layar kesadarannya terbuka terang melebihi terangnya seribu bulan. Maka jadilah ia Rasul. Maka Rasul Muhammad adalah cahaya yang menerangi alam secara lembut dan bisa disaksikan, sebab terang cahaya itu dibandingkan dengan seribu bulan, bukan seribu matahari. Dalam konteks ini secara simbolik “Rasul” adalah manifestasi yang lengkap dari tahapan manifestasi, yakni dari martabat wahdah ke martabat alam ajsaam (alam dunia, materi, sebab-akibat). Dilihat dari sudut pandang lain, rasul adalah “utusan” Tuhan yang menunjukkan jalan menuju cahaya atau kepada Tuhan. Karena merupakan manifestasi “lengkap dan sempurna” maka tidak dibutuhkan lagi sesuatu yang lain sesudahnya, dan jadilah dia disebut khatam (penutup)—”tak ada lagi nabi dan rasul setelah aku (Muhammad).” Bagian kedua kalimat syahadat, Muhammad rasullullah, adalah deskripsi dari ciptaan. Muhammad adalah “barzakh” yang memperantarai manusia dengan Tuhan. Berbeda dengan bagian pertama syahadat, Laa ilaha illa Allah, yang menegaskan Keesaan dan karenanya eksklusivitas mutlak (tanzih), bagian kedua syahadat ini menunjukkan inklusivitas (tasybih), karena merupakan manifestasi dari Allah. Sebagai sebuah deskripsi dari manifestasi, syahadat kedua ini menggambarkan tiga hal sekaligus, yakni Prinsip Asal yang dimanifestasikan (Muhammad); manifestasi Prinsip (Rasul); dan Prinsip Asal itu sendiri (Allah). Dengan demikian, “Rasul” adalah penghubung “Dzat yang dimanifestasikan” dengan Dzat itu sendiri. Rasul menjadi perantara antara alam yang fana dengan Dzat Yang Kekal. Tanpa “Muhammad Rasullulah” dunia tidak akan eksis, sebab ketika dunia yang fana dihadapkan pada Yang Kekal, maka lenyaplah dunia itu. Menurut Syekh Al-Alawi, jika Rasul diletakkan di antara keduanya, maka dunia bisa terwujud, sebab Rasul secara internal adalah tajalli sempurna dari Allah, dan secara eksternal tercipta dari tanah liat yang berarti termasuk bagian dari alam. Jadinya, Rasul adalah “Utusan” manifestasi, yang mengisyaratkan “perwujudan” atau “turunnya” Tuhan dalam “bentuk manifestasi atau ayat-ayat” ke dunia, yang dengannya Dia dikenal. Kerasulan adalah alam kekuasaan (alam jabarut). Dengan demikian Muhammad Rasulullah adalah penegasan perpaduan Keesaan Dzat (Wujud), Sifat (shifaat) dan Tindakan (af’al). Karenanya, kata Imam Ar-Rabbani—seorang Syekh Tarekat Naqshabandi—dalam kerasulan, Rasul tidak hanya berhadapan dengan Allah saja, tetapi juga berhadapan dengan manusia (alam) pada saat ia berhadapan dengan Tuhan. Pengangkatan Rasul, yang berarti “turunnya” Tuhan ke dunia, yakni “bersatunya” kesadaran Muhammad dengan Nur Muhammad, terjadi pada laylat Al-Qadr (Malam Kekuasaan), yang terang cahayanya melebihi seribu bulan. Allah dan Nabi Muhammad bertemu dalam “Rasul” yang dijabarkan dalam Risalah, atau Wahyu, yakni Al-Quran. Inilah cahaya petunjuk (Al-Huda) yang menerangi kegelapan alam, yang memisahkan (Al-Furqan) kebatilan atau kegelapan dengan kebenaran atau cahaya. Karena itu Al-Quran sesungguhnya adalah manifestasi “kehadiran penampakan” Allah di dunia ini. Sayyidina Ali karamallahu wajhah dalam Nahj Al-Balaghah mengatakan “Allah Yang Mahasuci menampakkan Diri kepada hamba-hamba-Nya dalam firman-Nya, hanya saja mereka tidak melihatnya.” Imam Ja’far, cucu Rasulullah saw, juga mengatakan, “Sesungguhnya Allah menampakkan Diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya dalam Kitab-Nya, tetapi mereka tidak melihat.” Di sisi lain, sebagai manusia yang mengandung unsur tanah dan air, Muhammad memperoleh sisi kemanusiaannya. Dia makan, minum dan menikah. Faktor ini amat penting karena menunjukkan bahwa walau Muhammad adalah manifestasi, atau tajalli sempurna, insan kamil, dari Allah, tetap saja Muhammad bukanlah Allah. Atau, dengan kata lain, yang dimanifestasikan bukanlah Prinsip yang bermanifestasi, dan karenanya tidak ada persatuan antara manusia dan Tuhan dalam pengertian panteisme. Kedudukan manusia paling tinggi justru dalam realisasi penghambaannya yang paling sempurna, abd, “abdi”—gelar yang hanya disebut oleh Allah bagi Muhammad Saw. Al-’abd adalah “Hamba” atau abdi yang sepenuhnya pasrah kepada Allah. Seorang abd hidup dalam kesadaran sebagai seorang abdi Allah. Abd dicirikan oleh keikhlasan. Karenanya, penghambaan sejati bukan lantaran kewajiban atau keterpaksaan. Dalam pengertian umum, kegembiraan seorang hamba adalah ketika dia dimerdekakan oleh tuannya. Tetapi ‘abd merasakan kegembiraan tatkala ia menjadi hamba (Allah). Derajat ‘abd adalah derajat tertinggi yang bisa dicapai manusia, dan karena itu Allah menyandingkan kerasulan Nabi Muhammad Saw dengan ‘abd—”Tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah ‘hamba’ dan Rasul-Nya.” Ketika mengundang Rasulullah saw di malam mi’raj, Allah menyebutnya dengan gelar “hamba”—Mahasuci Allah yang memperjalankan hamba-Nya di kala malam (QS. 17:1)—dan ini sekaligus menunjukkan kebesaran kualitas ‘abd, sebab hanya ‘abd-Nya-lah yang berhak mendapat undangan langsung menemui-Nya di tempat di mana bahkan Malaikat Jibril pun terbakar sayap-sayapnya. Dalam tingkatan yang paripurna, hamba yang ingat akan menjadi yang diingat, yang mengetahui akan menjadi yang diketahui, dan yang melihat akan menjadi yang dilihat, yang menghendaki menjadi yang dikehendaki, dan yang mencintai menjadi yang dicintai, karena ia sudah fana pada Allah dan baqa dengan baqa-Nya, dan ia menghabiskan waktunya untuk memandang kebesaran dan keindahan-Nya terus-menerus, seakan-akan dirinya pupus, seakan dia adalah Dia (Allah). Ini adalah maqam seperti yang disebutkan dalam hadis Qudsi: … “(Aku) menjadi pendengarannya yang dengannya dia mendengar, penglihatannya yang dengannya dia melihat, menjadi tangannya yang dengannya dia memegang, menjadi kakinya yang dengannya dia berjalan, dan menjadi lidahnya yang dengannya dia bicara.” Jadi jelas bahwa derajat tertinggi adalah pada kehambaan, sebab hanya hamba sejatilah yang akan “naik” menuju Tuhannya. Dan pada sang hamba sejatilah Allah “turun” untuk menemuinya. Ini adalah misteri mi’raj. Penurunan dan kenaikan, laylatul al-qadr dan laylat al-mi’raj, mempertemukan hamba dengan Tuhannya, melalui kewajiban yang ditetapkan pada saat pertemuan Nabi dengan Allah, yakni shalat. Setiap mukmin harus mengikuti jejak Rasulullah agar bisa mi’raj, sebab sekali lagi, hanya melalui Rasullullah sajalah, yakni prinsip “barzakh,” manusia bisa bertemu dengan Tuhannya. Rasul pernah mengatakan bahwa mi’raj-nya umat Muslim adalah shalat. Tanpa shalat, tidak ada mi’raj. Karenanya, shalat adalah wajib. Shalat pula yang membedakan Muhammad (dan umatnya) dengan kaum kafir. Shalat adalah langkah pertama dan terakhir dalam perjalanan menuju Tuhan, sebagaimana Nabi Muhammad adalah Nabi paling awal dan paling akhir dari mata rantai kenabian. Rasulullah saw pernah mengatakan bahwa shalat akan mengangkat hijab, membuka pintu kasyaf, sehingga hamba-Nya berdiri di hadapan-Nya. Rasulullah juga berkata, “Di dalam shalatlah terletak kesenanganku.” Sebab, shalat adalah bentuk percakapan rahasia antara Allah dengan hamba. “Percakapan” ini terutama melalui bacaan Induk Kitab Suci, Surah Al-Fatihah. Surah ini terdiri dari dua bagian: yang pertama dikhususkan bagi Allah dan yang kedua dikhususkan bagi hamba-Nya. Dua bagian percakapan ini disebutkan dalam hadis yang masyhur di kalangan Sufi: Tri Wibowo BS/ Mbah Kanyut Bersambung ke ... #10

1 komentar:

Niammuddin Mz mengatakan...

bagus.. om artikelnya.... salam blogger.. dari lodan. he.. he...

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
أبـــــــــــــــــــــــــو عـــــــــــــــــــــــــــــمار
Sedan Rembang, Jateng, Indonesia
Lihat profil lengkapku

Blog Arcife