Kamis, 17 Desember 2009
Disadur dari kolom berjudul "Konsep Ahlussunnah wal Jama'ah tentang Etika (1)" 08/11/2006 Oleh: Dr. Hj. Sri Mulyati, MA sumber: www.nu.or.id Dalam kajian Islam pembahasan yang menyangkut akidah akan ada hubungannya dengan istilah Ahlussunnah wal Jama’ah (dingkat dalam bahasa Indonesia aswaja), dan dapatlah dipastikan referensinya yaitu doktrinal kalam madzhab terutama al-Asy’ari dan al-Maturidi. Perkembangan istilah ini makin lama kelihatan makin resmi menjadi disiplin keilmuan Islam yang berkembang dan mencakup diskursus Islam lainnya yaitu bidang syari’ah (fiqh) dan bidang akhlak (tasawuf). Inilah yang disebut dengan istilah “'urf khas” bagi aswaja, karena setiap lafadz mengandung makna hakekat dan majaz, keduanya adakalanya lughawi, syar’i dan atau ‘urfi, untuk ‘urfi adakalanya ‘aam (umum) dan adakalanya khosh (khusus). Dalam perkembangan selanjutnya, terutama dalam konteks Nahdlatul Ulama, dalam hal ‘aqidah pengertiannya adalah madzhab Asy’ari atau Asy’ariyah dan Maturidiyah, dalam hal fiqh pengertiannya adalah empat madzhab besar Islam, yaitu Maliki, Syafi’I, Hanafi, Hanbali. Dan dalam hal akhlak atau tasawuf pengertiannya ialah doktrinal tasawuf al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi. Dalam Islam manhaj berfikir selama ini secara ringkas dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu yang memberi otoritas lebih tinggi kepada akal, kelompok yang menganggap lemah terhadap akal dan kelompok yang bervariasi diantara dua kelompok yang pertama. Apabila manhaj itu dihubungkan dengan faham aqidah maka peran akal dan naql berhubungan dengan masalah tuhan dan hubungan manusia dengan Nya, dan apabila dihubungkan dengan masalah fiqh maka peran akal dan naql itu berhubungan dengan perbuatan manusia (mukallaf), sedangkan dalam konteks akhlak atau tasawuf maka peran akal atau naql berhubungan dengan faham tentang hubungan spiritual anata manusia dengan Tuhan. Baik dalam ruang lingkup akidah, fiqh dan tasawuf faham aswaja memiliki prinsip manhaj berfikir secara garis besar, taqdimun nash ‘alal ‘aql yaitu berorientasi mengutamakan nash (literatur tertulis) dari pada akal, aswaja tidak terlalu banyak menggunakan ta’wil, sehingga memberi pengertian bahwa nash dalam agama harus selalu sejalan dengan makna yang ditangkap oleh akal, akal hanyalah alat bantu untuk memahami nash, dan akal seringkali salah daya tangkapnya. Semua faham yang manhaj berfikir seperti itu kemudian disebut sebagai faham Sunni. Awalnya gerakan ini adalah gerakan pemikiran (manhajul fikr), kemudian berkembang semacam institusi dalam bentuk firqah atau madzhab dan atau aliran. Kemudian menjadi semakin besar dan seringkali memicu konflik antara sesama muslim. Karenanya yang penting untuk dipelajari dalam membangun kedewasaan dan bermadzhab ialah memperkenalkan pola madzhab aswaja agar diketahui, sekurang-kurangnya: bahwa madzhab adalah institusi dari paradigma berfikir keislaman yang tidak absolut sebagai upaya mencari kebenaran menurut pendekatan yang diyakini, dan semuanya adalah bersifat ijtihadi, yang pasti benar adalah nash-nash agama, sedangkan penafsirannya hanyalah usaha untuk memahami nash (literatur tertullis) dengan jalan atau metode yang diyakini mengantarkan kepada kebenaran. Implementasi Nilai-nilai AhlusSunnah wal Jama’ah Adapun pertanyaan bagaimana mangaktualisasikan AhlusSunnah wal Jama’ah dan mengimplementasikannya di lapangan menjadi hal yang sangat signifikan untuk dicari jawabannya. Seperti yang kita ketahui bahwa koridor bagi pemahaman keagamaan di lingkungan NU adalah taqdim al-nash ‘ala al-‘aql (menadhulukan nash/ dalil literatur atas akal). Itulah sebabnya mengapa dalam mengimplementasikan faham AhlusSunnah wal Jama’ah NU mengenal hierarki sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an, lalu as-Sunnah, kemudian ijma’ (kesepakatan jumhur ulama) dan qiyas (pengambilan hukum melalui metode analogi tertentu). Konteks hierarki maksudnya suatu hukum baru akan digunakan jika dalam sumber di atasnya tidak ditentukan ketetapannya. Hierarki sumber ini berlaku untuk semua aspek keagamaan, aqidah, syari’ah atau fiqh maupun akhlak. Hierarki semacam ini secara implisit juga tergambar dalam pernyataan Imam Asy’ari ketika memproklamirkan fahamnya didepan publik, bahwa sandaran otoritas pendapat dan keyakinan yang dianutnya adalah berpegang teguh pada al-Qur’an dan Sunnah Rasullah, atsar sahabat, perkataan tabi’in, pembela hadist dan apa yang dikatakan oleh Ahmad ibn Hanbal. Hooker memberi apresiasi yang tinggi seraya mencatat bahwa NU selalu merasa peduli terhadap metode yang benar dan sangat hati-hati. Dalam mengeluarkan fatwa. Contoh dalam fatwa No. 2/1926 masalah hierarki sumber hukum dibahas sedemikian rupa dalam rangka memberi batasan-batasan yang hati-hati dalam mengeluarkan fatwa. Pada awalnya metode perumusan fatwa diambil dari konsensus (ijma’) Imam Nawawi dan Imam Rafi’i, jika masih belum berhasil, lalu yang dijadikan rujukan adalah ulama madzhab Syafi’i. regulasi pengambilan sumber semisal ini, kemudian menjadikan NU terkesan konservatisme traditional, yang oleh kebanyakan pemikir “modern” semata-mata diartikan sebagai taqlid. Pemberian atribut seperti ini menurut Hooker sesungguhnya terlalu berlebihan dan patut dipertanyakan bahkan dapat menjadi kekeliruan serius. Kenyataan bahwa tidak setiap orang mampu secara rinci memahami persoalan-persolan keagamaan, termasuk bagaimana menemukan persoalan-persoalan keagamaan dan menemukan dasar-dasarnya dalam al-Qur’an dan hadist haruslah ditempatkan dalam konteks yang berbeda. Ini merupakan alasan yang paling kuat mengapa K.H.M Hasyim Asy’ari mewajibkan taklid bagi setiap orang yang tidak mempunyai kemampuan beritjihad secara mutlak. Sebagai tambahan, kita juga tidak mungkin mengingkari realitas objektif bahwa jumlah orang awam terhadap masalah hukum Islam lebih besar dibanding dengan mereka yang menguasainya, itulah sebabnya mengapa kebutuhan bermadzhab masih relevan. Sesungguhnya proses pengambilan hukum yang dilakukan ulama pada dasarnya adalah tak dapat melepaskan diri dari meteologi itjihad yang telah dibangun ulama terdahulu, yang berladaskan pada dasar yang kokoh, tidak mulai dari nol, tetapi harus mengikuti para pendahulu dalam hal sistematika pemikirannya, inilah yang dimaksud dengan taklid metodologis/madzhab manhaji) bukan produk pemikirannya yang kemudian dibakukan. Taklid semacam ini tetap membutuhkan sikap kritis, ide-ide segar yang mampu merespons perkembangan zaman, sehingga kesimpulan hukum yang diambil relevan dan mampu menjawab realitas zaman. Menurut K.H Achmad Shiddiq, faham AhlusSunnah wal Jama’ah harus berlandaskan tiga karakter, yaitu : 1. Tasawuth, atau sikap moderat dalam seluruh aspek kehidupan, 2. Al-i’tidal atau bersikap tegak lurus dan selalu condong kepada kebenaran dan keadilan, dan 3. At-tawazun yakni sikap keseimbangan dan penuh pertimbangan Tiga karakter tersebut sangat diperlukan untuk menghindarkan tatharruf atau sikap ekstrim dalam segala aspek kehidupan. Hal ini sesungguhnya merupakan implementasi dari kekukuhan NU memegang prinsip-prinsip keagamaan yang telah dirumuskan ulama terdahulu, diantara prinsip tersebut adalah al-‘Adah al-Muhakkamah yakni sebuah tradisi yang kemudian menjelma menjadi semacam pranata sosial. Maksudnya adalah rumusan hukum yang tidak bersifat absolut dapat ditata selaras dengan subkultur sebuah komunitas masyarakat menurut ruang dan waktunya dengan mengacu kepada kesejahteraan dan kebaikan mereka. Hal ini dapat dilakukan selama tidak kontradiksi dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersifat qath’i, dalil-dalil yang merupakan kaidah umum dan prinsip-prinsip universal. Al-‘Adah al-Muhakkamah menjadikan performance Islam sebagai agama yang dinamis dan membumi dan selalu aktual ditengah-tengah masyarakat, dan menampilkan Islam sebagai agama yang mampu menjawab tantangan zaman dan tuntutan ummat tanpa dibatasi ruang dan waktu. Madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah 09/05/2007 Ahlussunnah Waljama’ah merupakan akumulasi pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang yang dihasilkan para ulama untuk menjawab persoalan yang muncul pada zaman tertentu. Karenanya, proses terbentuknya Ahlussunnah Waljama’ah sebagai suatu faham atau madzhab membutuhkan jangka waktu yang panjang. Seperti diketahui, pemikiran keagamaan dalam berbagai bidang, seperti ilmu Tauhid, Fiqih, atau Tasawuf terbentuk tidak dalam satu masa, tetapi muncul bertahap dan dalam waktu yang berbeda. Madzhab adalah metode memahami ajaran agama. Di dalam Islam ada berbagai macam madzhab, di antaranya; madzhab politik, seperti Khawarij, Syi’ah dan Ahlus Sunnah; madzhab kalam, contoh terpentingnya Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah; dan madzhab fiqh, misal yang utama adalah Malikiyah, Syafi’iyah, Hanafiyah dan Hanbaliyah, bisa juga ditambah dengan Syi’ah, Dhahiriyah dan Ibadiyah (al-Mausu’ah al-‘Arabiyah al-Muyassaraah, 1965: 97). Istilah Ahlussunah wal jama’ah terdiri dari tiga kata, "ahlun", "as-sunah" dan "al-jama’ah". Ketiga-tiganya merupakan satu kesatuan, bukan sesuatu yang tak terpisah-pisah. a. Ahlun Dalam kitab Al-Munjid fil-Lughah wal-A’alam, kata "ahl" mengandung dua makna, yakni selain bermakna keluarga dan kerabat, "ahl" juga dapat berarti pemeluk aliran atau pengikut madzhab, jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab sebagaimana tercantum pada Al-Qamus al-Muhith. Adapun dalam Al-Qur’an sendiri, sekurangnya ada tiga makna "ahl": pertama, "ahl" berarti keluarga, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Hud ayat 45 : رَبِّ اِنَّ ابْنِى مِنْ أَهْلِى (الهود: 45 “Ya Allah sesungguhnya anakku adalah dari keluargaku”. Juga dalam surat Thoha ayat 132: وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَوةِ (طه: 132 “Suruhlah keluargamu untuk mengerjakan sholat” Kedua, "ahl" berarti penduduk, seperti dalam firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-A’rof ayat 96. وَلَوْاَنَّ أَهْلَ اْلقُرَى ءَ امَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَاْللآَرْض (الآعراف:96 “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertaqwa, maka kami bukakan atas mereka keberkahan dari langit dan bumi.” Ketiga, ahl berarti orang yang memiliki sesuatu disiplin ilmu; (Ahli Sejarah, Ahli Kimia). Dalam Al-Qur’an Allah berfirman surat An-Nahl ayat 43. فَسْئَلُوْاأَهْلَ الذِكْرِاِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ (النحل: 43 “Bertanyalah kamu sekalian kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. b. As-Sunnah Menurut Abul Baqa’ dalam kitab Kulliyyat secara bahasa, "as-sunnah" berarti jalan, sekalipun jalan itu tidak disukai. Arti lainnya, ath-thariqah, al-hadits, as-sirah, at-tabi’ah dan asy-syari’ah. Yakni, jalan atau sistem atau cara atau tradisi. Menurut istilah syara’, as-Sunnah ialah sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalani dalam agama, sebagaimana dipraktekkan Rasulullah SAW, baik perkataan, perbuatan ataupun persetujuan Nabi SAW. Maka dalam hal ini As-sunnah dibagi menjadi 3 macam. Pertama, As-sunnah al-Qauliyah yaitu sunnah Nabi yang berupa perkataan atau ucapan yang keluar dari lisan Rasulullah SAW Kedua, As-Sunnah Al-Fi’liyyah yakni sunnah Nabi yang berupa perbuatan dan pekerjaan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Ketiga, As-Sunnah at-Taqririyah yakni segala perkataan dan perbuatan shahabat yang didengar dan diketahui Nabi Muhammad SAW kemudian beliau diam tanda menyetujuinya. Lebih jauh lagi, as-sunnah juga memasukkan perbuatan, fatwa dan tradisi para Sahabat (atsarus sahabah). c. Arti Kata Al-Jama’ah Menurut Al-Munjid, kata "al-jama’ah" berarti segala sesuatu yang terdiri dari tiga atau lebih. Dalam Al-Mu’jam al-Wasith, al-jama’ah adalah sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Adapun pengertian "al-jama’ah" secara syara’ ialah kelompok mayoritas dalam golongan Islam. Dari pengertian etimologis di atas, maka makna Ahlussunnah wal jama’ah dalam sejarah Islam adalah golongan terbesar ummat Islam yang mengikuti sistem pemahaman Islam, baik dalam tauhid dan fiqih dengan mengutamakan dalil Al-Qur’an dan Hadits dari pada dalil akal. Hal itu, sebagaimana tercantum dalam sunnah Rasulullah SAW dan sunnah Khulafaurrasyidin RA. Istilah Ahlussunnah Waljama’ah dalam banyak hal serupa dengan istilah Ahlussunnah Waljama’ah Wal-atsar, Ahlulhadits Wassunnah, Ahlussunnah Wal-ashab al-Hadits, Ahlussunnah Wal-istiqamah, dan Ahlulhaqq Wassunnah. Untuk menguatkan hal-hal di atas terdapat beberapa hadits yang dapat dikemukakan misalnya, dalam kitab Faidlul Qadir juz II, lalu kitab Sunan Abi Daud juz. IV, kitab Sunan Tirmidzy juz V, kitab Sunan Ibnu Majah juz. II dan dalam kitab Al-Milal wan Nihal juz. I. Secara berurutan, teks dalam kitab-kitab tersebut, sebagai berikut: عَنْ أَنَسٍ: اِنَّ اُمَّتِى لاَتجَتْمَعُِ عَلىَ ضَلاَ لَةٍ, فَاءِذَا رَأَيْتُمْ اخْتِلاَ فًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ اْلأَعْظَمِ “Dari Anas: sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan, maka apabila kamu melihat perbedaan pendapat maka kamu ikuti golongan yang terbanyak.” فَاءِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَ فًا كَثِيْرًا, فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتىِ وَسُنَّةِ اْلخُلَفَاءِ اْلمَهْدِبِيْنَ الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوْابِهَا وَعَضُّوْاعَلَيْهَابِالنَّوَاجِذِ. (رواه ابو داود “Sesungguhnya barang siapa yang hidup diantara kamu setelah wafatku maka ia akan melihat perselisihan-perselisihan yang banyak, maka hendaknya kamu berpegangan dengan sunnahku dan sunnah Khufaur-rasyidin yang mendapat hidayat, peganglah sunnahku dan sunnah Khulafaur-rasyidin dengan kuat dan gigitlsh dengan geraham.” اِنَّ بَنِى اِسْرَائِيْلَ تَفَرَّ قَتْ ثِنْنَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَ تَفْتَرِقُ أُمَّتىِ عَلَ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً, كُلُّهُمْ فىِالنَّارِ اِلأَّ مِلَّةً وَاحِدَ ةً, قَالُوْا: وَمَنْ هِىَ يَا رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ: مَااَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِى (رواه الترمذى “Sesungguhnya Bani Israil pecah menjadi 72 golongan dan ummatku akan pecah menjadi 73 golongan, semuanya masuk neraka, kecuali satu golongan, mereka bertanya: siapakah yang satu golongan itu ya Rasulullah? Rasulullah menjawab; mereka itu yang bersama aku dan sahabat-sahabatku.” عَنْ عَوْفٍ ابْنِ مَالِكٍ رَضِىاللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ اُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَاحِدَةٍ فِىاْلجَنّاةِ وَثِفْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِىالنَّارِ, قِيْلَ يَارَسُوْلَ اللهِ. مَنْ هُمْ ؟ قَالَ: الجَمَاعَةُ. “Dari Shahabat Auf r.a. berkata; Rasulullah bersabda; Demi yang jiwa saya ditangan-Nya, benar-benar akan pecah ummatku menjadi 73 golongan, satu masuk surga dan 72 golongan masuk neraka, ditanya siapa yang di surga Rasulullah? Beliau menjawab; golongan mayoritas (jama’ah). Dan yang dimaksud dengan golongan mayoritas mereka yang sesuai dengan sunnah para shahabat.” أَخْبَرَالنَّبِىُّ صلىاللهُ عليه وسلم سَتَفْتَرِقُ اُمَّتِى عَلىَ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً, النَّاجِيَةُ مِنْهَا وَاحِدَةٌ, وَاْلبَاقُوْنَ هَلْكَى, قِيْلَ: وَمَنِ النَّاجِبَةُ ؟ قَالَ: اَهْلُ السُّنَّةِ وَاْلحَمَاعَةِ, قِيْلَ: وَمَنْ أَهْلُ السُّنَّةِ وَاْلجَمَاعَةِ ؟ قَالَ: مَا اَنَاعَلَيْهِ وَاَصْحَابِى اْلجَمَاعَةُ اْلمُوَفِقُوْنَ ِلجَمَاعَةِ الصَّحَابَةِ. رواه ابى ماجة. “Menyampaikan Rasulullah SAW akan pecah ummatku menjadi 73 golongan, yang selamat satu golongan, dan sisanya hancur, ditanya siapakah yang selamat Rasulullah? Beliau menjawab Ahlussunnah wal Jama’ah, beliau ditanya lagi apa maksud dari Ahlussunnah wal Jama’ah? Beliau menjawab; golongan yang mengikuti sunnahku dan sunnah shahabatku”. KH Nuril Huda Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) Ahlussunnah wal Jama'ah di Bumi Nusantara 14/01/2008 Secara geografis Nusantara –di mana Indonesia sebagai bagian darinya--merupakan wilayah strategis baik secara ekonomi dan politik serta pertahanan, karena posisinya pada perlintasan budaya antar benua. Dengan posisinya yang strategis itulah Nusantara menjadi perlintasan agama yang sangat penting. Kawasan ini mengalami perubahan budaya dan agama yang beruntun namun berjalan cukup damai. Kepercayaan Pagan, Hindu, Budha dan Islam secara dialektik telah menjadi tata nilai yang berjalan di kawasan Asia Tenggara. Nilai-nilai tersebut, bahkan, kemudian mampu memberikan kontribusi dalam membentuk sistem pemerintahan dan varian keagamaan sendiri yang mencerminkan pergumulan antara budaya luar dengan budaya asli Nusantara. Lebih-lebih ketika Islam datang ke Nusantara. Agama baru ini diterima sangat baik oleh penduduk setempat. Hal itu karena kearifan para ulama atau wali yang datang ke wilayah ini, yang sangat menghormati tradisi, adat istiadat, bahkan agama setempat. Islam dicoba diselaraskan dengan ajaran setempat, karena itu tidak sedikit tradisi yang kemudian dijadikan sarana penyiaran Islam. Dengan cara itu mereka tidak terusik dengan datangnya agama baru (Islam) itu, mereka menerima dengan tangan terbuka. Apalagi agama Islam yang tidak mengenal strata sosial itu, dirasa sangat membebaskan mereka dari kungkungan kekastaan yang ketat, karena itu mereka turut membantu penyebarannya. Sistem keberagamaan yang toleran dengan tradisi lokal ini berkembang luas di kalangan Islam Nusantara yang dikenal dengan Islam Ahlussunnah wal Jamaah, yang dikembangkan oleh para wali atau ulama baik di Aceh, di Minangkabau, di Palembang di Pontianak, Banjarmasin, Bugis, Makassar, Ternate, Nusa Tenggara dan sebagainya, pada umumnya bermazhab Syafiiyah, atau mazhab empat pada umumnya. Mereka juga terhimpun dalam kelompok terekat, seperti Sattariyah, Qadiriah, Naqshabandiyah dan lain sebagainya. Dengan kekuatan tradisi itu mereka bisa mendirikan pusat-pusat kebudayaan, baik berupa kerajaan maupun lembaga pendidikan pesantren dan pusat perdagangan. Dengan sarana itu Islam berkembang pesat di seluruh penjuru Nusantara lebih intensif dan lebih langgeng ketimbang pengaruh agama lainnya yang pernah ada. Keutuhan dan keberagamaan masyarakat Nusantara ini mulai terusik ketika muncul gerakan Wahabi yang puritan. Semua tata nilai yang telah dikembangkan untuk mendukung sarana dakwah dan ibadah itu dicap sebagai tahayul, bid’ah, dan khurafat. Selama beberapa dasawarsa mereka menyerang dengan sengit kelompok ahlussunnah yang bermazhab dan kaum tarekat, karena dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam. Mereka ini tidak menghendaki adanya percampuran antara Islam dengan budaya Nusantara, mereka ingin mengembalikan Islam pada budaya Arab, yang hanya mengenal Al-Qur’an dan Hadits. Karena cara penyiaran ajaran baru itu demikian kasar, penuh kontroversi akhirnya, tidak diterima secara penuh oleh masyarakat. Gelombang serangan terhadap eksistensi Islam Nusantara itu terus berdatangan dalam setiap dasawarsa, dengan datangnya gerakan Islam puritan yang radikal. Bahkan serangan juga datang dari kebudayaan Barat, yang menuduh Islam ini sebagai Islam sinkretis, yang konservatif yang tidak sesuai denagn kemajuan zaman. Bahkan saat ini sistem kapitalisme global yang manawarkan budaya sekular dan hedonis juga memberika ancaman tersendiri bagi keutuhan kamunitas Islam Nusantara yang dengan gigih mempertahankan moral dan tradisi. Sebenarnya kekuatan Islam Nusantara ini sangat besar, karena didukung oleh mayoritas umat Islam, yang sehari-hari dengan gigih mengamalkan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah. Hanya saja kurang terpadu dan kurang sigap dalam memainkan media, sehinga perannya seolah menjadi terpinggir oleh kelompok-kelompok Islam garis keras yang puritan, tetapi sebenarnya minoritas. Tradisi ini tidak hanya Nahdlatul Ulama, tetapi juga didukung oleh organisasi Islam yang lain seperti; Tarbiyah Islamiyah (Padang), Al Washliyah (Medan), Al Khairat (Palu), Nahdlatul Wathon (Mataram), Darut Dakwah wal- Irsyad/DDI (Sulawesi Selatan) dan Mathlaul Anwar (Banten). Apabila seluruh kekuatan Islam bermazhab Ahlussunnah wal Jamaah Nusantara ini bersatu padu, maka keberadaan Islam Ahlussunnah di Nusantara ini akan tetap lestari bahkan mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat, bahkan mampu menentukan masa depan bangsa ini. Mengingat adanya tantangan yang terus-menerus baik dari kalangan Islam radikal yang puritan maupun dari kalangan Islam liberal yang militan, maka eksistensi Islam Ahlussunnah wal Jamaah Nusantara ini perlu diperkuat. Hadirnya Islam Ahhlusunnah wal Jamaah kita harapkan membawa pengaruh besar pada kehidupan bangsa di bumi Nusantara ini. Abdul Mu’im DZ Pemimpin Redaksi NU Online sumber: www.nu.or.id

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
أبـــــــــــــــــــــــــو عـــــــــــــــــــــــــــــمار
Sedan Rembang, Jateng, Indonesia
Lihat profil lengkapku

Blog Arcife